Mama...
Oleh: Ifnur Hikmah
Aku menyeringai di depan cermin
besar yang disediakan Roberto di dalam rest
room, memastikan tidak ada something
stupid menyelip di gigiku. Ah, betapa orang Italia sangat pesolek
sampai-sampai membuat rest room
senyaman ini, aku menggumam dalam hati. Setelah memastikan gigiku dalam keadaan
aman, aku beralih memeriksa rambut. Pixie
cut yang membingkai wajahku semakin menonjolkan tulang pipiku yang tinggi –tulang
pipi yang membuatku terlihat ‘keras’. Kuoleskan hair mousse ke setiap helai rambutku agar tidak kelihatan lepek.
Pintu toilet terbuka dan tiba-tiba
saja aku tidak lagi sendirian di rest
room ini. DIsebelahku berdiri seorang perempuan berusia sekitar 30-an
dengan wangi Lola yang menusuk
hidung. Gila, memangnya dia memakai setengah isi botol Lola dalam setiap kali pemakaian? Dengusku.
Kulirik perempuan itu dan seketika
hatiku miris. Perempuan bertubuh sekal yang tampak bangga dengan dada dan
pinggul membusung. Tatanan rambut serta polesan make up yang diharapkan mampu membuat dia terlihat beberapa tahun
lebih muda. Jelas, tipikal perempuan yang dengan bangganya wara wiri di
pesta-pesta sosialita dan sering muncul di LifeStyle,
sister company majalah tempatku bekerja. Perempuan yang bangga dengan label
MILF yang disematkan di dadanya. Perempuan yang sejak tadi tidak henti-hentinya
melempar flirting kepada Roberto dan
membuat temanku itu mendecak sebal berkali-kali di dekatku.
Perempuan yang tidak akan pernah
bisa hidup tanpa lelaki di sisinya.
Just like my mom.
Hatiku kembali meringis. Mama…
Sosok yang harusnya mengajarkanku untuk menjaga kesakralan cinta tetapi
nyatanya malah menunjukkan betapa mudahnya cinta dihancurkan.
Aku menarik nafas panjang dan
melangkah keluar dari rest room.
Keheningan rest room yang tadi kurasakan mendadak berganti denagn keriuhan
pemotretan di dalam trattoria. Aku melempar senyum kepada Lanang Banyu,
fotografer Men’s Journal, sister company
LaModa, majalah tempatku bekerja. Banyu hanya membalas senyumanku dengan
lambaian tangan dan kuperhatikan dia sedang asyik berbincang dengan perempuan
super kurus yang sejak tadi menunggu di trattoria ini. Hmmm… itu model baru
Banyu? Dia memang tidak pernah salah memilih model.
Siang sudah semakin meninggi
tetapi langit Jakarta malah menggelap. Badai yang akhir-akhir ini sering
mengunjungi ibukota selalu berhasil menyulut kekesalanku. Aku harus cepat-cepat
menyingkir dari tempat ini jika tidak ingin terjebak macet. Kemang dan hujan
bukanlah padanan yang menarik, bukan? Kusambar tas dan segera kuhampiri Roberto
yang tengah melanjutkan aksi flirting-nya
kepada model kurus itu.
“Gue pulang dulu.”
“Cepet banget.”
Aku menunjuk keluar jendela dengan
daguku. “Males nyetir kalau hujan.”
“Oke.”
Roberto mencium pipiku, sesuatu
yang selalu dilakukannya sebagai ucapan selamat tinggal.
Denting lonceng yang dipasang di
pintu masuk terdengar saat aku baru saja berbalik.
Dan nafasku tercekat begitu
melihat siapa yang baru saja datang.
“Mama…”
Perempuan itu, yang tampak sangat
begitu mirip denganku, juga menatapku dengan tatapan kaget.
Namun, yang membuatku seakan
terkena serangan jantung adalah ketika melihat sosok yang datang bersama mama.
