Rasa
Oleh: Ifnur Hikmah
Aku ingin berlari mengejarnya, tapi
cincin di jariku memaku langkahku.
Selalu ada rasa yang tertinggal
meski kata usai telah mencuat di tengah-tengah cinta.
*
Nijmegen, sebuah kota kecil di
bagian timur Belanda. Kota tua yang berbatasan dengan Jerman. Bukan kota gemerlap
seperti halnya Amsterdam, tapi ketenangannya membuatku jatuh cinta.
Aku membalik de Zondagkrant
Nijmegen, sebuah Koran mingguan di daerah lokal, untuk membunuh waktu menunggu
kedatangan temanku, Robin. Ini pertama kalinya aku ke Nijmegen meski tiga bulan
sudah aku tinggal di negeri ini. Kalau bukan karena Robin sedang mengunjungi
orang tuanya di Nijmegen, aku tidak akan pernah mengenal kota ini.
Juga mengenal dia.
Tatapan mataku terhenti di satu
halaman. Ada perempuan cantik di sana, satu halaman full. Tertulis di sana de
Zondag Miss. Miss Sunday, dalam bahasa Inggris.
Aku tergelak. Seperti Playboy saja,
memajang perempuan-perempuan cantik dan diberi nama sesuai bulan majalah itu
terbit.
Sebuah tepukan di pundak
mengagetkanku. Aku berbalik dan mendapati Robin berdiri di belakangku dengan
sebuah bagel di tangan.
"Maaf, lama. Tadi jemput Salsa
dulu," jelasnya.
"Salsa?"
Mataku bergerak ke belakang Robin.
Perempuan itu ada di sana. Perempuan yang kulihat di koran, dengan gelar de Zondag Miss.
Aku tersenyum tipis. Dia pun begitu,
dan senyumnya kian mengembang saat melihat halaman koran di atas mejaku.
"Wow, de Zondag Miss. Kamu cantik, Sa," seru Robin.
Kulihat perempuan itu hanya tertawa
kecil, lalu menarik kursi di sebelah Robin.
"Git, kenalin ini Salsa.
Tetanggaku. Dia mau ke Berlin juga, jadi sekalian aja."
Salsa mengulurkan tangannya. Ada
desir hebat merambati dadaku ketika tangan kami bersentuhan.
"Sigit," seruku.
"Salsa. Indonesia?"
Aku mengangguk.
"Aku juga," sahutnya. Dua
patah kata berbaahasa Indonesia yang terdengar lancar itu mengagetkanku,
terlebih pengakuannya. "Sunda tepatnya. Ibuku Sunda, cuma sejak kecil dia
sudah tinggal di sini."
Aku hanya bisa ber-ooo panjang,
namun ketika mata kami beradu, kurasakan ada yang aneh menjalari dadaku.
*
"Kenapa Belanda, Git?"
Saat itu kami sedang berada di
apartemenku. Bukan apartemen sebenarnya, hanya flat murahan yang banyak diisi
mahasiswa perantauan sepertiku.
"Rem Koolhaas dan OMA cukup
menjadi alasan," sahutku tanpa mengalihkan tatapan dari AutoCad di Mac.
"Kamu ingin kerja di OMA?"
Tanyanya antusias. Dia bahkan menarik kursi di sebelahku dan mendudukinya.
"Selama kesempatan masih ada,
setiap orang pasti ingin bekerja dengan idolanya kan? Seperti halnya kamu yang
selalu ingin dipotret oleh Richard Avedon, bekerja bersama Rem Koolhaas juga
jadi impianku."
Salsa tergelak. "Itu berarti
kamu akan tinggal di sini selamanya? Tidak kembali ke Jakarta?"
"Entahlah."
Kesenduan selalu menyergapku setiap
kali membahas kata pulang. Meski ragaku di sini, setengah jiwaku masih ada di
sana, daerah asalku. Ambisi membawaku ke sini, bersaing dengan ribuan arsitek
muda yang menginginkan hal sama—beasiswa di Delft. Rem Koolhaas dan OMA
memanggil-manggilku. Namun mama juga memanggilku.
Memanggilku untuk pulang.
"Sedang bikin apa?" Salsa
memecah keheningan.
"Galeri."
"Untuk?"
"Semacam ambisi pribadi. Sudah
lama aku ingin membuat galeri sendiri."
Salsa mendekatkan tubuhnya ke
arahku. Dia bertopang dagu di atas meja, melihat kian dekat ke AutoCad di layar
Mac. Wangi lavender yang menguar dari tubuhnya membuyarkan konsentrasiku.
"Masih banyak yang harus
diselesaikan?"
"Iya," jawabku,
"hanya proyek pribadi. Dikerjainnya pun jika ada waktu."
Salsa menghembuskan permen karet
yang sejak tadi dikulumnya—hobinya. Namun kali ini permen karet itu meletus dan
menempel di sekitar bibir dan hidungnya. Aku tergelak sementara Salsa
bersungut-sungut membersihkan sisa permen karet itu.
