PS: Hari ke-18 dalam rangka 30 stories 30 days.
Tema oleh Debora Gracia
Oke,
ini semacam kelanjutan dari tema di hari sebelumnya. Jika sebelumnya membahas
situasi yang membuat kita akhirnya terpaksa kehilangan teman seiring dengan
berjalannya waktu, sekarang kita membahas tentang situasi yang membuat kita
terpaksa ‘pisah’ dengan sahabat untuk sementara waktu.
Menurut
saya, salah satu permasalahan terbesar yang dialami oleh kita di usia dewasa
adalah keseimbangan. Bagaimana kita menyeimbangkan waktu antara kesibukan dan
tanggung jawab dengan kehidupan pribadi,
such as relationship with significance other, friends, or simply with ourself. Karena
jujur saja, menjaga keseimbangan ini sangatlah susah.
Saya
berusaha untuk menyeimbangkan semua unsur penting dalam hidup, seperti
pekerjaan, menulis, hubungan dengan Dia, hubungan dengan sahabat, teman-teman,
keluarga, dan me time. Karena
kenyatannya, salah satu sering mendominasi dan unsur lain dengan terpaksa
dipinggirkan untuk sementara waktu.
Balik
lagi ke topik ini, bagaimana jika kita harus dihadapi dengan situasi untuk
sementara harus beriah dengan sahabat. Entah karena kesibukan dan tuntutan
hidup. Meski bersahabat, kita dan sahabat memilih jalan hidup berbeda dan
tuntutan hidup yang dialami pun tidak lagi sama.
Karena Tuntutan Hidup
Sehingga,
kita dan sahabat yang dulu kompak, sekarang untuk ketemu aja seringkali susah.
Bukan karena tidak ingin, tapi karena tuntutan hidup masing-masing yang
berbeda. Contoh sederhana seperti waktu sekolah dulu. Mungkin kita sering
bertanya-tanya, kok teman jadi menjauh, ya, pas punya pacar? Di sisi lain,
mungkin saja teman berpikir kita menjauh saat dia punya pacar atau keadaannya
dibalik, kita yang punya pacar sehingga muncul kesan menjauh.
Contoh
lain seperti pindah kelas, pindah sekolah, beda jurusan saat kuliah, ada
kegiatan lain yang kita ikuti sendiri. Sehingga untuk sementara harus terpisah
dengan sahabat.
Di
usia dewasa, katakanlah ada sahabat yang sudah menikah sementara kita belum.
Mungkin
kita masih kompak, tapi tidak bisa dipungkiri kalau jarak itu ada.
Sederhananya, karena ada perbedaan dunia yang membuat kita dan dia tidak lagi
nyambung. Sahabat yang punya pacar akan seru banget cerita soal pertandingan
basket yang dijalani pacarnya, misalnya. Sementara kita clueless soal hal ini.
Atau
sahabat yang sudah menikah ngomonginnya soal pemberian ASI atau tumbuh kembang
anaknya. Kita yang belum menikah atau belum punya anak, tentu tidak bisa
nyambung dengan obrolan ini. Ketika kita cerita soal pengalaman menonton
konser, tentu teman yang sudah punya anak enggak bisa nyambung dengan cepat.
Simply karena tuntutan hidup
masing-masing sudah berbeda sehingga apa yang menjadi fokus kita pun berubah.
Begitu
juga halnya dengan perubahan lingkungan. Meski saya dan Fhia, misalnya, masih
berteman tentu saya tidak akan nyambung dengan cerita Fhia di Padang, begitu
juga sebaliknya. Mungkin butuh waktu bagi Fhia agar related dengan pengalaman hidup saya di Jakarta. Ketika sama-sama
tinggal di Bukittinggi, mungkin kita bisa nyambung dengan cepat.
Juga
ketika Ema, Chika, dan Rhara ngomongin ASI dan segala tetek bengek bayi, saya
hanya bisa cengo. Selain karena pembahasan itu tidak penting di hidup saya
sekarang, juga karena saya tidak tertarik membahasna.
How to Deal with It
Ini
hanya terjadi untuk sementara. Bukan berarti kita harus segera berhenti
berteman. Berbeda dengan tulisan hari sebelumnya, ya, memang ada masanya kita
akan kehilangan teman dengan sendirinya karena perubahan tujuan hidup. Namun,
ada beberapa yang masih bisa dipertahankan. Ya, mereka-mereka ini.
Namun
tidak bisa dipungkiri bahwa ada masanya kita ‘malas’ untuk berhubungan dengan
teman-teman yang sudah berbeda tujuan hidup ini. Karena sudah tidak lagi sama,
tentu butuh effort lebih untuk saling
mengerti satu sama lain.
Saya
pernah berada di masa ini. Merasa malas berhubungan dengan teman yang sudah
menikah, misalnya. Simply karena
obrolan yang dulu sering kita bagi, sekarang berubah. Apa yang menjadi interest
saya dan dia sudah berbeda. Namun bukan berarti rasa malas ini harus dibiarin
gitu aja, kan?
Saya
berprinsip, oke kita memilih jalan hidup yang berbeda. If it works for you, then do it, but never expect me to do the same
because I have my own choice. Besides, I will do the same, I will appreciate your
choice as long as you appreciate mine. Pilihan hidup itu privilege
masing-masing orang, lalu siapa kita yang boleh ikut campur?
So, what should we do?
1.
Mencoba
memahami bahwa tujuan hidup kita dan teman berbeda. Tidak ada yang salah dengan
tujuan hidup seseorang. Ketika memilih akan menjadi apa atau melakukan apa,
tentunya kita sudah punya pertimbangan panjang yang mungkin saja orang lain
tidak tahu pertimbangan apa saja yang sudah kita pilih. Sehingga, saling
menghargai itu penting.
2.
Mencoba
untuk melihat dari sudut pandang dia. Ini salah satu bentuk kita menghargai
pilihan dia. Jangan pernah berharap orang lain akan menghargai kit ajika kita
sendiri cuek dan tidak memperhatikan dia. Atau malah ini yang bisa bikin kita
dan sahabat jadi menjauh.
3.
Walking down memory lane dengan melakukan atau
mengunjungi lagi tempat di masa lalu. Or simply
with our chat in our WhatsApp group. Sesekali, saya rasa ini perlu. Karena ini
mengingatkan kita kembali kepada apa yang membuat kita dan mereka bisa
bersahabat in a first place.
Dan
pada intinya, pahami kalau ini adalah part
of growing up. This is normal, jadi saya tida perlu merasa left out ketika ada teman yang terlalu
asyik dengan dunianya sehingga tidak lagi bersama kita.
In the end, we just have our self so never hold on others.
Cheers.
XOXO,
iif
Dea: "How to deal dengan situasi lo sama sahabat lo, katakanlah dari SMA, yang terkadang harus 'pisah' sementara ketika kita semakin dewasa, karena keisbukan dan tuntutan hidup. Misalkan, sahabat udah nikah dan kita belum, sehingga obrolannya udah pasti beda. Ya, how to deal aja kalau ujung-ujungnya dalam hidup ini lo emang harus hold on yourself, no one else, he-he.
Dea is one of cewekbanget.id's editor. She's straight-to-point-face made us knows what she feels, but in reality there's a layer in hers so I want to know more about that layer. Because we will be partner-in-crime in our job, right? He-he.
0 Comments:
Post a Comment