Bamma…
Pria yang akhir-akhir ini dekat
denganku. Pria pertama yang berhasil membuatku nyaman saat bersamanya. Pria
pertama yang membuatku rela membuka semua topeng kepura-puraanku dan berkata
jujur di hadapannya tentang semua kesedihanku. Pria pertama yang kubiarkan
memasuki benteng hatiku tanpa perlu bersusah payah mendakinya.
Juga, pria pertama yang mengetahui
cerita keluargaku, termasuk saat aku menangisi keadaan orang tuaku, terlebih
mama.
Bamma… Pria yang kupikir
mencintaiku tapi nyatanya tidak ada ubahnya dengan pria-pria lain. Munafik.
Sebelum air mataku turun, aku
berlari menuju pintu. Dengan paksa kulepaskan pegangan Roberto. Ah, dia pasti
tahu isi hatiku saat ini, sama seperti dia mengetahui tingkah mama selama ini.
Kuabaikan tatapan protes Banyu saat aku menerobos set yang sedang disusunnya. Aku hanya ingin pergi dari hadapan dua
orang pengkhianat ini.
“Sandy…”
Kudorong tubuh tegap yang berusaha
menghalangiku itu.
“Sandy… wait…”
Menunggumu, Bam? Untuk apa? Untuk
membuatku menangis lebih banyak lagi?
“Sandy…”
Kali ini Bamma berhasil meraih
tanganku dan dengan terpaksa kuhentikan langkahku, tepat di pintu masuk
trattoria.
“Dy, aku bisa jelasin…”
Aku menggeleng. “I know my mom for 27 years. Dan hari ini
dia membuka mataku untuk melihat siapa kamu sebenarnya.”
“Dy…”
“Udahlah, Bam, nggak usah
melihatku dengan tatapan seperti itu. Aku cuma kasihan sama kamu, sama jalan
yang kamu pilih. Kamu masih muda, masa depanmu masih cerah. Mengapa kamu mau
jadi mainan mamaku?”
Bamma terdiam tapi matanya masih
menatap lurus ke dalam mataku. Betapa tatapan itu dulu mampu membuatku jatuh
cinta tapi sekarang malah membuatku muak.
“Lupain apa yang pernah terjadi
diantara kita, Bam.”
Kuuraikan pegangan Bamma di
lenganku. Pria itu tampak pasrah saat satu persatu jemarinya terlepas dari
lenganku. Matanya masih menusukku, berharap agar permohonan maaf yang
disampaikannya melalui tatapan itu dapat kuterima.
Sayangnya, Bam, kamu terlanjur
menyakitiku.
“Cassandra…”
Aku mendongak saat mendengar
seseorang memanggilku. Mama. Beliau berdiri dengan pundak terkulai lemah dengan
satu tangan menahan pintu trattoria.
“Cassandra… nak…”
“Stay away,” seruku ketika melihat mama mulai melangkah, “let me go, mom.”
“Sandy…”
Kuhapus sisa air mata yang mengaliri
pipiku. You can do this, Cassandra.
Bukankah ini untuk yang ke sekian kalinya kamu menangis karena tindakan mamamu?
Aku membathin.
“Sandy, kamu dengerin mama…”
“You know what, Mom?” Aku memotong omongan mama sebelum beliau
sempat melakukan pembelaan diri. “Sejak kecil aku selalu menangis karena mama.
Mama yang tidak pernah ada untukku. Mama yang harusnya mengajarkan aku tentang
cinta dan kasih sayang tetapi malah sibuk mengumbar diri dari pria muda ke pria
muda lainnya.” Aku menghela nafas, sadar sepenuhnya betapa jahatnya ucapanku
barusan. “Tapi kali ini, ma, ini luka paling dalam yang pernah mama kasih ke
aku.”
Kulihat mata mama berkaca-kaca,
tapi aku yakin, dia tidak menangisiku. Dia tidak pernah menangisiku, seumur
hidupku.
“Thank for everything, mom,” ujarku sinis dan segera berlari menuju
Vios yang kuparkir di pinggir jalan.
Seiring aku berlari, hujan mulai
turun, menemani air mataku yang telah lebih dulu mengalir.
PS: Lanjutan dari samber menyamber #trattoria di twitter
0 Comments:
Post a Comment