Jessica & Jonah: Es Krim

1 comment
Jessica & Jonah: Es Krim

Note: Cerita ini terinspirasi dari promotional picture Baskin Robbins Korea versi Jonghyun.
Note 2: Tokoh Jessica & Jonah merupakan pasangan yang ada di salah satu draft yang aku tulis sekarang (untuk sementara judulnya Jessica & Victoria). Karena males nyari tokoh baru, dan masih dalam rangka mendalami karakter untuk novel tersebut, jadi dipinjam saja.
Note 3: Udah lama enggak nulis flash fiction. Jadi harap maklum yak kalo absurd, hehe.

“Boom…!”
Teriakan itu menyambutku ketika membuka pintu apartemen di lantai 30 ini. Otomatis, teriakan itu membuatku memutar bola mata.
“Watch out…!”
Teriakan kedua yang berhasil membuatku melemparkan tawa tipis.
“Jong?” panggilku sambil membuka sepatu dan meletakkannya di rak sepatu di dekat pintu, lalu menggantinya dengan sandal rumah yang nyaman. Rasanya lega bisa mengistirahatkan kakiku setelah sehari penuh berjalan ke sana kemari menggunakan sepatu super tinggi ini.
“Di sini,” sahut sebuah suara dari dalam apartemen. “Arghh…”
“Kamu lagi ngapain, sih?” tanyaku seraya masuk ke dalam apartemen.
Ruang tamu itu kosong, tidak ada sosok Jonah di sana. Namun, aku masih mendengar gumaman-gumaman random dari arah dalam apartemen.
“Aku di sini Sica. Kamu ke… Agh… kok kebalik sih?”
Lagi-lagi aku memutar bola mata. Kalau Jonah sudah berkomentar random seperti itu, ini tandanya dia sedang asyik dengan dunianya sendiri.
Asyik dengan dunianya sendiri berarti…
“Jong, what are you doing?”
Aku berhenti di rak buku yang membatasi ruang tamu dengan ruang santai di apartemen Jonah. Pacarku itu sedang duduk bersila di atas karpet, dengan sendok tergantung di mulut, semangkuk es krim terletak di antara kedua pahanya, dan tatapan fokus ke sebuah benda beroda empat tidak jauh dari tempatnya duduk. Di sekelilingnya, bertebaran buku-buku yang sepertinya sengaja diletakkan di sana sebagai rintangan.
Jonah mengangkat wajahnya. Ketika matanya bersitatap denganku, dia menyengir lebar.
Sambil tetap menggigit sendok.
“Yess…!” Dan detik selanjutnya, dia kembali fokus pada mobil-mobilannya.
Kusandarkan tubuhku ke rak buku, sambil berpikir. Apa aku pacaran dengan cowok dua puluh tahun atau lima tahun? Karena yang ada di hadapanku ini sama sekali enggak cocok disebut sebagai cowok middle 20s. Kelakuannya enggak jauh beda dengan Lewis, keponakanku yang masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak.
Sepanjang hari ini aku menghubungi Jonah dan dia memberitahuku kalau dia sedang sibuk. Memang, sih, tumben-tumbenan dia bisa berada di apartemen seharian, tidak bekerja, tapi aku sama sekali tidak menyangka kalau sibuk versi Jonah adalah main mobil-mobilan.
Mungkin benar kata orang-orang. Selalu ada sisi kanak-kanak di diri setiap cowok.
“Kamu ngapain berdiri di sana?” tanya Jonah tanpa mengalihkan perhatian dari mobil-mobilan yang sekarang sedang mencoba menaiki sebuah tumpukan yang terdiri atas lima buku.
Aku menyeret tubuhku mendekati Jonah, lalu duduk di atas karpet di sampingnya. “Jadi kamu seharian main ginian?”
Lagi-lagi dia menyengir lebar—cengiran yang membuatku hanya bisa geleng-geleng kepala.
“Kamu kayak bocah.”
Jonah melirikku dengan ujung matanya. “Daripada kamu ngomel-ngomel gitu, mending kamu ambil mobil-mobilan di sana,” ucapnya sambil menunjuk satu lemari penuh berisi koleksi mobil-mobilannya dengan menggunakan dagu. “Kita tanding. Oke?”
“He?”
Jonah mendecakkan lidahnya. “Relax, Sica. Mukamu itu kayak orang mau perang aja.” Dia terkikik.
“Lagi banyak kerjaan di kantor,” sahutku seraya memijit tengkuk. Dari jarak sedekat ini, aku bisa memperhatikan Jonah. Sebersit rasa iri muncul di hatiku ketika melihat betapa enaknya hidup Jonah.
Dia bekerja untuk dirinya sendiri. Dia melakukan pekerjaan yang disukainya. Dan ketika punya waktu luang sedikit, dia bisa bersenang-senang seperti ini. main mobil-mobilan sambil makan es krim.
Sedang aku? Bukannya aku tidak menyukai pekerjaanku. Aku menyukainya. Sangat menyukainya. Hei, di usiaku yang baru 26 tahun, aku sudah jadi salah seorang produser yang diperhitungkan, gimana aku enggak bangga? Namun, aku tidak bisa santai seperti Jonah. Benar-benar memanfaatkan waktu luang untuk bersantai. Karena selama ini, meski di hari libur, otakku masih berkelana ke pekerjaan.
Jonah melirikku. Dengan isyarat dagu dia menunjuk lemari kaca di belakangku. “Ayo. Aku bosan, nih, main sendirian.”
Aku berdiri sambil tersenyum. Sebelum beranjak menuju lemari kaca, aku memperhatikan Jonah. Sosoknya tampak santai dengan kaos dan jins dan mobil-mobilan dan es krim. Namun, ada sesuatu di dalam dirinya yang membuatku sangat bersyukur memiliki dia.
Karena Jonah selalu berhasil membuatku berpikir normal dan enggak dibuat gila oleh pikiran-pikiranku yang selalu mengkhawatirkan semua hal. Jonah selalu punya cara untuk membuatku bersantai di saat aku mulai dibuat gila oleh pekerjaan—meski dia seringkali tidak menyadaraninya.
Jonah selalu berhasil membuatku tetap waras.
“Sica…” gumamnya.
“Oke, oke,” sahutku sambil beranjak menuju lemari. “Tapi, aku mau es krim itu.”
Jonah mendongak dan memamerkan cengiran lebarnya. “Deal.”
Detik ini, bertambah satu alasan kenapa aku head over heels terhadap cowok ini.


Jong lagi main mobil-mobilan sambil makan es krim, hihi

SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

1 comment

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig