Brit
The most
eligible bachelor? Bagi seorang Brit, syaratnya sangat gampang. Dia haruslah
memiliki husband material yang
mencakup 4M alias mapan, menarik, matang, dan mahir. Mapan itu sebuah hal
mutlak. Hidup makin susah, honey,
jadi harus mencari someone yang bisa
menjamin ketenangan sehari-hari. Menarik is
a must. Apalagi bagi seseorang yang selalu tampil sempurna sepertiku. Malu
dong jika pasanganku biasa-biasa aja? Ketiga, matang. Well, meski pacarku saat ini, Johan, lebih muda dua tahun dibanding
aku, I prefer the old one. Pria yang
matang dalam kedewasaan itu menempati definisi seksi terbaru versiku.
Terakhir, mahir. Masih banyak spekulasi
tentang hal ini. Mahir bisa dalam hal apa saja. Dia harus mahir alias pintar
sehingga bisa menjawab apapun pertanyaan anakku kelak. Dia harus mahir dalam
bersikap alias nggak malu-maluin. And he
must be good in bed. Suami itu investasi jangka panjang sehingga harus
benar-benar dipastikan dia bisa memuaskanmu sepanjang masa. Nggak mau kan punya
suami yang daya tahannya hanya sebentar?
Rugi.
And if you
ask me, have I found Mr. Right? Not yet. Selalu saja ada kurangnya di mataku. Belum
ada satupun mantan pacarku yang memenuhi keempat kriteria ini. Inilah yang
membuatku selalu berganti dari satu pria ke pria lainnya. Bukannya bermaksud
untuk mempermainkan perasaan pria-pria itu, hanya saja aku sedang dalam proses
mencari. Tidak ada salahnya mencari sekian lama, bukan? Daripada memilih pria
yang salah. Penyesalannya akan ditanggung seumur hidup.
Aku tertawa pelan. Jarum jam belum
menunjukkan pukul sepuluh tapi pikiranku sudah melantur kemana-mana. Ini pasti
gara-gara pembicaraanku dengan Amanda, juga macet yang menjebakku pagi ini. I need something untuk mengalihkan
pikiran dari keinginan mengumpat mobil di depanku.
Kalau saja Romeo, produser Bachelor &
Bachelorette, tidak mendesakku selama tiga bulan ini untuk menjadi guest star di acaranya, aku tidak akan
mau duduk di sofa merah yang menjadi ciri khas acara tersebut. Aku pernah
berkata, di salah satu ladies night
antara aku, Amanda, dan Tika, bahwa hanya lajang desperate yang dengan senang hati mempertontonkan kelajangan mereka
di stasiun televisi nasional tersebut. Hanya kaum single yang denial dan
menganggap no problem dengan status
mereka yang bisa tertawa di acara tersebut. Namun aku terpaksa menjilat ludahku
sendiri. Aku pun mengangguk di depan Romeo.
Kuabaikan cercaan Amanda dan rolling eyes Tika ketika memberitahu
mereka tentang keputusan ini. Bukan berarti aku menerima tawaran ini tanpa
syarat. Malah syarat yang kuajukan sangat banyak.
Pertama, I’m
not alone. Aku tidak ingin selama satu jam hanya aku satu-satunya tamu di
sana. Kedua, aku ingin bintang tamu lain memiliki kapasitas yang sama denganku—succes and famous. Ketiga, aku hanya
akan berbicara sesuai kapasitasku sebagai fashion
consultant, yaitu memberikan tips bersikap dan berpenampilan bagi para single ladies. Well, tidak mencerminkan
lajang desperate bukan?
Aku membelokkan mobil ke kawasan SCBD, tempat
studio Prime TV berada. Tidak berapa lama, aku masuk ke pelataran parkir sebuah
gedung yang didominasi warna biru. Petugas valet menyambutku. Well, aku tidak pernah berdamai dengan
tempat parkir sehingga keberadaan petugas valet sangat membantu. Setelah melirik
tampilanku di kaca, memastikan riasanku masih di tempatnya, aku membuka cat eye sunglasses dan turun dari BMW X3
milikku. Aku menyerahkan kunci mobil ke petugas valet dan melangkahkan kaki di
lantai putih gedung Prime TV.