Entah apa yang mendorongku untuk
nekat melakukan ini. Kukecup bibir itu. Singkat saja. Namun cukup membuat debar
di dadaku kian hebat. Salsa terlihat kaget, namun sedetik kemudian dia
tersenyum.
"Kamu mau membantuku
menyelesaikan rancangan galeri ini?"
Salsa tidak menjawab. Hanya
tersenyum.
Separuh hatiku tertinggal di
Jakarta, dan aku kian kuat menancapkan sisanya di sini, di Belanda, di hati
perempuan ini. Selain OMA dan Rem Koolhaas, bertambah satu lagi alasan yang
mengikatku di Belanda.
*
Katanya cinta bisa mengalahkan apa
saja. Termasuk jarak.
Semula, aku percaya itu. Itulah yang
melecutku untuk terus menjalani hubungan ini. Ratusan ribu kilometer membentang
di antara aku dan Salsa—jarak yang terpaksa hadir setelah aku memutuskan untuk
kembali ke Jakarta—tidak berarti apa-apa selama aku masih mencintainya dan dia
juga mencintaiku.
Namun ketidakhadiran fisik, ditambah
orientasi waktu yang berbeda membuatku rindu saat-saat mencinta. Juga,
ketiadaan satu sama lain di saat yang sangat penting. Aku ingin Salsa
mendampingiku ketika aku mendapatkan penghargaan dari IAI atau ketika opening galeri yang kita rancang
bersama, seperti halnya Salsa yang ingin aku berada di sana ketika dia
menjalani pemilihan Miss Nederland atau menjemputnya setiap kali dia selesai bekerja
membacakan berita malam. Tidak pernah ada saat-saat untuk itu. Ketidakjelasan
masa depan juga mulai menunjukkan taringnya. Setahun awal semua masih terasa
indah. Setahun kemudian berubah hambar.
Dan aku lelah. Lalu menyerah.
"OMA. Bagaimana dengan OMA? Rem
Koolhaas?"
Hatiku sakit saat melihat Salsa
masih berusaha menyelamatkan hubungan yang sudah diambang kehancuran ini. Namun
hatiku terluka lebih lanjut ketika dia membangkitkan kembali impianku yang
telah kukubur sejak lama.
Aku menggeleng. Pasrah. Dan ketika
aku melihat mata coklat itu menitikkan air mata, aku berpaling.
Menyembunyikan air mataku sendiri.
*
"Are
you okay?"
Sapaan lembut itu mengagetkanku.
Kusadari bahwa sejak tadi tatapanku tidak beranjak dari satu titik, ujung
tangga lantai dua, tempat Salsa berdiri. Dia terlihat sangat cantik dalam
balutan gaun oranye itu—kado ulang tahun terakhir dariku, kuhadiahi tiga tahun
lalu.
Kualihkan tatapanku ke perempuan di
sampingku. Aurora. Perempuan yang tanpa sengaja dilemparkan tangan nasib ke
arahku, menemaniku di saat-saat putus asa melandaku setiap kali teringat Salsa,
dan satu jam yang lalu resmi menjadi istriku.
"Aku tidak menyangka kalau
Salsa akan datang."
"Dia sangat ingin melihat
bentuk jadi galeri ini. Kurasa ini waktu yang tepat untuk dia datang ke
sini." Waktu yang tepat untuk
kembali menabur garam di atas lukaku.
"Dia ke sini. Aku ingin
berkenalan dengannya."
Aku tersenyum kecut. Tidak tahu kata
apa yang harus kuucapkan ketika berhadapan langsung dengannya.
Lalu aku melihatnya. Di pintu galeri.
Menatap lurus ke arahku. Beragam ekspresi tercetak di wajahnya, dan aku tidak
bisa membacanya. Satu pun. Kami bersitatap selama beberapa detik, dan Salsa
mengakhirinya dengan berbalik arah tepat ada di saat ada waitress melintas di antara kami.
"Loh? Kenapa dia malah
pergi?" Aurora terdengar kecewa.
"Entahlah." Mungkin lebih
baik begitu. Aku tidak tahu apakah aku masih bisa menahan diri jika tak ada
lagi jarak terbentang di antara aku dan Salsa.
"Boleh aku menghampirinya
sebelum dia pergi?"
Aku menelan ludah. "Tentu
saja."
Perlahan Aurora melepaskan
pegangannya di lenganku dan beranjak pergi, masih dengan buket bunga lili di
tangannya.
Seharusnya aku yang pergi, bukan
Aurora. Seharusnya aku yang menghampiri Salsa, dan menyatakan bahwa masih ada
rasa yang tertinggal untuknya. Meski ada Aurora, jauh di dasar hatiku, cinta
untuknya belum terkikis.
PS: Kelanjutan dari Mock Up dan hasil samberan dari Jarak by Adit.
0 Comments:
Post a Comment