Camar Biru
Nilam Suri
Sepuluh tahun lalu, ketika patah hati, Nina membuat sumpah konyol
dengan sahabatnya, Adith, jika sepuluh tahun lagi mereka masih single, mereka akan menikah. Perjanjian itu
ditandai dengan sebuah paper bird
warna biru.
Sepuluh tahun berlalu, mereka sama-sama single dan memutuskan untuk menikah.
Nina dan Adith sudah bersahabat sejak kecil. Mereka bertetangga. Dulu
mereka berempat. Ada Narendra, kakak Nina, dan Sinar, kakak Adith. Sinar ini
juga jadi cinta monyet Nina. Narendra dan Sinar akrab banget sehingga Nina
lebih sering bareng Adith. Ketiga cowok ini juga overprotective terhadap Nina yang sampai udah kerja pun masih
diperlakuin kayak anak kecil. Sampai lima tahun lalu, ketika menjemput Nina
pulang kerja, kecelakaan itu terjadi. Narendra meninggal. Sinar yang enggak
sanggup menahan kesedihannya memutuskan kabur ke London.
Tinggal Adith yang selalu ada di sisi Nina di saat terapuhnya itu.
Begitu juga ketika Nina pergi dari rumah. Sejak awal, Nina memang
diperlakukan seperti anak yang enggak diharapkan sama orangtuanya. Berbeda dengan
Narendra yang seperti putra mahkota. Jadi, ketika Narendra meninggal, dan
ibunya menimpakan kesalahan kepadanya, Nina memutuskan untuk pergi. Lagi, ada
Adith di sisinya.
Nina pun berubah. Putri dari negeri gulali yang centil mendadak
jadi putri kelabu yang berantakan, enggak pernah dandan, cuek, dan semrawut. Tapi
ternyata ada alasan kenapa Nina berubah. Enggak cuma karena kematian Narendra. Rahasia
yang selama sepuluh tahun disimpannya, bahkan dari kakaknya sendiri.
Cuma butuh waktu beberapa jam untuk membaca buku ini. Thanks to Nilam atas gaya menulisnya
yang seru dan mudah diikuti. Apalagi saat ini gue sedang terobsesi dengan cerita
tentang the boy next door setelah
membaca Lola And The Boy Next Door,
jadi ketika tahu cerita ini juga tentang sahabat sekaligus tetangga, gue
semakin semangat.
Cerita ini diangkat melalui dua PoV, yaitu Adith dan Nina serta
sesekali PoV 3. Permainan multiple PoV ini udah pas. Cuma, satu kritik gue
yaitu ketika Nilam membahasakan Nina dengan gue. Okelah gue dikira pas dengan
karakter Nina yang cuek dan berantakan. Cuma, gue ngerasa kurang pas. Nina memang
cuek dan berantakan tapi itu cuma di permukaan. Deep in their heart, dia itu gloomy
banget. So far sih efek gloomy and blue udah dapet cuma kalau
dibahasakan pake aku pasti akan lebih dapet feel-nya.
Selain, tentu saja, buat ngebedain dengan Adith karena jujur saja enggak jauh
beda mereka ini.
Isi cerita sendiri lumayan kompleks dengan konflik berlapis dan
semua berhasil dieksekusi dengan baik. Di beberapa part gue sampai menitikkan air mata, apalagi tentang orangtua Nina.
Sumpah, ada ya orangtua sejahat itu? Gue setuju sama Adith. Di saat satu orang
anak meninggal, seharusnya mereka menjaga satu-satunya anak yang tersisa,
bukannya ngejauhin anak itu. Gue juga suka dengan ending konflik Nina dan
orangtuanya ini. Terlalu too good to be
true jika mereka berbaikan jadi gue salut sama Nilam yang tetap ngebiarin
mereka seperti ini. Hell, reality bites,
right?
Tapi, keasyikan gue agak terganggu dengan tokoh Sinar. Ini cowok
ngomongnya formal enggak sampai. Maksudnya, dia bermaksud untuk formal tapi
keserimpet pake nonformal. Lagian, sama sahabat dari kecil kok formal banget,
sih? Kesannya mereka, tuh, enggak ada dekat-dekatnya. Dan formal enggak
sampainya ini juga gengges. Misal pas Sinar ngomong, “kalau kamu laki-laki,
saya sudah menonjok kamu.” Bo, kalo formal beneran bisa kali diganti pake
meninju. Gue suka ketika Sinar ngobrol sama Adith, lebih luwes. Soalnya diceritain
kalau mereka dekat tapi dari gaya ngomongnya Sinar ini, enggak kerasa kedekatan
itu. Gue lebih suka Sinar ngomong bahasa Inggris, deh, sama Nina ketimbang
formal nanggung ini.
Lagi, bromance Sinar dan
Narendra aneh. Otak gue yang ngaco malah nangkep mereka lebih cocok jadi
pasangan gay ketimbang sahabat,
sumpah. Soalnya, kalau sahabat enggak sampai segininya kali. Email-email Sinar
untuk Narendra kebaca kayak email seseorang yang patah hati ditinggal mati
pacarnya. Seriously.
Oh, beberapa typo dikit
enggak masalah.
Di beberapa review gue sempat membaca banyak yang protes Nilam
memakai sapaan Si Kunyuk, Monyet, Beruk, dll. Tapi gue enggak bermaksud ikut
protes. Kenapa? Sometimes I found it’s
funny dan berasa dekat aja, hehe.
Kritik terbesar gue mungkin cuma di ending, ya. Gue suka ending
berakhir di Nina pergi. Menurut gue itu udah jadi konklusi yang pas dan happy. Nina memang pergi, tapi dia
bilang akan pulang dan Adith akan menunggu. So,
udah jelas kan kesimpulannya? Jadi, ketika gue baca bagian epilog, gue menyesal
baca bagian itu karena gue langsung drop.
Kalau tahu gitu, gue akan mengakhiri buku ini di bab Nina pergi.
Sebagai debut, buku ini bisa dibilang bagus banget. Dan real, itu yang paling penting. Oh,
lagu-lagu yang diselipin juga gue suka karena tipe lagu-lagu gue, jadul
maksudnya, hehe, dan iseng gue bisa menebak nih Mbak Nilam angkatan berapa dari
lagu-lagunya, hihi. This book is my cup
of tea dan gaya menulis Nilam juga. Can’t
wait for your next book, ya, Mbak.
0 Comments:
Post a Comment