NB:
Tema ke-6 dalam rangka 30 Stories 30 Days
Tema
oleh: Intan Aprilia
Insecure dan percaya diri, dua hal
yang saling berkaitan. Bicara soal hal ini memang enggak akan pernah ada
habisnya, karena, well, topik ini
memang related banget ke hidup banyak
orang. When we were a kid, when we were a
teenager, and now, when we are an adult.
Or at least for me.
Ketika
menulis hal ini, saya bertanya pada diri sendiri, ‘apa yang bisa kamu tulis
tentang percaya diri? Are you confident
enough to talk about it?’
Mungkin
jawabannya adalah tidak, tapi saya akan mencoba bicara tentang percaya diri
dari kacamata saya, seseorang yang butuh waktu hampir sepuluh tahun untuk bisa
sedikit percaya diri.
Insecure, Masalah Semua
Orang
Saya
rasa, hampir semua remaja merasa insecure.
Ada saja hal yang membuat kita minder dan tidak bisa percaya diri. Merasa
kurang cantik, kurang pintar, kurang kaya, dan kalau ditelaah, akan ditemukan
banyak hal kecil yang bisa menjadi sumber insecurity.
Sampai dewasa, hal ini terus kita rasakan, bisa berkurang atau malah bertambah.
Bahkan,
orang paling flawless sekalipun juga
pernah dealing with their insecurity.
Dalam
pekerjaan, salah satu job desk saya
adalah menulis profil tentang seseorang, entah itu interview langsung atau
kurasi dari sumber kedua, ketiga, dan seterusnya. Seringkali saya menemukan
curhatan tentang insecure ini. Mereka
yang di mata kita terlihat seperti seseorang yang sempurna juga tidak bisa
terhindar dari hal ini.
Seulgi
‘Red Velvet’ pernah bercerita kalau dia sering merasa insecure akibat ketidakpastian yang dialaminya soal kapan akan
debut. Melihat teman-temannya secara silih berganti keluar dari agensi,
sementara dia menghabiskan waktu tujuh tahun sebagai trainee membuatnya sempat insecure
dan mempertanyakan apakah ini jalan yang benar?
Joy
‘Red Velvet’, salah seorang vokalis dengan suara menenangkan sempat tidak pede
untuk terus bernyanyi karena komentar negatif yang diterimanya dan membuatnya
jadi takut saat berada di panggung.
Irene
‘Red Velvet’, yang disebut sebagai salah satu seleb paling cantik, juga merasa insecure dengan wajahnya, sehingga dia
memutuskan memakai kacamata karena merasa wajahnya jelek.
Seorang
pemain film Indonesia berinisial T pernah bercerita kepada saya kalau growing up is suck, dan dia sempat
memiliki toxic friend yang membuatnya
akhirnya menyabotase diri sendiri sehingga insecure
dengan penampilannya, dan dia pun mengalami gangguan makan yang lumayan parah.
Atau
mungkin salah satu teman saya, dengan pemasukan bulanan yang bisa dibilang
fantastis, juga merasa insecure
ketika memikirkan masa depan dan kisah percintaannya.
We have our own
insecurities.
Masalahnya, jika dibiarkan maka insecure
ini akan menghambat kita dan ujung-ujungnya tidak membuat kita melakukan
apa-apa. Seulgi dan Joy melawan rasa insecure
itu, T juga melakukan hal yang sama. Teman saya, sampai saat ini masih sering
memikirkan hal ini, tapi perlahan kami bersama-sama mencoba untuk melawannya.
Saya
juga pernah merasa insecure. Flashback
ke masa sepuluh tahun lalu, sepertinya di tanggal-tanggal ini saya tengah
deg-degan ingin memulai perkuliahan. Salah satu teman kost saya dulu pernah
berkata, ‘Komunikasi kan isinya anak gaul semua. Jurusan artis. Tajir-tajir.
Yakin kamu bisa survive?’ Mendapat
pertanyaan seperti itu, nyali saya ciut, karena saya tahu jawabannya tidak.
Salah
seorang teman SMA saya juga pernah berkata. ‘Kok bisa kamu lulus Komunikasi?
Aku aja yang lebih pintar dari kamu dan ketika try out selalu lulus sementara kamu enggak, tapi kenapa malah
enggak tembus?’ Pertanyaan itu membuat saya berpikir, apa iya saya pantas
kuliah di sini?
Masa
awal perkuliahan adalah sesuatu yang berat. Selama berbulan-bulan saya seperti
berjalan di atas benang tipis, dan kapan saja harus siap untuk terjatuh kalau
saya tidak cukup yakin untuk meniti benang itu.
Satu
hal yang saya pelajari saat itu, I have
to fight back. Selamanya ciut enggak akan menyelesaikan masalah. Saya ragu,
saya gamang, saya tidak pede, tapi saya mencoba melihat dari sudut pandang
lain.
Just like what Sam said:
Ketika
melihat teman-teman, yang welcoming
saya dengan tangan terbuka, saya melihat ke depannya akan ada banyak hal seru
menanti untuk ditaklukkan, dan bukankah itu yang selama ini saya impi-impikan?
Saya selangkah lebih dekat dengan impian, apa saya tega semuanya jadi hancur
berantakan hanya karena saya tidak yakin?
Later, setelah semakin dewasa,
setelah berkenalan dengan banyak orang, setelah mengetahui banyak kisah hidup
orang, saya paham kalau we have our own
insecurities. Yang bisa dilakukan hanya dua, menyerah atau melawan. Ada
yang menyerah, ada yang melawan. Lucky me,
saya lebih banyak melihat orang-orang yang melawan, sehingga saya terpacu untuk
melakukan hal yang sama.
Belakangan
saya sadar kalau mungkin tidak ada orang yang benar-benar percaya diri. Karena
bagaimanapun, rasa insecure itu akan
selalu ada. Namun, kembali lagi, bagaimana cara kita membawa diri? Mereka yang
terlihat pede dan yakin bisa menguasai dunia, bisa saja di dalam hatiya dia
merasa insecure akan satu hal, tapi
hal itu tidak digubrisnya.
Dan
saya mencoba untuk seperti itu.
It’s Not Easy
Ini
tidak mudah. Tentu saja. Juga bukan hal yang bisa dilakukan dalam waktu
singkat. Seseorang mungkin butuh waktu beberapa hari saja untuk menumbuhkan
kepercayaan dirinya, dan ada yang butuh waktu bertahun-tahun.
Saya
termasuk orang yang membutuhkan proses dalam waktu lama.
2012-2013
merupakan titik balik dalam hidup saya. Di rentang waktu ini, saya akhirnya benar-benar
tahu siapa diri saya yang sebenarnya. Di rentang waktu ini juga, masa depan
yang dulu kabur, perlahan mulai terlihat cerah.
I’ve got a new and better
job. A job that fits me so much and makes me learnt many things, including how
to beat my insecurities. At that time, I also achieved my old dream, published
my own book.
Jatuh
bangun dalam waktu lama, melihat orang-orang datang dan pergi dalam hidup,
belajar banyak hingga akhirnya saya mulai merasa bisa melangkah dengan mantap.
The question is, what did
you do?
Sewaktu
interview Meghan Trainor, saya pernah bertanya apa ada kebiasaan sederhana tapi
punya impact luar biasa dalam
hidupnya yang bisa membuat dia jadi makin percaya diri? Meghan menjawab kalau
dia suka berkata dan menyemangati dirinya sendiri di depan kaca setiap pagi. Saying that she’s beautiful and she can do
it.
Sama
seperti Meghan, setiap pagi saya selalu berdialog dengan diri sendiri. Saya
akan memulai dengan pertanyaan simpel, ‘apa yang akan kamu lakukan hari ini?
Apa yang akan kamu capai hari ini?’ Dengan begitu, saya jadi tahu apa yang
harus saya lakukan untuk memenuhi keinginan di hari ini.
Lebih
jauh lagi, saya juga sering memarahi diri sendiri di depan kaca. Butuh
keberanian untuk memarahi diri sendiri, saya mengakuinya.
Pertengkaran
terbesar dengan diri sendiri terjadi ketika saya berumur sekitar 22 tahun.
Menjelang lulus kuliah, saya kembali gamang saat memikirkan masa depan. Saat
itu saya berkenalan dengan nulisbuku club. Awalnya saya enggak berani untuk
ikut, tapi suatu hari, ketika saya berdialog dengan diri sendiri, pertengkaran
itu terjadi.
Saya
memarahi diri sendiri yang pengecut, tidak berani untuk keluar dari kesendirian
yang selama ini sudah membuat saya terlalu nyaman. Saya membeberkan apa yang
mungkin saya dapatkan. Teman baru dengan interest
yang sama, kenalan dengan orang yang lebih ahli di bidang literasi, dan
tentunya kesempatan untuk mewujudkan impian lama yang selama ini selalu
tertunda karena saya yang terlalu pengecut.
Bertahun
kemudian, saya bisa berkata pada diri sendiri ‘told you, ya’ dan tidak ada penyesalan.
Again, what did you do? Well, sederhananya begini:
1.
Melihat
dari kaca mata lain. Kalau hanya melihat dari kaca mata kita dan satu sudut
pandang saja, saat ini saya pasti masih jadi sosok enggak pede yang punya
banyak kekhawatiran. Simpelnya, saya meyakinkan diri akan banyak petualangan
baru menanti di masa depan, jadi harus bisa nyiapin diri untuk menyambutnya.
2.
Berdialog
dengan diri sendiri, sejujur-jujurnya. Saya tahu, jujur kepada diri sendiri itu
sulit. Namun, perlahan-lahan pasti bisa. Setiap pagi, luangkan waktu untuk
berbincang dengan diri kita. Dan akhiri seperti yang dilakukan Meghan, ‘you can do it’.
3.
Saya suka quotes. Teman saya Astri Arsita pernah
menulis soal kenapa, sih, seseorang suka banget baca quotes? Saya termasuk seseorang yang suka membaca quotes. Quotes dari tokoh terkenal, quotes yang suka ditemui di tumblr dan
pinterest dan enggak diketahui sumbernya, saya juga suka menandai, lalu
mencatat kembali quotes menarik di
buku yang saya baca, atau menjadikannya caption
di Instagram. Saya follow beberapa
akun quotes, dan galeri handphone dipenuhi dengan quotes yang saya temukan, baik di
internet atau secara langsung. Sebelum berangkat kerja, saya akan membaca quotes ini and believe it or not, that quotes make me happy. Juga meyakinkan
saya kalau everything’s gonna be okay, at
least for today.
4.
Surround yourself with
positive people, who accept you for the real you, who laugh at themselves so
you can laugh at yourself. Pertengkaran dengan diri sendiri di tahun 2011 membuat saya
akhirnya mencoba untuk mengenal banyak orang baru dan memperluas pertemanan.
Akhirnya, saya bisa mengelilingi diri dengan teman-teman who inspire me in their way and maybe they don’t realize it. Selalu
ada yang bisa saya pelajari dari mereka. Di balik chat random, di balik obrolan saat makan siang, di balik obrolan
saat menghadang macet, di balik tawa haha hihi bersama mereka, selalu ada yang
saya pelajari dan saya kembalikan ke diri sendiri sehingga saya pun bisa jadi
sosok yang lebih baik.
Jadi,
apa yang kamu lakukan agar bisa percaya diri?
XOXO,
iif
Notes
Intan:
“Soalnya Kak If pernah cerita kalau dulu sempat enggak percaya diri dan
sekarang udah lebih percaya diri. Nah, itu gimana cara membangun kepercayaan
diri itu, pasti, kan, enggak gampang.”
Intan
is Cewekbanget.id’s writer. She’s not only inspired me about skincare or
lipstick, but our random conversation brings something into my life.
0 Comments:
Post a Comment