[Sneak Peak] ready For Tiffany 2

Leave a Comment
{S: Melanjutkan post sebelumnya, kali ini dengan tokoh berbeda. Baca kisha Amanda di sini


Brit
The most eligible bachelor? Bagi seorang Brit, syaratnya sangat gampang. Dia haruslah memiliki husband material yang mencakup 4M alias mapan, menarik, matang, dan mahir. Mapan itu sebuah hal mutlak. Hidup makin susah, honey, jadi harus mencari someone yang bisa menjamin ketenangan sehari-hari. Menarik is a must. Apalagi bagi seseorang yang selalu tampil sempurna sepertiku. Malu dong jika pasanganku biasa-biasa aja? Ketiga, matang. Well, meski pacarku saat ini, Johan, lebih muda dua tahun dibanding aku, I prefer the old one. Pria yang matang dalam kedewasaan itu menempati definisi seksi terbaru versiku.
Terakhir, mahir. Masih banyak spekulasi tentang hal ini. Mahir bisa dalam hal apa saja. Dia harus mahir alias pintar sehingga bisa menjawab apapun pertanyaan anakku kelak. Dia harus mahir dalam bersikap alias nggak malu-maluin. And he must be good in bed. Suami itu investasi jangka panjang sehingga harus benar-benar dipastikan dia bisa memuaskanmu sepanjang masa. Nggak mau kan punya suami yang daya tahannya hanya sebentar?
Rugi.
And if you ask me, have I found Mr. Right? Not yet. Selalu saja ada kurangnya di mataku. Belum ada satupun mantan pacarku yang memenuhi keempat kriteria ini. Inilah yang membuatku selalu berganti dari satu pria ke pria lainnya. Bukannya bermaksud untuk mempermainkan perasaan pria-pria itu, hanya saja aku sedang dalam proses mencari. Tidak ada salahnya mencari sekian lama, bukan? Daripada memilih pria yang salah. Penyesalannya akan ditanggung seumur hidup.
Aku tertawa pelan. Jarum jam belum menunjukkan pukul sepuluh tapi pikiranku sudah melantur kemana-mana. Ini pasti gara-gara pembicaraanku dengan Amanda, juga macet yang menjebakku pagi ini. I need something untuk mengalihkan pikiran dari keinginan mengumpat mobil di depanku.
Kalau saja Romeo, produser Bachelor & Bachelorette, tidak mendesakku selama tiga bulan ini untuk menjadi guest star di acaranya, aku tidak akan mau duduk di sofa merah yang menjadi ciri khas acara tersebut. Aku pernah berkata, di salah satu ladies night antara aku, Amanda, dan Tika, bahwa hanya lajang desperate yang dengan senang hati mempertontonkan kelajangan mereka di stasiun televisi nasional tersebut. Hanya kaum single yang denial dan menganggap no problem dengan status mereka yang bisa tertawa di acara tersebut. Namun aku terpaksa menjilat ludahku sendiri. Aku pun mengangguk di depan Romeo.
Kuabaikan cercaan Amanda dan rolling eyes Tika ketika memberitahu mereka tentang keputusan ini. Bukan berarti aku menerima tawaran ini tanpa syarat. Malah syarat yang kuajukan sangat banyak.
Pertama, I’m not alone. Aku tidak ingin selama satu jam hanya aku satu-satunya tamu di sana. Kedua, aku ingin bintang tamu lain memiliki kapasitas yang sama denganku—succes and famous. Ketiga, aku hanya akan berbicara sesuai kapasitasku sebagai fashion consultant, yaitu memberikan tips bersikap dan berpenampilan bagi para single ladies. Well, tidak mencerminkan lajang desperate bukan?
Aku membelokkan mobil ke kawasan SCBD, tempat studio Prime TV berada. Tidak berapa lama, aku masuk ke pelataran parkir sebuah gedung yang didominasi warna biru. Petugas valet menyambutku. Well, aku tidak pernah berdamai dengan tempat parkir sehingga keberadaan petugas valet sangat membantu. Setelah melirik tampilanku di kaca, memastikan riasanku masih di tempatnya, aku membuka cat eye sunglasses dan turun dari BMW X3 milikku. Aku menyerahkan kunci mobil ke petugas valet dan melangkahkan kaki di lantai putih gedung Prime TV.
