Tulisan
ke-19 dalam rangka 30 stories 30 days
Tema
oleh: Aditia Yudis
Status
dalam hubungan.
Kepastian
akan sebuah status dalam setiap hubungan seringkali menjadi topik diskusi yang
menarik. Somehow kita ingin
menegaskan sebuah status, apakah pacaran atau tidak? Karena terkadang sebuah
hubungan tidak lagi memiliki batasan yang jelas antara teman saja atau sudah
melangkah ke hubungan yang lebih serius alias pacaran.
Looking back to my teenage
years,
saya menganggap sebuah status itu penting. Kegiatan ‘nembak’ itu penting banget
karena di sanalah kita menetapkan batas apakah sudah pacaran atau masih sekadar
teman. Enggak heran kalau pertanyaan, ‘eh si Anu udah nembak lo belum?’ itu
jadi bahan obrolan super seru di dalam geng. Terlebih ketika saya sekolah dulu,
ada reality show ‘Katakan Cinta’ lagi
hits banget, sehingga nembak in a grand
scale itu jadi idaman.
But now, when I ask to
myself, is it really important to make a statement that we are officially
dating right now?
Bagi
saya, at my age right now, penegasan
akan sebuah status itu tidak melulu harus berupa kata-kata
gue-suka-sama-lo-dan-kita-jadian-ya? I mean,
bukankah kita sudah terlalu dewasa untuk tembak menembak seperti ini?
Teman
saya tidak setuju. “Penegasan itu penting. Emang, sih, enggak harus grand scale atau lebay kayak zaman
sekolah dulu. At least di antara kita
berdua ada penegasan kita ini apa? Just friend
or what? Karena gue capek menebak-nebak sebenarnya hubungan kita apa?”
I’ve got her point, karena bisa saja apa
yang kita tangkap tidak sama dengan apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh
gebetan. Karena tidak jarang juga hal ini menjadi kesalahpahaman.
But I have my point too. Ketika saya merasa
penegasan status itu tidak penting, hal ini harus didasarkan kepada sejauh mana
hubungan yang sudah dijalani. Ketika hanya baru berupa PDKT saja, when we’re still in the state of getting to
know each other, wajar jika kita belum bisa menarik kesimpulan. Namun ketika
intensitas hubungan sudah meningkat, bukan lagi getting to know each other, but know everything about each other,
dan sudah sama-sama tahu akan perasaan satu sama lain, I think we don’t need a statement.
Because how we act toward
each other has more meaning than a simple statement.
One day, I asked him, “so
what are we?” and he said, “I don’t know actually. Maybe we’re in a
relationship but you don’t want to call me boyfriend. For you, I’m just a
friend. But I don’t think we’re a friend. What about special relationship?”
And then, his punch line. “You’re
just want to having fun without worry about what will happen tomorrow. That’s
why you don’t want to make statement.”
Setelah
dipikir-pikir, I’ve got his point. Mungkin
juga, pemahaman saya akan kenapa kita tidak begitu membutuhkan statement adalah karena I don’t want to think about what will happen
tomorrow? I don’t want to make expectation and all I need just being with him
right now and enjoying our moment together.
Saya
pernah membaca twit Hetih Rusli, salah satu editor Gramedia Pustaka Utama. Saya
lupa kalimat pastinya, tapi saya ingat intinya. Kurang lebih twit itu berisi
begini. “Memasuki usia dewasa, rasanya kangen bisa jatuh cinta for the sake of falling in love tanpa
harus khawatir memikirkan hubungan ini akan berakhir di mana.”
Sejatinya,
saya sendiri lupa kapan jatuh cinta tanpa perlu berpikir akan seperti apa
hubungan ini nantinya. Jatuh cinta semata karena memang rasa itu ada dan
benar-benar enjoy menikmatinya. Dan ketika
akirnya momen tersebt datang, saya seolah tidak ingin menyia-nyiakannya.
I just want to fall in
love.
He said to me, “You’re a
hopeless romantic girl. I don’t think you fall in love with me. You just fall
in love with the idea of love. You fall in love with love.”
Maybe he’s right. Saya jatuh cinta kepada
cinta itu sendiri. Cinta yang apa adanya, tidak punya tendensi apa-apa, dan
cinta tanpa kekhawatiran.
When I’m writing this post
and look into his serious face, I know that in a relationship, it’s not always
about statement. But it’s about the idea of being in love.
Dan,
kita sama-sama tahu serta paham dengan jenis hubungan yang dijalani. Bukankah itu
lebih penting? I think so.
Kompromi, Itu Penting
Kompromi,
Jalan Keluar
Saya
yakin tidak semua orang akan setuju dengan pendapat ini. Ada yang menganggap
kalau status itu penting, karena jelas harus ada batas yang jelas antara pacaran
atau tidak. Juga untuk melindungi hati dari kemungkinan tersakiti.
Di
sinilah kita membutuhkan kompromi. Menurut saya, batas yang jelas itu harus
ada. Namun apakah batas yang jelas itu harus melulu berupa kata? I don’t think so. Karena itu dibutuhkan
kompromi agar cara kita melihat hubungan sama dengan cara dia melihat hubungan
ini.
I’ve been there before. Bahkan beberapa jam yang
lalu, kita sempat membahas hal ini. Sekali lagi, kita membuat kompromi.
Penegasan
versi saya adalah saya tahu jenis hubungan seperti apa yang saya jalani. Hubungan
yang day to day and worry free. Saya punya
alasan dan dia tahu alasan ini. Di sisi lain dia juga punya alasan dan saya pun
paham. Bagi saya, inilah bentuk kompromi itu.
Karena
pada dasarnya setiap hubungan adalah kompromi antara kedua belah pihak agar
bisa menjalani hubungan ini dengan nyaman.
So, what about your
relationship?
XOXO,
Iif
Adit:
“Kadang status itu memberatkan sih. Mengikat. Pengin tahu gimana pilihan ‘open
relationship’ itu lebih diterima sama orang-orang di sekitar, seperti teman
atau keluarga dekat. Juga, bagaimana kompromi dengan pasangan biar tetap akur
dan sejalan-sepemikiran. Ya lo bisa curhatlah di sini.”
Adit is my partner in
crime when it comes to writing. We make novel together, maybe 3 or 4? I lost my
count actually but we already publish our book called Mendekap Rasa and
expecting our upcoming book, Black Leather Jacket—project name. She’s also my
mentor in writing, also my go-to person when I have any idea to write. She encourages
me to always keep writing and writing, just like Dori who always encourages
Nemo to keep swimming. I don’t think I’ll be able to reach my dream to be a
writer without her. Thank you for being my ‘writer soulmate’ ya.
0 Comments:
Post a Comment