Ketika sedang menunggu lift yang akan
membawaku ke lantai 15 datang, aku menghabiskan waktu dengan mengecek media sosial
yang kupunya melalui ponsel. Sosialisasi sudah menjadi nama tengahku, baik di
dunia nyata ataupun maya. Tidak mengherankan aku banyak memiliki kenalan.
Beberapa berlanjut ke tahap yang lebih dekat ketimbang kenalan. Sebagian
menjalin hubungan yang serius denganku. Hanya saja, terkadang aku merasa sepi.
Seperti saat ini, ketika aku menunggu seorang diri. Tidak jarang aku
mempertanyakan statusku. Mungkin bagi mereka yang mengenalku, mereka merasa aku
baik-baik saja. Namun aku tidak baik-baik saja. Dalam sendiriku, sering aku
membayangkan kehadiran pasanganku.
But, where
is he? I don’t know. Tika bilang aku terlalu pemilih. Amanda bilang aku terlarut dalam
permainan gonta ganti pasangan yang kujalani selama ini. They’re wrong. I’m still looking for the right guy to spend the rest of
his life with me. Banyak yang bilang Johan cocok untukku. Dia memang
mengerti aku sepenuhnya tapi aku benci dengan sikap childish dia yang menuntut perhatian 24 jam penuh. Hei I’m his girlfriend, not his babysitter.
Ketika mengajukan taruhan itu, sedikitpun aku
tidak memasukkan nama Johan ke dalam daftar ‘pria incaran’. Aku tidak ingin
menghabiskan sisa hidupku dengan bayi besar seperti dia.
But, who? Itulah
pertanyaan yang masih mengganjal di benakku. Tidak ada calon sama sekali.
Semalaman aku membongkar kontak pria yang kupunya namun semuanya membuatku
mengerutkan dahi.
“Are you
coming or not?”
Panggilan singkat, sekaligus sentuhan ringan
di lengan yang kulipat di depan dada, menyentakku. Aku menoleh ke segala
penjuru sebelum akhirnya menyadari yang berbicara kepadaku adalah pria dengan
stelan jas hitam dan pantofel mengilat yang berdiri di dalam lift.
“Miss,
are you coming or not? Lift ini udah berhenti lama menunggumu.”
Aku menelan ludah dan dalam hati mengutuk
kebodohanku. Perlahan kulangkahkan kaki memasuki lift. “Thanks.”
Aroma pinus yang mengingatkanku ke pagi yang
indah di pegunungan menyambut penciumanku saat pintu lift tertutup. Hanya ada
aku dan si pria-berjas-hitam di lift. Tentu saja wangi itu menguar dari
tubuhnya. Dengan gaya seelegan mungkin dan berusaha untuk tidak terlihat
kentara, aku menoleh ke arahnya. Selayang pandang aku bisa menyematkan poin perfect untuk penampilannya. Terlepas
dari stelan jas yang meneriakkan kata mewah itu, he has a good face. Wajah persegi dengan semburat biru di sepanjang
garis rahang. Rambut hitam lurus yang dipotong tepat di atas tengkuk dan
anak-anak rambut nakal yang mencuri keluar memberikan kesan baby face. Turun ke bawah, di balik jas
itu, aku yakin ada bisep oke dan dada bidang yang enak untuk dijadikan
sandaran.
Well, not
bad. Terbiasa
menilai penampilan orang dalam waktu singkat membuatku bisa melakukan penilaian
menyeluruh hanya dalam satu lirikan.
Pintu lift terbuka di lantai 15.
Pria-beraroma-pinus itu melangkah mendahuluiku, meninggalkan semerbak aroma
pinus yang menenangkan. Aku sampai memegang pintu untuk menenangkan diri agar
tidak mengejarnya dan mengajaknya berkenalan. Tidak dalam waktu secepat ini
meski untuk unsur menarik, dia sudah memenuhinya.
“Welcome to
Bachelor & Bachelorette Brittania Raya.”
Sapaan Romeo sontak membuatku mendengus. I hate it. Pertama, aku benci dia
menyebutkan nama panjangku—nama yang membuatku harus menjadi bahan olok-olokan.
