Mock Up
Oleh: Ifnur Hikmah
Foto: Diambil dari ujung tangga lantai dua Dia.Lo.Gue Galeri, Kemang. Photo by @adit_adit
“Ini maket galerinya. Di bagian depan ada store yang langsung digabung dengan exhibition hall. Terus ada lorong yang bisa digunakan untuk exhibition juga. Di bagian belakang ada lounge dan ruang duduk sehingga pengunjung bisa santai atau berdiskusi.”
“Lalu ini?” Aku menunjuk bagian luas
di bagian samping galeri yang memanjang ke belakang.
“Taman. Kamu masih suka dengan
konsep garden party kan?”
Aku tergelak. “Pesta apa yang mau
kamu buat di sini?”
“Our
wedding, of course.”
Jawaban singkat dan tegas itu menyentakku.
Tanpa bisa dicegah, sebaris senyum mulai menghiasi wajahku. Pernikahan, satu
kata sakti yang sejak entah kapan kutunggu-tunggu keluar dari bibirnya. Kurasa,
tiga tahun menjalin cinta sudah cukup membuat kami saling mengenal satu sama
lain. Termasuk, cukup membuat kami yakin untuk melangkah maju.
“Lalu, kamu akan membangun galeri
ini dimana?”
Sejenak kesenduan terpancar dari
balik mata yang biasanya bersinar penuh semangat itu. Tidak pernah sekalipun
Sigit merasa sedih setiap kali membahas hasil rancangannya. Aku tahu dia
arsitek hebat, dengan banyak gedung ternama berjejer di portfolionya. Dia
selalu menceritakan setiap rancangannya dengan penuh semangat, seperti seorang
ayah yang bangga akan anaknya.
Namun, sorot bangga itu tidak ada
kali ini.
“Jakarta,” jawabnya pelan.
Aku terduduk. Jakarta. Jakarta.
Jakarta. Berkali-kali kata itu terngiang di telingaku. Kata yang selama ini
kucoba untuk hindari tapi nyatanya, sekuat apapun aku menghindarinya, kata itu
tetap muncul ke permukaan. Realita yang selama ini kucoba untuk hindari atau
mungkin menolaknya, nyatanya tetap saja harus kuhadapi.
“Kamu akan pulang?”
Pria di hadapanku ini hanya diam.
Namun sorot matanya telah menjawab semuanya.
*
Cuaca panas Jakarta tidak sebanding
dengan suasana hatiku. Mataku terasa berat. Sangat berat. Semenjak kakiku
menginjak pekarangan yang dilapisi bebatuan di bagian depan galeri ini, dadaku
sudah terasa sesak. Begitu mataku terpaku ke sebuah pohon besar dengan
gantungan lampu berbentuk patung, rasanya aku ingin berbalik dan berlari.
Menjauh dari tempat ini dan kembali ke Nijmegen, tempatku.
Namun kakiku malah mengkhianatiku.
Alih-alih menjauh, aku malah melangkah mendekati pintu masuk yang terbuat dari
kayu. Samar-samar telingaku menangkap denting piano dari arah belakang. Juga
suara tawa riang yang sama sekali berbanding terbalik dengan hatiku yang
menangis.
Begitu tanganku bergerak mendorong
pintu kayu, sesak itu kian menjadi-jadi.
“Welcome.”
Sepasang pria dan perempuan muda
berpakaian tradisional Jawa menyambutku di pintu. Kulemparkan senyum dingin
semaksimal yang aku bisa. Senyum adalah hal tersulit yang bisa kulakukan
sedangkan tangis bisa tumpah kapan saja.
Kupandangi sekelilingku. Sekali
lagi, perasaan akrab merambati hatiku. Bertahun-tahun aku menemaninya merancang
galeri ini, baru kali ini aku menginjakkan kaki di sini. Galeri yang menjadi
impiannya, tempat dia bisa memajang semua hasil desainnya, foto-fotonya, dan
juga, tempat dia melangsungkan pernikahan.
Pernikahan. Satu kata yang dulu
mampu mengembangkan senyumku namun sekarang malah berbalik menikamku dan
meninggalkan luka.
Apa yang terpampang di hadapanku
jelas sama dengan apa yang dulu kulihat di maket itu. Exhibition hall di sisi kanan—yang sekarang memajang foto pre wedding disambung lorong kecil yang
juga dihiasi foto-foto pre wedding.
Dari balik jendela kayu yang menutupi bagian belakang galeri, pandanganku
tertumpu pada keriuhan pesta di belakang sana.
White
garden party.
“Aku ingin buffetnya di sini jadi
tamu-tamu yang tidak mau di luar dan memilih makan di dalam tetap gampang
menjangkau makanan.” Aku menunjuk ruang panjang yang terbentang di depan pintu
belakang dan masih tertutup atap. “Lalu di sini band pengiring. Piano. Aku cuma
mau piano.” Jariku bergerak menunjuk sisi kiri galeri. Ada ceruk sempit yang
tentu saja bisa memuat sebuah grand piano.
“Dan nanti kita di sini.” Kudaratkan telunjukku di atas sebidang taman di sudut
kanan belakang galeri.
Maket itu masih nyata di bayanganku.
Setiap detail pesta pernikahan yang kuinginkan masih tergambar jelas di
ingatanku. Kalimat yang kuucapkan ketika menatap maket itu pun masih teringat
jelas meski bertahun berlalu dari masa ketika aku mengucapkannya. Di Nijmegen,
bukan di sini, di Jakarta.
Lalu di sini, di Jakarta, semuanya
mewujud nyata di hadapanku.
Maket yang telah berubah menjadi
galeri. Pesta pernikahan yang sesuai bayanganku. Hiasan lili putih dang
mendominasi taman dan keseluruhan galeri. Pianis yang memainkan You’re The
First, The Last, My Everything. Suara canda tamu dengan gelas red wine di tangan mereka. Garden party yang telah lama memenuhi
relung mimpiku. Semuanya mewujud nyata. Di sini, di galeri yang dulu hanya
berupa maket itu.
Kusambar segelas red wine dari atas nampan yang dibawa waitress berpakaian tradisional Jawa
sebelum akhirnya menaiki tangga menuju lantai dua.
Dari ujung tangga lantai dua, ruang
pandangku lebih tak terbatas. Aku bisa melihatnya. Tersenyum bahagia di bagian
kanan belakang taman. Tampak kian gagah dibalik beskap putih yang membalut tubuhnya.
Tak henti-hentinya dia menebar senyum setiap kali dia ada tamu yang
menyalaminya.
Apa dia menyadari kehadiranku? Sigit,
apa kamu melihatku di sini?
Kuteguk red wine yang terasa pahit mengaliri kerongkonganku. Bahkan pahit
kenyataan yang kuteguk tetap tidak tertandingi.
Kita pernah mengangankan pernikahan
ini. Ketika Belanda masih sama-sama kita pijak. Dia yang berambisi membangun
galeri impiannya dan aku yang mengangankan pernikahan di galeri ini. Dia yang
berhasil mewujudkan ambisinya. Hanya aku yang terpaku karena gagal mewujudkan
keinginanku.
Ketika jarak akhirnya mengikis rasa
diantara kita dan melemparkan kita kembali menjadi orang asing.
“We
can’t do this.” Keputusasaan tergambar jelas di wajahnya—meski hanya
kulihat melalui layar netbook. Aku
masih di Nijmegen, dan dia sudah pulang kembali ke asalnya, Jakarta.
Setahun berlalu semenjak kita
dibatasi jarak—ruang dan waktu. Semula kita yakin akan berhasil menjalaninya. Namun
di saat ego tidak ada yang mau mengalah mulai mengalahkan kita, dia menyerah. Meskipun
aku membujuknya bahwa kita pasti bisa menjalaninya, dia tetap menyerah.
“Tidak ada masa depan untuk kita,”
keluhnya.
“Selalu ada jalan, Sigit.”
“Jalan? Aku tidak melihat jalan itu,
Salsa.”
“OMA. Kamu masih ingin bekerja di
sana kan? Come on, Sigit. Sebentar lagi,
OMA pasti membutuhkanmu.”
Sigut tertawa kering. “Tidak ada
masa depan untukku di OMA setelah dua kali gagal. Tidak ada lagi, Sa.”
“Tapi, Git…”
“Lihat keadaan kita. Aku di sini dan
kamu di sana. Apa kita masih bisa disebut pasangan sedangkan untuk bertemu pun
kita tidak pernah bisa?”
Masih. Ingin aku meneriakkan kata
itu. Namun raut lelah di wajahnya membungkamku.
It’s
over. Keputusan itu telah dibuat.
Setahun aku menjalani hari-hari
dengan harapan bisa bergerak maju. Meninggalkan bayangannya dan segala kenangan
tentangnya di belakang. Namun nyatanya aku masih bergerak dengan cinta yang
sama meski kata usai telah terucap di antara kita.
Dan di saat undangan pernikahannya
datang ke meja kerjaku, saat itu juga aku merasa hancur. Semula aku berharap Sigit
masih memegang kenangan kita. Selama aku mengetahui Sigit masih sendiri, selama
itu pula aku memegang keyakinan bahwa kesempatan untukku masih ada. Hanya masalah
ego, dan di saat kita sama-sama menyadari bahwa we can’t life without each other, kita akan kembali bersama.
Namun sekali lagi harapanku harus
kandas. Undangan elektronik itu menghancurkannya.
Kuteguk red wine di gelasku hingga habis. Dari lantai dua tempatku berdiri,
jelas terlihat Sigit di halaman sana. Bersanding dengan perempuan entah siapa.
Pulhan ribu Euro kukeluarkan demi
datang ke sini. Belasan jam jarak kutempuh melintasi dua benua untuk
menyaksikan pria yang kucintai bersanding di pelaminan dengan perempuan lain. Sudah
tak terhitung tisu yang terbuang untuk menghapus air mataku. Lalu, di sinilah
aku sekarang. Menatap pria yang kucintai dengan hati hancur berkeping-keping.
Seperti halnya maket galeri ini yang
masih tertinggal di tempatku, kenangan akan kita pun masih tertinggal di
hatiku. Dan aku ke sini untuk mencari tahu apakah dia masih mengingatnya?
Perlahan, aku bergerak menuruni
tangga.
PS: Kesamaan nama hanya demi iseng semata *lol*
beneran cuma iseng, Ip?
ReplyDelete*batuk kering* :)))
Drpd nyamber ngecengin gue mending lo nyamber bikin ceritanya juga hahhaha
ReplyDelete