Kenalan Yuk
(Hari pertama #13HariNgeblogFF)
“Udah sana samperin.”
Aku memberengut. Sebagian karena
harus berdesak-desakan di kereta menuju Jakarta di Jumat pagi ini, sebagian
lagi karena Ale yang cerewet dan terus menyikut rusukku. Tidak peduli jika
tindakannya itu membuat berdiriku goyah dan terhuyung ke samping sehingga tanpa
sengaja menabrak ibu-ibu berjilbab hitam yang balas menatapku sewot.
“Ntar nyesel, loh.” Sekali lagi
Ale menyikut pundakku.
“Jangan dorong-dorong dong,”
tukasku.
Ale mendecakkan lidah karena sebal
dengan tanggapan dinginku. Dia mendelik, membuatku semakin merengut.
“Apa gunanya coba lo naik kereta
tiap pagi kalau ujung-ujungnya malah stuck
begini. Ingat tujuan awal lo nggak sih?”
“Gue naik kereta karena cuma ini
transportasi paling cepat menuju kantor.”
Ale mencibir. “Bukan karena dia?”
Dengan dagunya, Ale menunjuk seorang
pria yang berdiri tidak jauh di sisi kiriku. Kita menatap ke arah jendela uang
berbeda sehingga dari tempatku berdiri, ketika aku mencuri-curi pandang ke
arahnya, aku hanya bisa melihat sisi kanan wajahnya.
Sejujurnya,Ale ada benarnya juga. Mungkin,
satu-satunya alasan mengapa aku rela naik kereta setiap pagi karena pria itu. Masa
bodo dengan transportasi tercepat, karena kantorku yang tidak mengenal jam
masuk tidak mengharuskanku berangkat pagi-pagi buta. Aku bisa saja naik mobil,
seperti biasanya setiap kali aku menginap di rumah Mama di Depok. Atau bisa
saja aku menginap di apartemen, seperti biasanya.
Namun, pria itu mengubah siklus
hidupku. Setidaknya, jika aku bisa mengambil sisi positifnya, siklus hidupku
yang baru membuat Mama senang karena aku setiap hari pulang ke rumah.
Aku bertemu pria itu tanpa
sengaja. Ketika mobilku mogok dan ada meeting
pagi di kantor. Mama menyarankan naik kereta. Karena tidak berani sendiri, aku
memaksa Ale, sahabatku sekaligus tetanggaku, untuk menemaniku. Di pagi yang
berdesak-desakan itulah aku melihat dia. Tampak kasual dengan celana jins dan
jaket kulit. Rambut ikal sebahunya diikat sehingga memperlihatkan rahangnya
yang tegas. Aku masih ingat, betapa selama 45 menit di kereta aku harus menahan
napas karena dia berdiri tepat di belakangku. Wangi pinus bercampur aura
maskulin di tubuhnya membangkitkan sisi femininku yang telah lama terkubur. Terlebih,
dada bidangnya yang menempel erat di punggungku. Membuatku nyaman.
Sejak saat itu, aku bertekad ingin
mengenalnya. Kembali aku mengulang siklus yang sama. Naik kereta di jam yang
sama. Juga di gerbong yang sama. Dia selalu ada. Masih sama seperti pertama aku
melihatnya.
Bedanya, dari hari ke hari justru
aku yang makin kelimpungan.
Ale-lah yang pertama kali
menyadari perubahanku. Dua puluh tahun mengenalku membuat dia mengerti aku luar
dalam. Jika aku sudah mulai bertingkah aneh, pasti terjadi sesuatu padaku.
“Jatuh cinta sama siapa?” Minggu
lalu, dengan entengnya Ale bertanya. Aku langsung menggeleng, tapi tanpa sadar
pipiku bersemu merah. Apalagi tak lama setelahnya, pria itu masuk. Kali ini,
rambut ikalnya dibiarkan tergerai. Aku sempat salah tingkah ketika dia berdiri
di sampingku, dan Ale langsung menarik kesimpulan. Sejak saat itu, sampai hari
ini, Ale selalu cerewet menyuruhku berkenalan dengannya.
Kereta berhenti di stasiun Lenteng
Agung. Penumpang yang baru masuk membuatku semakin terdesak ke dalam. Ale menarik
lenganku untuk masuk lebih ke dalam. Tahu-tahu saja, aku sudah berdiri di
sebelahnya. Kedatanganku yang tiba-tiba—juga Ale yang sama sekali tidak sopan
dengan mendorongku—membuatku tanpa sengaja meraih pegangan tangan yang sedang
dipegangnya. Itulah kontak fisik pertama yang kulakukan dengannya.
“Sorry,” ujarku dan tertunduk malu.
Dia hanya tersenyum dan melepaskan
pegangannya dengan maksud membiarkanku memegang pegangan itu.
Sekali agi, Ale menyikut rusukku. Dari
ekspresinya aku tahu, dia menyuruhku mengajak ngobrol pria tersebut. Namun, apa
yang harus kukatakan?
“Tanyain turun di mana?” bisik Ale
dan aku malah menggeleng. Tidak berani.
Tiba-tiba, Ale berpindah ke
belakangku. Dia mencolek pundak pria itu. “Turun di mana, Mas?”
Aku terpana, begitu juga dengan
pria itu. Dia menatap Ale dengan tatapan aneh sedangkan aku menatap Ale dengan
pandangan bertanya-tanya. Satu tanganku terkepal, siap memukul Ale jika dia
macam-macam.
“Teman gue ini.” Ale merangkul
pundakku. “Baru sekali ini naik kereta. Dia mau turun di Tebet dank arena gue
harus buru-buru ke kantor, gue lagi nyari orang yang bisa buat nitipin dia. Kalau
boleh tahu, Mas turun di mana?”
Aku makin terpana sementara ekspresi
pria itu mulai melunak.
“Kebetulan gue juga turun di
Tebet. Ntar, bareng gue aja.”
Aku menundukkan wajah untuk
menyembunyikan semu di pipiku. Jelas saja dia turun di Tebet. Aku dan Ale sudah
tahu itu. Sekarang, aku mengerti arah permainan Ale.
“Nah, Tiz. Lo sama Mas ini aja ya.”
Ale mengacak-acak rambutku. “Temani dia sampai naik taxi ya, Mas. Anak manja
ini suka takut nyasar.”
Pria itu tersenyum.
Kereta berhenti di stasiun Cawang.
Sebagian besar penumang mulai turun sehingga kereta jadi lebih lowong.
“Yuk, siap-siap,” ajaknya,
Ale mendorong tubuhku untuk
mengikutinya. Dia mengacungkan dua jempol sebagai isyarat menyemangatiku. Ah,
seperti biasa, semua jadi lebih mudah karena Ale.
“Kamu ke arah mana?” tanyanya.
“Kuningan,” sahutku, menyebutkan
kata pertama yang terlintas di benakku.
Kereta berhenti di Stasiun Tebet. Dia
tersenyum dan mempersilakanku untuk turun lebih dulu. Dia berjalan di sampingku
di sepanjang peron. Dari tindakannya, aku menyimpulkan dia pria yang baik. Kurang
baik apa coba dia mau menemani orang asing sepertiku?
Setidaknya, yang awalnya masih
asing selalu memiliki kesempatan untuk dekat. Aku berharap begitu.
Kami melangkah keluar stasiun dan
langsung disambut jalanan yang ramai.
“Itu ada taxi kosong,” ujarnya.
Aku menatap ke arah yang
ditunjuknya. Sebuah taxi sedang melaju ke arahku. Tanpa menunggu persetujuanku,
dia menyetop taxi itu.
“Kamu duluan,” ujarku.
“Kamu aja. Aku tinggal naik angkot
biru itu,” sahutnya sambil menunjuk angkot biru yang ngetem di depan stasiun. “Lagipula,
aku sudah janji pada temanmu itu untuk memastikan keselamatanmu.”
Aku tersenyum malu-malu.
“Beneran?” sejujurnya, aku hanya
mengulur waktu untuk berlama0lama dengannya.
Dia mengangguk.
Dengan berat hati, aku membuka
pintu taxi. “Thanks ya. Ngomong-ngomong,
aku Laeticia.” Aku mengulurkan tangan.
Dia menyambut uluran tanganku dan
memberikanku senyuman hangat. “Lendra.”
Lendra. Nama yang bagus.
“Sekali lagi, makasih ya.”
“Sama-sama. Hati-hati,” ujarnya
sembari menutup pintu taxi.
Di dalam taxi, aku berteriak tanpa
suara.
*MUngkin bersambung*
0 Comments:
Post a Comment