I never regret my decision to chase him to Manila
because he’s worth every penny.
Lego House adalah perkenalan pertama saya dengan Ed
Sheeran. Well, sebenarnya karena Ron Weasley sih, I mean Rupert Grint.
Saat itu, saya sedang berada di masa krisis idol, maksudnya, tidak ada
satu pun musisi yang benar-benar saya gilai sampai-sampai berkeinginan untuk
menonton aksinya secara live. Mungkin, yang ada di bucketlist saat
itu adalah Britney Spears.
Perkenalan yang tidak disengaja ini membuat saya
penasaran dengan dia. Jangan bayangkan Ed yang sekarang, yang dengan gampangnya
mengumpulkan orang satu stadium. Waktu itu, belum banyak yang mengenalnya. He’s
so underrated meski album debutnya langsung bikin dia bisa dibilang sukses.
Lalu ada The A Team, You Need Me, I Don’t Need You,
Kiss Me, Small Bump, dan lainnya. Tanpa disangka, saya sangat menyukai
album +. Bahkan, dari segi musiknya-Ed, + ini masih juara karena benar-benar
menunjukkan musikalitasnya Ed. Ketika ditanya dia genre musiknya apa, sih?
Jawabannya cuma satu, Ed Sheeran. The A Team dan Small Bump
membuat saya takjub dengan liriknya yang deep, dark, dan jujur. Namun
terdengar romantis (dengan kemampuan bahasa Inggris yang so so sempat
mikir kalau The A Team itu lagu cinta. Iya, sih, lagu cinta, tapi cinta
sama drugs) dan YNDIDNY membuat saya berpikir, ‘gila, ini anak jenius parah.’
Indonesia yang Terlewati
Album selanjutya, X (Multiply) merupakan jalan Ed
menuju popularitasnya. Yup, dia sudah seharusnya ngedapetin popularitas itu
meski konsekwensinya adalah, banyak yang menanggap kalau Ed itu spesialis lagu
cinta galau. Thanks to Thinking Out Loud yang sukses parah sehingga jadi
lagu pernikahan sejuta umat dan di setiap konser, tiap kali lagu ini
dinyanyiin, selalu ada cowok yang berlutut melamar pacarnya. Tidak bisa
dipungkiri sih kalau lagu ini romantis parah (tapi disukai sejuta umat, dan ada
sisi songong dalam diri saya yang tidak mau disamain sama orang lain sehingga
tidak pernah memfavoritkan TOL. I prefer One and Photograph) dan
akhirnya, Ed mendapatkan popularitas seperti yang sudah semestinya dia dapatkan
semenjak album +.
Ed ini paket lengkap. He may not be your typical
idol, with handsome face, flamboyant or bad boy type and fancy clothes. He’s a
guy-next-door kind of guy, a guy who you found at your school in the corner of
canteen, playing with his phone or reading a book with thick eyeglasses.
Namun, dia paket lengkap. Sukses secara komersial. Diterima oleh para kritikus.
Meledaknya X membuat Ed diminati di banyak negara. Dia
sudah khatamlah manggung dengan crowd sedikit dan saatnya mengisi satu
stadium. Juga, menemui fans di negara lain. Namun sepertinya tidak ada Jakarta
di kamus Ed atau timnya, karena setelah Singapura, Kuala Lumpur, Bangkok,
Manila, dilongkap aja gitu, dia langsung ke Australia. KZL.
Waktu itu sekitar tahun 2014. Keadaan keuangan belum
memungkinkan untuk mengejar ke suatu negara, dan keberanian untuk jump into
a plane and chase him sepertinya belum muncul. Jadi, saya hanya bisa gigit
jari (sambil kesel baca lead artikel Hai yang dapat interview langsung
sama Ed. Penting ya ditulis dia enggak cakep dan dibandingin sama musisi lain
yang cakep? Sudah tahu dia enggak pernah ngejual tampang. Just him and his
music and his guitar are enough to make every girl screams at the top of their
lungs.)
Saat itu, saya menulis di blog, sebuah bucket list,
yang berisi keinginan saya untuk menonton Ed Sheeran (bisa dibaca di sini).
Hampir Terwujud tapi Malah Batal
Ed sempat menghilang sampai akhirnya muncul dengan
album baru, Divide (enggak nemu lambangnya hehe). Meski Shape of You
bikin saya mengerutkan kening dan bertanya, “what happened to you, Ed?”
(sama seperti ketika Ed merils Sing), tapi untunglah ada Castle on
the Hill yang membuat saya menemukan kembali Ed yang dulu. Ketika albumnya
dirilis, saya pun bersumpah kalau THIS IS ALBUM OF THE DECADE. NO I MEAN,
CENTURY!!!
Ketika Ed mengumumkan akan world tour, saya
berdoa semoga kali ini dia menyadari kalau di peta ada sebuah kota bernama
Jakarta. Pengumuman pertama, Jakarta terlewat. Sempat ada keinginan untuk
membeli tiket di Kuala Lumpur atau Singapura, tapi dapat bocoran dari salah
satu orang dalam di labelnya Ed, ‘tunggu aja akhir minggu ini.’ Jadilah,
deg-degan menunggu akhir minggu.
Akhirnya? Terima kasih ya Tuhan karena sudah membuka
mata Ed dan timnya kalau ada kota bernama Jakarta.
Bukan saya saja yang menyambut pengumuman ini dengan
gegap gempita. Terhitung dengan susahnya untuk booking tiket. Saya ingat pagi
itu tidak bisa konsentrasi karena memikirkan satu hal ini: harus dapat
tiketnya. Beruntung atasan saya waktu itu maklum, he-he. Perjuangan yang
panjang dan atas bantuan my fellow Sherios, akhirnya tiket di tangan. I
don’t mind ya keluar duit berapa buat dapetin tiket di kelas paling mahal,
karena ini kesempatan langka. Di saat waktu itu semuanya menjadi jamaah
Coldplay, saya lebih memutuskan menjadi jamaah Ed Sheeran.
Rasanya lega dan sudah tidak sabar. Menonton film
konser X saja sudah berkaca-kaca, apalagi menonton konsernya langsung? Dan, Dive.
Ya, saya menunggu kesempatan bisa berteriak mewakili perasaan di lagu favorit
ini.
Namun sepertinya Tuhan berkehendak lain karena Ed
terjatuh dari sepeda dan tangannya patah. Come on, really? Saat itu saya
ingin memaki saking kesalnya. Memaki Ed yang sudah tahu lagi berada di tengah
tur, kenapa bisa seteledor itu? Udah tahu dia jatuh dari sepeda tapi tetap aja di pub semalaman. I know, there's nothing can't stop an Englishman going into a pub, tapi menunggu semalaman sampai sadar kalau badannya sakit-sakit? How could you?
Saya memaki semua hal. Sampai memaki ke alasan tangan patah karena main sepeda yang kedengarannya sepele tapi hasilnya sangat fatal? Intinya, saya sangat kesal dan rasanya bisa meluapkan kekesalan itu ke siapa saja.
Saya memaki semua hal. Sampai memaki ke alasan tangan patah karena main sepeda yang kedengarannya sepele tapi hasilnya sangat fatal? Intinya, saya sangat kesal dan rasanya bisa meluapkan kekesalan itu ke siapa saja.
Dan sampailah vonis itu. Lima menit sebelum meeting,
datang kabar konser Ed Sheeran batal. Pagi itu saya tidak menangis, hanya
berteriak kesal dan putus asa di tengah ruangan kantor.
Satu tanda tanya besar bermain di benak saya. WHY,
ED? WHY? WHY? WHY?
Ketika uang penggantian tiket masuk ke rekening, saya
akhirnya baru bisa menerima kenyataan pahit ini.
Secercah Harapan di Manila
Sampai saat ini saya masih bertanya-tanya. Kenapa di
Manila bisa di-reschedule tapi di Jakarta malah batal? Dan sampai saat
ini pun saya masih belum mendapat jawabannya.
Rentang enam bulan dari November ke April itu
sebenarnya lama. Saya sudah sampai di tahap pasrah untuk tidak bisa bertemu Ed.
Mungkin empat tahun lagi, ketika dia merilis album - (Minus. Oke, ini asal,
karena judul album sebelumnya yang Kabataku banget) dan menjalani tur lagi.
Sampai akhirnya di Februari 2018. Ketika saya membuka
tulisan di blog lama dan melihat postingan soal Ed. Seketika saya jadi galau, haruskah
saya mengejarnya ke Manila? I mean, ada Australia, Jepang, dan Manila.
Dan saya rasa, Manila masih masuk akal untuk dikunjungi dengan keadaan saat
ini. Namun, saya tidak punya teman yang segitu gilanya sampai mau mengejar Ed
ke luar negeri, dan saya belum pernah bepergian jauh sendirian dan mengurus
semuanya sendirian.
Di tengah kegalauan, banyak teman-teman yang menyuruh
saya untuk pergi. Mereka yang sangat mengenal saya menyuruh saya untuk pergi.
Mereka yang sedikit mengenal saya hanya mengernyitkan dahi, mencoba untuk
memahami, meski mungkin mereka tidak akan pernah paham seberapa urgensi hal
ini.
Saya ingat waktu itu akhirnya saya iseng mencari tiket
dan--mungkin ini yang namanya takdir, saya menemukannya. Lebih mahal, tapi apa
boleh buat? Namun, saya kembali terkendala masalah. Tiket tersebut berbentuk print
out dan ada access card sehingga tidak bisa dikirim by email dan shipping
Manila-Jakarta hampir sejuta aja. Saya pun hampir menyerah.
Kecuali kalau saya punya alamat pengiriman di Manila.
Seketika saya ingat sewaktu liputan acara Youth
Conference di Abu Dhabi tahun 2014 lalu, saya berkenalan dengan anak Filipina.
Ada tiga orang, tapi saya lupa namanya. Akhirnya, saya bergerilya di Facebook
dan ketemu. Namanya Shelly. Namun di acara itu saya lebih akrab sama temannya (later
that I know her name is Genevieve). Tidak ada waktu, saya menghubungi
Shelly. Sok kenal sok akrab. Ya, saya tahu, ini kurang sopan. Empat tahun tidak
berhubungan, lalu tiba-tba mau minta tolong? Namun, saya sudah sangat desperate
sehingga harap dimaklumi tindakan kurang sopan ini.
Fortunately, she wants to help me.
Dua hari kemudian, Shelly mengabarkan kalau tiket saya
sudah sampai di rumahnya.
Dan setelahnya, baru saya menyusun rencana
keberangkatan. Ambil cuti (yang baru di-aapprove H-3 berangkat), galau
nyari tiket dan hotel, dan sebagainya.
And finally, here I am. Standing in the middle of the
crowd at MoA Concert Ground, waiting for Ed Sheeran.
Rasa Takut Itu Masih Menghantui
Ada beberapa teman yang dengan bercanda bilang ‘tiati
batal lagi’. Saya bisa menanggapinya dengan bercanda karena ya memang ini hanya
gurauan semata. Namun semakin dekat ke hari H, saya semakin takut. Bagaimana
kalau sudah jauh-jauh ke Manila tapi tetap tidak bisa menonton Ed?
Ada banyak faktor.
-
Ed sakit lagi
atau apa.
-
Saya tidak bisa
ambil cuti atau terjadi sesuatu yang mengharuskan saya untuk stay di
Jakarta.
-
Tiket yang saya
beli palsu sehingga tidak bisa masuk ke area konser.
-
Konsernya
dibatalkan.
-
Pesawat yang saya
tumpangi delay atau tidak ada pesawat yang bisa terbang ke Manila.
-
Keadaan di Manila
memanas (karena situasi politik di negara itu memang sempat panas).
-
Pasport saya
hilang.
-
Shelly tidak bisa
dihubungi (seminggu sebelum saya datang, saya mengirim pesan dan dia baru
membalasnya dua hari kemudian. Membuat saya seperti orang gila menunggu selama
dua hari).
-
Dan banyak faktor
lainnya.
Meski saya bisa mengatasinya dengan ikutan bercanda,
sejujurnya di dalam hati saya takut luar biasa. Saya tidak ingin kecewa untuk
ke sekian kalinya.
Akhirnya, saya baru bisa bernapas lega ketika sudah
berada di area konser. Duduk terkantuk-kantuk menunggu konser yang seharusnya
dimulai jam delapan, tapi malah dimulai hampir jam sembilan.
Ketika intro gitar Castle on the Hill mengalun,
saya berteriak kencang. Menumpahkan semua ketakutan dan kekhawatiran yang
dirasakan selama ini.
Finally, this is the moment I’m looking for.
Untuk konser, saya akan menceritakannya di tulisan
setelah ini.
XOXO,
iif-yang-masih-belum-move-on-dari-konser-Ed-Sheeran
0 Comments:
Post a Comment