Ketika sedang menunggu lift yang akan membawaku ke lantai 15 datang, aku menghabiskan waktu dengan mengecek media sosial yang kupunya melalui ponsel. Sosialisasi sudah menjadi nama tengahku, baik di dunia nyata ataupun maya. Tidak mengherankan aku banyak memiliki kenalan. Beberapa berlanjut ke tahap yang lebih dekat ketimbang kenalan. Sebagian menjalin hubungan yang serius denganku. Hanya saja, terkadang aku merasa sepi. Seperti saat ini, ketika aku menunggu seorang diri. Tidak jarang aku mempertanyakan statusku. Mungkin bagi mereka yang mengenalku, mereka merasa aku baik-baik saja. Namun aku tidak baik-baik saja. Dalam sendiriku, sering aku membayangkan kehadiran pasanganku.
But, where is he? I don’t know. Tika bilang aku terlalu pemilih. Amanda bilang aku terlarut dalam permainan gonta ganti pasangan yang kujalani selama ini. They’re wrong. I’m still looking for the right guy to spend the rest of his life with me. Banyak yang bilang Johan cocok untukku. Dia memang mengerti aku sepenuhnya tapi aku benci dengan sikap childish dia yang menuntut perhatian 24 jam penuh. Hei I’m his girlfriend, not his babysitter.
Ketika mengajukan taruhan itu, sedikitpun aku tidak memasukkan nama Johan ke dalam daftar ‘pria incaran’. Aku tidak ingin menghabiskan sisa hidupku dengan bayi besar seperti dia.
But, who? Itulah pertanyaan yang masih mengganjal di benakku. Tidak ada calon sama sekali. Semalaman aku membongkar kontak pria yang kupunya namun semuanya membuatku mengerutkan dahi.
“Are you coming or not?”
Panggilan singkat, sekaligus sentuhan ringan di lengan yang kulipat di depan dada, menyentakku. Aku menoleh ke segala penjuru sebelum akhirnya menyadari yang berbicara kepadaku adalah pria dengan stelan jas hitam dan pantofel mengilat yang berdiri di dalam lift.
Miss, are you coming or not? Lift ini udah berhenti lama menunggumu.”
Aku menelan ludah dan dalam hati mengutuk kebodohanku. Perlahan kulangkahkan kaki memasuki lift. “Thanks.”
Aroma pinus yang mengingatkanku ke pagi yang indah di pegunungan menyambut penciumanku saat pintu lift tertutup. Hanya ada aku dan si pria-berjas-hitam di lift. Tentu saja wangi itu menguar dari tubuhnya. Dengan gaya seelegan mungkin dan berusaha untuk tidak terlihat kentara, aku menoleh ke arahnya. Selayang pandang aku bisa menyematkan poin perfect untuk penampilannya. Terlepas dari stelan jas yang meneriakkan kata mewah itu, he has a good face. Wajah persegi dengan semburat biru di sepanjang garis rahang. Rambut hitam lurus yang dipotong tepat di atas tengkuk dan anak-anak rambut nakal yang mencuri keluar memberikan kesan baby face. Turun ke bawah, di balik jas itu, aku yakin ada bisep oke dan dada bidang yang enak untuk dijadikan sandaran.
Well, not bad. Terbiasa menilai penampilan orang dalam waktu singkat membuatku bisa melakukan penilaian menyeluruh hanya dalam satu lirikan.
Pintu lift terbuka di lantai 15. Pria-beraroma-pinus itu melangkah mendahuluiku, meninggalkan semerbak aroma pinus yang menenangkan. Aku sampai memegang pintu untuk menenangkan diri agar tidak mengejarnya dan mengajaknya berkenalan. Tidak dalam waktu secepat ini meski untuk unsur menarik, dia sudah memenuhinya.
“Welcome to Bachelor & Bachelorette Brittania Raya.”
