PS:
Tema ke-15 dalam rangka 30 stories 30 days.
Tema
oleh: Rey
We always have a dream. When
we were a child. When we were a teenager. And now, when we’re living our adult
life. We dream about everything, about what we want to achive tomorrow, or maybe
next year, five years later, and so on.
While I was a kid, I dreamt
about what I would be when I’m in my 20. As far as I remember, here are my
biggest dream.
1.
Ketika
berusia 21-22 tahun, sudah lulus kuliah dan langsung bekerja. Akhirnya bisa
punya uang sendiri, sehingga bisa membeli semua hal yang diinginkan tanpa harus
minta sama mama. Bisa tinggal sendiri, punya kamar sendiri—akhirnya bisa punya
kamar sendiri karena dulu enggak pernah punya kamar sendiri—pokoknya hidup
mandiri.
2.
Bisa
pergi ke mana-mana. Saatnya balas dendam karena dulu buat pergi ke mana-mana
susah. Termasuk nonton konser yah, he-he.
Beranjak
remaja, mimpi-mimpi ini menjadi semakin liar. Bekerja beberapa tahun, lalu jadi
bos, duh kayaknya keren banget. Punya ruang kerja sendiri dengan meja rapi,
pulang kerja bisa main sama teman-teman, weekend
pergi liburan ke mana aja bebas.
Itu
baru dalam hal pekerjaan. Jika bicara soal hal lain, tentunya kita juga
mempunyai ekspektasi. Pertemanan, social
life, juga cinta.
Am I dreaming too high?
And then, reality hits
me in the head.
Ekspektasi vs Realita
Di
media sosial, banyak banget meme atau video
challenge yang mengangkat topik ekspektasi vs realita ini. Umumnya, sih,
dibuat sebagai bahan bercanda. Namun, jika dipikir-pikir, kenapa, sih, kita
seringkali memiliki ekspektasi yang teramat tinggi?
Oke,
saya tidak ingin menggenarilisir di sini, tapi saya menjadikan diri sendiri
sebagai contoh. Saya terlalu mengartikan secara harfiah bermimpilah
setinggi-tingginya, sehingga seringkali ketika menginginkan sesuatu, saya membuat
ekspektasi yang sangat tinggi. Terkadang, saya tidak memikirkan kemampuan dalam
membuat ekspektasi.
Contoh
sederhana, ekspektasi saya adalah bulan depan harus menabung sekian rupiah,
tapi ketika hari gajian tiba, saya tidak bisa memenuhi ekspektasi itu. Karena saya
lupa, ada tagihan yang harus dibayar.
Oke,
itu bukan contoh yang tepat.
Hal
lain misalnya makan di suatu tempat yang kalau dilihat di Instagram sangat aesthetic sehingga enggak hanya akan
memanjakan lidah, tapi juga mata, dan bisa punya stok foto yang banyak buat di-upload di Instagram. Namun saya lupa
memikirkan faktor lain seperti tempat yang jauh sehingga ketika tiba di sana mood jadi jelek atau ternyata makanannya
tidak seenak yang dikira.
Oke,
itu hanya saya yang gampang termakan promo.
Mungkin
juga ekspektasi ini. When I spent time
with him, saya ingin jalan-jalan keluar, enggak usah jauh-jauh, sekadar killing time in coffee shop pun cukup. Di
sana kita bisa ngobrol panjang lebar, getting
to know each other. Lalu setelah itu jalan-jalan ngalor ngidul tanpa arah, karaoke time di mobil, dan kalau sudah
capek kita akan pulang. Namun saya lupa memikirkan keadaan diri yang saat itu
sebenarnya sudah capek, akumulasi kurang istirahat saat weekdays, sehingga ketika baru jalan beberapa jam sudah merasa
capek dan ngantuk.
Untuk
hal yang serius pun, saya seringkali memiliki ekspektasi yang terlalu muluk,
sehingga saya pun sudah kebal dengan yang namanya kecewa.
Karena
kita enggak selamanya bisa memenuhi ekspektasi.
Accept and Learnt From
It
Dalam
beberapa tahun terakhir, ada satu hal penting yang sangat saya tekankan pada
diri sendiri. Living your life. Salah
satunya adalah dengan menerima keberadaan diri sendiri. Termasuk ketika
kenyataan yang saya hadapi tidak mencapai ekspektasi.
Kecewa?
Itu pasti. Seperti halnya fallen idol—istilah
ketika kamu memiliki seseorang yang sangat diidolakan dan kamu memiliki
ekspektasi tinggi di benak tentang dia dan ketika bertemu ternyata dia sangat
jauh dari bayangan, sehingga kamu pun merasa kecewa. Sakitnya lebih parah
ketimbang patah hati saat putus cinta, karena di sini, kamu dikecewakan oleh
harapanmu sendiri—kecewa oleh mimpi yang sudah kita pupuk selama ini itu sangat
menyakitkan.
Namun
bukan berarti tidak ada sisi positif yang bisa kita terima. Saya percaya di
setiap kekecewaan ada pelajaran penting yang menempa kita untuk jadi yang lebih
baik lagi dibanding diri kita di hari ini. Menerima kenyataan bukan berarti
pasrah, melainkan dorongan untuk mencari mana yang sebenarnya kita butuhkan dan
mana yang hanya sebatas wishful thinking
semata.
Ketika
ekspektasi untuk menabung tidak terpenuhi, itu cambuk bagi saya agar mengurangi
kebiasaan belanja sehingga tagihan tidak terlalu banyak. Ketika tempat makan
yang dituju enggak seenak itu, bisa jadi pelajaran buat enggak terlalu gampang
termakan promo. Ketika rencana jalan berubah disaster, mungkin harus lebih kreatif lagi mikirin quality time tanpa harus keluar rumah.
Berlaku
juga untuk hal lain. Dalam hal yang lebih serius, seperti masalah pekerjaan,
pasangan hidup, pilihan masa depan. Beberapa kali saya juga mendapati realita
yang tidak bisa living up expectation.
Kecewa, sih, sudah pasti, but I always
said to myself, what did you learnt?
Sejujurnya
saat ini saya belum menjalani hidup seperti yang selama ini ada di bayangan
saya. Namun bedanya, jika beberapa tahun lalu saya hanya bisa mengandai-andai tapi
tidak melakukan apa-apa, atau menyesali kenapa hidup begini-begini aja, saya
rasa sekarang tidak lagi. Ya, hidup yang saya jalani memang masih jauh dari
mimpi, tapi perlahan-lahan, selangkah demi selangkah, saya berjalan menuju
mimpi itu.
I think I’m on a right
track right now.
Meski ya, masih butuh waktu untuk bisa mencapai semua impian.
‘Oh, Begini Aja?’
Ada
sisi lain terkait ekspektasi vs realita ini. Ketika akhirnya kita bisa mencapai
keinginan, tapi kenyataan ternyata tidak seperti yang kita inginkan. Kita punya
mimpi kalau ke Pulau A pasti bagus banget karena semua orang di Instagram
bilang seperti itu. Namun ketika kita sampai ke sana, setelah menabung
bertahun-tahun dan siap untuk menikmati keindahannya, kenyataannya pulau itu
biasa aja atau malah banyak sampah. Kita pun kecewa.
Atau
ketika kita berpikir pekerjaan A yang sangat menyenangkan, bisa jalan-jalan
keluar negeri, diundang makan malam di restoran mewah, bisa pakai baju-baju
lucu, dan sebagainya. Kita pun menjadikan itu sebagai cita-cita tertinggi. Namun
ketika sampai di posisi itu, kenyataan tidak seindah yang dibayangkan. Kecewa? Bisa
saja.
Sederhananya,
menurut saya keadaan ini sama seperti fallen
idol tadi. Ketika semua bayangan indah yang selama ini menuntun kita untuk
mencapainya dan pada kenyataannya, sangat jauh dari apa yang kita inginkan.
Saya
pernah mengalaminya. Untuk hal yang serius atau tidak. Well, I used to think after I published my book then my life will be
easy. I will be a full time writer, publish book every year, going from one
talkshow to another talkshow, and other. But reality doesn’t like that. Sebagiannya
iya, tapi butuh usaha lebih keras lagi untuk bisa merasakan semuanya.
Di
sini saya belajar bahwa kerja keras itu memang nomor satu. Dan tidak ada
habisnya. Namun, selain itu semua, juga ada kekuatan lain di luar diri kita
yang mau tidak mau harus diperhatikan karena turut memengaruhi realita hidup. Orang
lain seperti rekan kerja, teman, pacar, dan siapa saja yang punya pengaruhnya
dalam hidup kita, atau suatu pihak tertentu yang juga terkait dengan hidup
kita.
Karena
bisa saja setelah kita berusaha keras, pihak lainlah yang menentukan kalau kita
tidak bisa meraih ekspektasi.
It sucks, I know.
XOXO,
Iif
Rey:
“Contohnya ada beberapa di kerjaan gue sih. Awal gue masuk, gue dikasihtahu
kalau gue dapat performance level-nya
1 sebanyak tiga kali berturut-turut maka gue akan dipromosiin. Kenyataannya giliran
tahun ini udah tiga kali berturut-turut kebijakannya berubah dan enggak ada
promosi lagi. Kenaikan pangkat tetap lima tahun masa kerja. Contoh lainnya gue
pengin S2 di usia muda tapi enggak jadi karena faktor biaya. Ya kayak-kayak
gitu, deh.”
What I learnt from Rey
is dedication and hard work. He’s such a hardworker person but he always makes
time to his friends.
Meski kadang hard work dan making time to his friend ini bikin dia
enggak merhatiin dirinya sendiri, sih. Life
is about balance, Rey, termasuk nyeimbangin sama diri sendiri juga (sok iye
banget kan ya gue nasihatin begini, he-he)
0 Comments:
Post a Comment