Kedua, dia menyebutkannya tepat di saat aku muncul di depan studio dan semua
orang melihatku. Ketiga, dia menyuarakan nama acaranya keras-keras dan itu
kembali membuatku mempertanyakan keputusanku.
Namun atas nama profesionalisme, sekuat
tenaga aku menarik bibir membentuk sebuah senyuman dan menyambut pelukan Romeo.
Kalau saja di awal pertemuan kami dulu Romeo sudah memiliki body sebagus ini—dulu dia kurus kerempeng
dan berambut gimbal—mungkin dia sudah menjadi salah satu mantan pacarku.
“How are
you?”
“Fine,” sahutku
malas. “Jadi, ada siapa aja bintang tamunya?”
Romeo menggandeng lenganku masuk ke makeup room dan mendudukkanku ke salah
satu kursi. Segera saja seorang pria kemayu menghampiriku dan tersenyum lebar.
Sementara si kemayu yang memperkenalkan dirinya sebagai Sunny
mendandaniku—sesuatu yang tidak perlu karena makeup ku masih sangat sempurna—Romeo menarik kursi di sebelahku
dan menyerahkan selembar kertas.
“Ini rundown-nya.
Lo masuk di segmen keempat, segmen terakhir. Pertama ada Widhi Wijaya, online entrepreneur, dan di segmen kedua
ada Benjamin Ardian, general manager Global
Retail Group. Terakhir, ada lo.”
Aku mengangguk-anggukkan kepala sambil membaca
kertas yang disodorkan Romeo. Pilihannya tidak mengecewakan. Setidaknya aku
tidak disejajarkan dengan model atau bintang sinetron yang kebanyakan hanya
mengandalkan tampang.
“Gue tinggal dulu, nanti gue panggil begitu session lo dimulai, okay?”
Sekali lagi aku mengangguk-anggukkan kepala
dan mulai menilai hasil kerja Sunny. Not
bad. Dia hanya menambahkan eyeshadow
hijau ke kelopak mataku, agar serasi dengan tube
dress hijau yang tergantung di belakangku. Rambut ikal panjangku diikat ala
ponytail dengan poni disasak lalu
dijepit di atas. Lumayan, tidak terlalu menor seperti halnya acara televisi pada
umumnya.
Sunny menyerahkan tube dress itu kepadaku dan menggiringku ke ruang ganti. Segera saja
aku melepas leather pants dan knit sweater yang kukenakan dan
menggantinya dengan tube dress itu. Agak
sesak di bagian dada sehingga aku harus menahan napas ketika memasangnya. Aku tergelak
saat teringat Amanda yang selalu berkomentar iri setiap kali melihat dada
penuhku dan membandingkannya dengan dada 32A miliknya. Hey, it’s my asset.
Ketika kembali ke meja rias, langkahku
terpaku saat melihat pria-beraroma-pinus itu duduk di tempatku bersama Sunny
yang sedang menyemprotkan face water
ke wajahnya. Dari pantulan wajahnya di cermin, aku hanya bisa meneguk ludah
melihat salah satu bukti kesempurnaan ciptaan Tuhan.
“Hei,
what’s up. Dari tadi kamu memperhatikan saya seolah-olah ingin memakan saya
saat ini juga.”
Terguran itu membuatku menelan ludah dan
memalingkan muka karena malu. Tidak biasa-biasanya aku tertangkap basah sedang
menilai seseorang. Jangan bilang raut wajahku benar-benar menunjukkan bahwa
saat ini yang ingin kulakukan hanyalah mendesaknya ke dinding dan menciumi
bibir tipi situ.
Aku menegakkan pundak dan melangkah anggun
mendekatinya. “Speaking of eat,
kebetulan saat ini saya sedang lapar,” sahutku sekasual mungkin.
“Ada makan siang, darling. Kamu mau makan sekarang?” Tanya Sunny.
Aku menggeleng. “Nanti saja. Baju ini sudah
terasa sesak.”
Tanpa sengaja pria itu ikut melirik ke arahku
dan tatapannya terpaku di tubuhku. Membuatku merasa jengah.
“Watch your
eyes, pervert,” seruku sambil mengibaskan tangan di depannya.
Alih-alih tersinggung, dia hanya tertawa. Ada
lesung pipi kecil di pipi kirinya ketika dia tertawa, membuatnya tampak semakin
menggemaskan.
Oh no, mengapa
penilaianku sudah sejauh ini? Padahal dilihat dari sikapnya, pria ini
sepertinya tidak terlalu menyenangkan.
“So, are you
Brittania Raya?”
Ada nada mengejek di balik pertanyaan itu
ketika dia menyebutkan namaku. Percayalah, tiga puluh tahun aku hidup dengan
ejekan itu—blame my parents atas
kreativitas mereka yang sangat berlebihan sampai-sampai menamai anak-anaknya
dengan nama negara tempat kami dilahirkan. Aku cukup bangga dengan tulisan
London di akte kelahiran, tapi selalu mengernyit sebal setiap kali membaca nama
lengkapku.
Dan sekarang, pria yang baru bertemu hari ini
dan tidak kuketahui siapa dia, ikut mengejekku. Sial.
Aku melemparkan tatapan terganggu ke arahnya.
“Kalau memang iya, kenapa?”
Sekali lagi dia tertawa. Kali ini sambil
memutar tubuhnya agar sepenuhnya bisa menatapku. Tindakannya membuat Sunny
sebal tapi dia tetap bergeming sehingga Sunny harus mengalah dan berpindah
posisi agar bisa menata rambutnya.
“Sejak lama saya penasaran denganmu.”
“Do you know
me?”
“Everybody
knows you.”
Jawaban singkat yang langsung membuatku
melayang tapi sebisa mungkin tidak memperlihatkannya. Aku masih setia dengan
ekspresi tergangguku.
“Saya selalu penasaran dengan arti namamu. Apa
kamu terobsesi dengan Inggris, atau karena sikapmu yang seperti bangsawan
Inggris.” Dia mendelik dan tersenyum simpul—tapi kuanggap itu sebagai ejekan, “atau
ingin jadi Ratu Inggris?”
Dia sudah kelewatan. Detik ini, penilaian
yang kusematkan padanya hancur begitu saja. Aku menyesal sempat berfantasi yang
nggak-nggak tentangnya. Di mataku, he’s nothing.
“Untuk tahu jawabannya, kamu bisa bertanya ke
orang tuaku,” jawabku ketus.
“Tawaran yang menarik.”
What? Apa maksudnya?
Aku menatapnya tajam untuk membuatnya melanjutkan ucapannya, tapi pria itu
hanya tertawa kecil dan menatapku dengan pandangan yang tidak bisa kuartikan. Anehnya,
aku malah bergidik melihatnya. Seakan-akan dia cheese cake yang membuatku tidak bisa memalingkan mata padahal aku
tahu aku tidak boleh terus menatapnya di saat sedang diet.
“Saya suka yang unik-unik dan menurut saya
nama kamu unik.”
Aku mendecak sebal dan mengalihkan tatapan
darinya. “Kalau saya unik, apa bedanya dengan isi museum?”
Sialnya, tawanya malah semakin menjadi-jadi. “Well, Brittania, in case you don’t know, museum
itu berisi barang langka, bukan unik.” Dia menunjuk pelipisnya dengan telunjuk.
“Think smart.”
Sial. Berani-beraninya dia mempertanyakan
intelijensiku. Dia pikir aku seperti perempuan plastik pada umumnya yang tampil
oke tapi tidak memperhatikan otak? Apa perlu aku menjejalkan ijazah master dari
NYU ke hadapannya agar dia tahu aku tidak bodoh? Di kamusku, dianggap bodoh
adalah kesalahan terbesar yang tidak pernah bisa kutolerir.
Namun, belum sempat aku membuka mulut untuk
melawannya, Romeo sudah menghampiri.
“Benjamin, lima menit lagi giliranmu, and you, Brit…” Romeo menatap ke arahku,
“Sabar sebentar lagi ya.”
Aku masih gondok, namun saat mencerna ucapan
Romeo, dan menyadari siapa pria yang mengolok-olokku barusan, kurasakan duniaku
berguncang. Benjamin Ardian, pria yang baru saja dinobatkan sebagai the most eligible bachelor oleh
Cosmopolitan Indonesia.
Aku hanya bisa menganga menatap punggung
Benjamin yang melaluiku.
0 Comments:
Post a Comment