Sapaan Romeo sontak membuatku mendengus. I hate it. Pertama, aku benci dia menyebutkan nama panjangku—nama yang membuatku harus menjadi bahan olok-olokan. Kedua, dia menyebutkannya tepat di saat aku muncul di depan studio dan semua orang melihatku. Ketiga, dia menyuarakan nama acaranya keras-keras dan itu kembali membuatku mempertanyakan keputusanku.
Namun atas nama profesionalisme, sekuat tenaga aku menarik bibir membentuk sebuah senyuman dan menyambut pelukan Romeo. Kalau saja di awal pertemuan kami dulu Romeo sudah memiliki body sebagus ini—dulu dia kurus kerempeng dan berambut gimbal—mungkin dia sudah menjadi salah satu mantan pacarku.
“How are you?”
“Fine,” sahutku malas. “Jadi, ada siapa aja bintang tamunya?”
Romeo menggandeng lenganku masuk ke makeup room dan mendudukkanku ke salah satu kursi. Segera saja seorang pria kemayu menghampiriku dan tersenyum lebar. Sementara si kemayu yang memperkenalkan dirinya sebagai Sunny mendandaniku—sesuatu yang tidak perlu karena makeup ku masih sangat sempurna—Romeo menarik kursi di sebelahku dan menyerahkan selembar kertas.
“Ini rundown-nya. Lo masuk di segmen keempat, segmen terakhir. Pertama ada Widhi Wijaya, online entrepreneur, dan di segmen kedua ada Benjamin Ardian, general manager Global Retail Group. Terakhir, ada lo.”
Aku mengangguk-anggukkan kepala sambil membaca kertas yang disodorkan Romeo. Pilihannya tidak mengecewakan. Setidaknya aku tidak disejajarkan dengan model atau bintang sinetron yang kebanyakan hanya mengandalkan tampang.
“Gue tinggal dulu, nanti gue panggil begitu session lo dimulai, okay?”
Sekali lagi aku mengangguk-anggukkan kepala dan mulai menilai hasil kerja Sunny. Not bad. Dia hanya menambahkan eyeshadow hijau ke kelopak mataku, agar serasi dengan tube dress hijau yang tergantung di belakangku. Rambut ikal panjangku diikat ala ponytail dengan poni disasak lalu dijepit di atas. Lumayan, tidak terlalu menor seperti halnya acara televisi pada umumnya.
Sunny menyerahkan tube dress itu kepadaku dan menggiringku ke ruang ganti. Segera saja aku melepas leather pants dan knit sweater yang kukenakan dan menggantinya dengan tube dress itu. Agak sesak di bagian dada sehingga aku harus menahan napas ketika memasangnya. Aku tergelak saat teringat Amanda yang selalu berkomentar iri setiap kali melihat dada penuhku dan membandingkannya dengan dada 32A miliknya. Hey, it’s my asset.
Ketika kembali ke meja rias, langkahku terpaku saat melihat pria-beraroma-pinus itu duduk di tempatku bersama Sunny yang sedang menyemprotkan face water ke wajahnya. Dari pantulan wajahnya di cermin, aku hanya bisa meneguk ludah melihat salah satu bukti kesempurnaan ciptaan Tuhan.
Hei, what’s up. Dari tadi kamu memperhatikan saya seolah-olah ingin memakan saya saat ini juga.”
Terguran itu membuatku menelan ludah dan memalingkan muka karena malu. Tidak biasa-biasanya aku tertangkap basah sedang menilai seseorang. Jangan bilang raut wajahku benar-benar menunjukkan bahwa saat ini yang ingin kulakukan hanyalah mendesaknya ke dinding dan menciumi bibir tipi situ.
Aku menegakkan pundak dan melangkah anggun mendekatinya. “Speaking of eat, kebetulan saat ini saya sedang lapar,” sahutku sekasual mungkin.
“Ada makan siang, darling. Kamu mau makan sekarang?” Tanya Sunny.
Aku menggeleng. “Nanti saja. Baju ini sudah terasa sesak.”
Tanpa sengaja pria itu ikut melirik ke arahku dan tatapannya terpaku di tubuhku. Membuatku merasa jengah.
“Watch your eyes, pervert,” seruku sambil mengibaskan tangan di depannya.
Alih-alih tersinggung, dia hanya tertawa. Ada lesung pipi kecil di pipi kirinya ketika dia tertawa, membuatnya tampak semakin menggemaskan.
Oh no, mengapa penilaianku sudah sejauh ini? Padahal dilihat dari sikapnya, pria ini sepertinya tidak terlalu menyenangkan.
“So, are you Brittania Raya?”
Ada nada mengejek di balik pertanyaan itu ketika dia menyebutkan namaku. Percayalah, tiga puluh tahun aku hidup dengan ejekan itu—blame my parents atas kreativitas mereka yang sangat berlebihan sampai-sampai menamai anak-anaknya dengan nama negara tempat kami dilahirkan. Aku cukup bangga dengan tulisan London di akte kelahiran, tapi selalu mengernyit sebal setiap kali membaca nama lengkapku.
Dan sekarang, pria yang baru bertemu hari ini dan tidak kuketahui siapa dia, ikut mengejekku. Sial.
Aku melemparkan tatapan terganggu ke arahnya. “Kalau memang iya, kenapa?”
Sekali lagi dia tertawa. Kali ini sambil memutar tubuhnya agar sepenuhnya bisa menatapku. Tindakannya membuat Sunny sebal tapi dia tetap bergeming sehingga Sunny harus mengalah dan berpindah posisi agar bisa menata rambutnya.
“Sejak lama saya penasaran denganmu.”
“Do you know me?”
“Everybody knows you.”
Jawaban singkat yang langsung membuatku melayang tapi sebisa mungkin tidak memperlihatkannya. Aku masih setia dengan ekspresi tergangguku.
“Saya selalu penasaran dengan arti namamu. Apa kamu terobsesi dengan Inggris, atau karena sikapmu yang seperti bangsawan Inggris.” Dia mendelik dan tersenyum simpul—tapi kuanggap itu sebagai ejekan, “atau ingin jadi Ratu Inggris?”
Dia sudah kelewatan. Detik ini, penilaian yang kusematkan padanya hancur begitu saja. Aku menyesal sempat berfantasi yang nggak-nggak tentangnya. Di mataku, he’s nothing.
“Untuk tahu jawabannya, kamu bisa bertanya ke orang tuaku,” jawabku ketus.
“Tawaran yang menarik.”
What? Apa maksudnya? Aku menatapnya tajam untuk membuatnya melanjutkan ucapannya, tapi pria itu hanya tertawa kecil dan menatapku dengan pandangan yang tidak bisa kuartikan. Anehnya, aku malah bergidik melihatnya. Seakan-akan dia cheese cake yang membuatku tidak bisa memalingkan mata padahal aku tahu aku tidak boleh terus menatapnya di saat sedang diet.
“Saya suka yang unik-unik dan menurut saya nama kamu unik.”
Aku mendecak sebal dan mengalihkan tatapan darinya. “Kalau saya unik, apa bedanya dengan isi museum?”
Sialnya, tawanya malah semakin menjadi-jadi. “Well, Brittania, in case you don’t know, museum itu berisi barang langka, bukan unik.” Dia menunjuk pelipisnya dengan telunjuk. “Think smart.”
Sial. Berani-beraninya dia mempertanyakan intelijensiku. Dia pikir aku seperti perempuan plastik pada umumnya yang tampil oke tapi tidak memperhatikan otak? Apa perlu aku menjejalkan ijazah master dari NYU ke hadapannya agar dia tahu aku tidak bodoh? Di kamusku, dianggap bodoh adalah kesalahan terbesar yang tidak pernah bisa kutolerir.
Namun, belum sempat aku membuka mulut untuk melawannya, Romeo sudah menghampiri.
“Benjamin, lima menit lagi giliranmu, and you, Brit…” Romeo menatap ke arahku, “Sabar sebentar lagi ya.”
Aku masih gondok, namun saat mencerna ucapan Romeo, dan menyadari siapa pria yang mengolok-olokku barusan, kurasakan duniaku berguncang. Benjamin Ardian, pria yang baru saja dinobatkan sebagai the most eligible bachelor oleh Cosmopolitan Indonesia.
Aku hanya bisa menganga menatap punggung Benjamin yang melaluiku.
SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 Comments:

Post a Comment

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig