Once Is Enough

Leave a Comment
Once Is Enough
Aku yang menyakiti, Aku yang kembali...
Oleh: Ifnur Hikmah

-->
Aku gelisah dalam dudukku. Kursi tinggi—seperti kursi bar—ini membuatku tidak nyaman. Kakiku yang tidak menjejak lantai berayun-ayun, seiring dengan desah nafasku yang kian menggebu. Mataku menatap lurus ke depan, menembus pilar-pilar kaca dengan lukisan bunga yang berjajar membatasi area kantin dengan taman dan pedestrian di hadapannya—berharap semoga salah satu diantara sekian banyak orang yang lalu lalang di pedestrian sana adalah kamu.
Pesan terakhirmu mengatakan kamu masih kesusahan mencari lahan parkir. Aku tergelak. Bukan hal baru, mengingat populasi mobil di kampus ini berbanding lurus dengan jumlah mahasiswanya.
Sekali lagi kudesahkan nafas berat.
“I’ll be waiting for you. Here inside my heart. I’m the one who wants to love you more…”
Suara bening Celine Dion mengalun indah dari speaker di area kantin. Lagu penuh makna, juga penuh sindiran terhadapku.
Sekali lagi aku mendesah, bersamaan dengan bayangmu yang terpantul di pilar kaca di hadapanku.
Aku berbalik. Terpaku pada kedua bola matamu yang menyiratkan banyak tanda tanya ketika beradu pandang denganku.
“You look terrible,” ujarku. Bukan kalimat sapaan yang baik, mengingat ini pertemuan pertama kita setelah sekian lama tidak bertemu. Hanya saja, lidahku terlanjur kelu dan semua kata sapaan yang telah kupersiapkan semenjak tadi lenyap begitu saja.
Namun aku tidak bohong. Kamu memang terlihat menyedihkan. Cambang yang tidak terurus menutupi garis rahang dan dagumu, juga sebaris kumis di atas bibir.
Teringat dulu aku selalu menyeretmu ke kamar mandi setelah berhari-hari kamu tenggelam dalam pekerjaanmu merancang bangunan dan tidak lagi memerhatikan keadaanmu.
Kamu menarik kursi di sebelahku.
“Kamu apa kabar?”
“Beginilah.” Sebuah jawaban singkat. Bahkan kamu tidak menatap ke arahku.
“Kamu sibuk?”
“Setengah jam lagi aku ada jadwal ngajar,” sahutmu, masih dengan nada datar.
Teringat dulu kamu selalu menanggapi setiap pertanyaanku dengan antusias, tidak peduli pertanyaan paling bodoh sekalipun. Juga, crunchy smile milikmu yang selalu membuatku gemas.
“Setengah jam kurasa cukup.”
“Untuk apa?” potongmu, “untuk menyakiti hatiku lagi?”
Aku tercekat. Hampir saja gelas yang kupegang melorot ke lantai. Sedikitpun aku tidak menyangka kamu akan menyerbuku dengan tuduhan itu. Setidaknya, tidak dalam waktu sedini ini, di saat bertukar kabar pun belum kita lakukan.
“Aku tidak bermaksud begitu. Maksudku…”
“Sudahlah. Aku mau ngajar.”
Lalu, kamu bangkit berdiri. Begitu saja.
Semula, aku masih berharap kamu mau mendengarkan penjelasanku. Setidaknya, kesediaanmu bertemu denganku kuanggap sebagai setitik harapan kecil. Masih jelas betapa bahagianya aku setelah berjam-jam menimbang cara yang tepat untuk menghubungimu lagi, akhirnya kuberanikan diri untuk mengirimimu pesan singkat. Nyatanya, kamu membalas pesan itu. Dan kamu mengiyakan ajakanku untuk bertemu. Meski aku harus menempuh jarak Jakarta-Karawaci, itu bukan masalah.
Karena yang kubutuhkan hanyalah melihatmu lagi.
Punggungmu yang kian menjauh membuatku tersadar. Buru-buru aku melompat turun dan mengejarmu. Sedikitpun tidak peduli meski bebatuan yang membelah halaman berumput ini mengganggu langkahku. Aku masih mengejar langkahmu, meski harus berlari di pedestrian yang dipenuhi mahasiswa ini.
“Git… Sigit…” panggilku, namun tak ada jawaban.
“Sigit, wait. Please…
Kali ini, kamu berhenti. Kamu berbalik dan menatapku dengan tatapan yang—entahlah, aku tidak bisa mengartikannya.
“Please, give me a time,” bujukku begitu sampai di hadapanmu.
Kuberanikan diri untuk menggenggam tangan yang dulu tak pernah lepas dari genggamanku itu. Dengan sorot mata penuh pengharapan kuajak Sigit ke sebuah bangku kayu yang ada di sisi pedestrian. Pohon-pohon yang menghiasi sisi pedestrian ini membuat anganku melayang ke satu masa.
Teringat dulu ketika kita melewatkan dua kali musim semi di New York. Kita yang setiap sore sering menghabiskan waktu bersama segelas kopi di bangku kayu yang ada di Central Park.
“Aku nggak punya banyak waktu. Jadi, maumu apa?”
“Aku… aku…” Aku tergagap. Sudah sejauh ini dan aku tidak tahu apa yang harus kukatakan? Bodoh. Aku hanya bisa mengutuk diriku sendiri.
Tiba-tiba, kamu tergelak. Entah apa yang kamu tertawakan. Mungkin kebodohanku, atau kenekatanku. Atau juga menertawakan betapa tidak tahu dirinya aku, berani-beraninya menghubungimu setelah dua tahun menghilang dan memutuskan hubungan cinta denganmu begitu saja.
“Sari… Sari…” Kulihat kamu menggelengkan kepala, masih setia dengan tawa sinismu, “kamu sebenarnya nggak tahu kan apa tujuanmu mengajakku bertemu?”
Kutelan ludah yang terasa pahit mengaliri tenggorokanku. “Aku mau minta maaf.”
“Minta maaf?” Pria yang duduk di sampingku ini menatapku sinis. “After two years dan kamu baru minta maaf sekarang? Setelah kamu membuatku gila dengan menghilangnya kamu dan kamu yang memutuskanku begitu saja sesaat setelah aku melamarmu? I don’t understand.
“Sigit, itu yang mau aku jelasin sekarang.”
“Okay. Elaborate.”
Sekali lagi, aku menelan ludah. Pahit masih terasa mengaliri tenggorokanku, sama seperti kepahitan yang mencengkeram hatiku menghadapi dinginnya sikap yang diberikan Sigit kepadaku. Kualihkan pandangan ke lapangan basket di seberang taman. Kosong. Seperti masa depan yang terbentang di antara aku dan Sigit.
Kucoba untuk bersuara. “Waktu itu, aku belum siap. Masih banyak to do list yang belum tercapai. Kamu tau kan? Agenda berisi to do list itu? Semua mimpi-mimpiku?”
Lagi, kamu tergelak. Kali ini diiringi dengan tatapan sinis ke arahku. “Sekarang, kamu sudah mencontreng semua to do list itu?”
“Git… Aku…”
“Tidak pernah ada aku kan di dalam to do list itu?”
“Bukan itu. Maaf aku terlambat menyadari bahwa kamu sangat berarti. Aku mencintaimu.”
But it’s too late.” Kalimat singkat itu diucapkan dengan nada datar dan sinis. Kulihat sosok itu bangkit berdiri dan menatapku tajam. “I have to go.
“Git… Sigit…”
Percuma saja aku memanggilmu. Sosok itu sudah berlalu di hadapanku, berbaur dengan mahasiswa yang juga memenuhi pedestrian di hadapanku.
*

Kepalaku tertunduk. Kakiku menyusuri pedestrian di Benton Junction yang dialihfungsikan menjadi café outdoor. Banyak orang lalu lalang di sana, namun aku merasa sepi.
Kesepian yang selalu menggerogoti hatiku semenjak dua tahun terakhir ini, tepatnya setelah aku memalingkan langkah dari Sigit.
I love him. I really do. Hanya saja saat dia melamarku dua tahun lalu, aku belum siap. Ketika cincin pemberiannya kuletakkan berdampingan dengan agenda berisi daftar impian yang kucoba untuk wujudkan, entah mengapa, hatiku lebih condong ke agenda tersebut. Seakan cinta yang kujalani selama lima tahun ini tak ada artinya apa-apa.
Dengan berat hati, kukembalikan cincin itu, bersamaan dengan tetes air mata miliknya. Aku berbalik, tanpa menyadari bahwa saat itu aku juga terluka. Sekarang baru kusadari betapa bodohnya aku. Sigit sangat sempurna untukku, hanya saja aku terlalu buta untuk menyadarinya.
Kuhempaskan tubuhku di sofa orange yang terletak di depan Grasshopper Thai. Suasana Benton Junction sore ini cukup ramai. Cuaca mendung membuat sore ini cocok dengan melankoli yang memenuhi relung hatiku. Mataku bergerak berkeliling, menjelajahi setiap sudut pedestrian.
Teringat dulu aku dan kamu menikmati suatu sore di Orchard Road. Kamu yang selalu memberikan crunchy smile milikmu dan tidak pernah complain dengan banyaknya belanjaanku yang kamu bawa.
Barisan fairy lights di pepeohonan sepanjang Benton Junction mulai menyala. Entah berapa lama aku terduduk di sini, bersama segelas Basil Lemon Tea yang sudah tak jelas lagi rasanya. Sesekali kutolehkan kepala ke arah belakang, ke kampus tempat kamu mengajar. Berharap ada kamu di antara banyaknya orang yang menanti lampu hijau menyala di zebra cross di depan kampusmu.
Do you know what? Aku bergulat dengan peperangan bathin yang melandaku. Mungkin sekarang kamu sedang menertawakan kekurangajaranku. Aku pun sadar, mengajakmu bertemu kembali bukanlah hal yang bijak. Aku yang menyakitimu. Aku yang meninggalkanmu. Aku yang menolak lamaranmu dan memutuskan hubungan kita. Lalu sekarang, aku yang kembali padamu. Berharap sedikit saja kamu mau menerimaku kembali.
How pathetic I am, right?
Cahaya fairy lights ini memakuku. Teringat langit-langit kamar tidurku di apartemen yang kamu hias degan fairy lights membentuk tanda hati. Juga inisial nama kita. S & S. Do you know what? Fairy lights itu masih ada. Masih setia kupandangi setiap kali aku merindukanmu.
“Sari.”
Aku tersentak. Kuarahkan pandang ke sumber suara.
Lalu, di sanalah kamu. Di ujung jalan. Kemeja putih dengan aksen garis yang kamu kenakan tampak mencolok di antara kerumunan orang di pedestrian ini. Meski kamu terlihat kuyu—terrible—percayalah, aku masih melihatmu sebagai pria paling sempurna yang pernah diberikan Tuhan untukku.
Aku bangkit berdiri. Menunggumu dengan senyuman.
Thanks for coming. Aku tahu ini berat untukmu tapi aku janji, aku tidak akan meninggalkanmu lagi,” ucapku dengan penuh suka cita ketika pria yang begitu kucintai itu sampai ke hadapanku.
Namun sosok itu malah menggeleng. “I’m here to say goodbye. Dulu, kita belum sempat mengucapkan selamat tinggal.”
“Git…” Aku terpana.
“Aku menunggumu sampai akhirnya aku tidak tahu lagi untuk apa aku menunggu? Akhirnya aku menyerah.”
“Git…”
“Kamu ingat? Sejak dulu aku tidak pernah setuju dengan to do list di agendamu itu”
Aku mengangguk.
“Sampai kapanpun, itu akan menjadi penghalang kita. Selama tidak ada aku di sana.”
“Tapi, Git…”
“Makasih ya kamu sudah mengajakku bertemu sekarang sehingga kita berpisah baik-baik. Sudah nggak ada lagi yang mengganjal di antara kita.”
“Git…” Hanya itu yang bisa kuucapkan karena otakku yang tidak bisa diajak bekerja memikirkan ucapan lain. Perkataan Sigit memakuku.
I have my own life, hidup yang kuatur setelah kamu pergi. Aku sudah terlanjur nyaman berada di dalamnya dan aku tidak tahu apakah aku akan sanggup jika mengizinkanmu memasukinya lagi.”
“Tapi kita bisa mencoba…”
“Once is enough. Once is enough.”
Tanpa bisa dicegah, air mataku menets turun. Aku menangis. Menangisi kebodohanku. Menangisi penyesalan yang baru kurasakan sekarang. Menangisi harapan yang tidak pernah terwujud nyata. Menangisi kesempatan yang telah berada di genggamanku namun karena kebodohanku, kesempatan itu menguap.
Andai kamu tahu, Git, kamu berada dalam daftar teratas to do list itu. Hanya saja, aku baru menyadarinya sekarang, setelah aku terlanjur menyakitimu.
Aku berbalik, memandangi punggungmu yang kian berjalan menjauh.
Dan sampai kapanpun, aku yakin, cinta ini akan masih ada. Even you never realize.


PS: Menandai kunjungan pertama ke UPH dan Benton Junction di Karawaci. Kesamaan nama dan profesi hanyalah ketidaksengajaan belaka, hanya ingin menegaskan pertemuan dengan bapak dosen dengan 5 o'clock shadow super lebat setelah berhari-hari nggak cukuran + kemeja putih garis-garis + crunchy smile + tingkah salting malu-malu. Selamat mengajar Perencanaan Rancangan bapak dosen sekaligus arsitek kece :) 
SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 Comments:

Post a Comment

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig