PS:
Tema ketiga dalam rangka 30 Stories 30 Days
Tema
oleh: Fhia Hafizhah
What’s pop into your mind
when you think of your childhood?
Happy?
Sad?
Confusing?
Joy
Or what?
For me, it’s lonely.
Bicara
soal masa kecil, yang paling saya rasakan adalah sepi. Friendless.
Di
postingan ini, saya sempat menyinggung sedikit soal masa kecil, terutama masa
sekolah. Betapa saya sulit sekali untuk bisa berbaur dan nyambung dengan
teman-teman di sekitar rumah.
Let me tell you a story.
Kakak-kakak
saya, kakak kandung dan sepupu, selalu sekolah di SD yang berada lumayan jauh
dari rumah. Naik angkot 15 menit itu termasuk lama dan jauh untuk kota kecil.
Singkatnya, SD saya itu berada di kelurahan lain, sementara di kelurahan saya
ada dua SD.
Di
sana mengenal sistem rayon. SD di kelurahan saya, SDN 11 dan 02, rayonnya
adalah SMP 2. Karena yang terbaik adalah SMP 1, maka kami dikirim ke SD 04.
Hal
ini membuat saya jauh dari teman-teman di dekat rumah. Ya, saya bisa main
dengan mereka tapi saya tidak mengerti inside
jokes mereka. Ketika mereka heboh bercerita, saya hanya bengong dan
mengangguk seperti orang bego karena tidak mengerti apa yang mereka ceritakan.
Dan mereka juga tidak mau menjelaskan, hanya berkata, ‘kamu, sih, sekolahnya
beda.’
Selalu
seperti itu. Sehingga lama-lama saya jadi menghindar. Saya capek menjadi
satu-satunya orang yang tidak tahu apa-apa. I
tried, but they didn’t.
Tapi,
kan, ada teman-teman di sekolah.
Well, saya memang punya teman
di sekolah. Beberapa bahkan masih akrab sampai sekarang (hai Nana). Namun
masalahnya adalah, mereka rumahnya jauh dan saya tidak pernah dapat izin untuk
main ke rumah mereka. Mama lebih prefer
mereka main ke rumah ketimbang saya yang main ke tempat mereka. Sesekali, mereka
memang main ke rumah. Kami membuat kartu lebaran bareng and that was special moment for me that I can’t forget.
Hanya
sesekali saya merasa tidak kesepian.
Tidak Boleh Ini, Tidak
Boleh Itu
Saya
tumbuh dengan banyak larangan ini itu dari orangtua yang ketika dipertanyakan
alasannya apa tidak pernah mendapat jawaban. Larangan tersebut membuat
pergerakan saya semakin terbatas.
Ketika
saya mencoba untuk main bersama teman-teman di dekat rumah, seringkali saya
mengikuti mereka. I want to be a part of
them, jadi saya mengikuti mereka. Ketika main ke sungai di dekat rumah,
pulang-pulang saya dimarahi. Sementara teman saya tidak. Ketika saya bersepeda
agak jauh, pulang-pulang saya dimarahi, sementara teman saya tidak. Ketika saya
main petak umpet dan memanjat pohon, pulang-pulang saya dimarahi sementara
teman saya tidak.
Saat
itu saya merasa diperlakukan tidak adil. Saya memberontak karena ingin
diberikan kebebasan yang sama dengan teman. Saya bertanya alasannya, dan tidak
mendapat jawaban. Hanya omongan ‘pokoknya enggak boleh.’ Begitu seterusnya,
‘pokoknya enggak boleh’ sudah menjadi makanan saya sehari-hari. Hal ini
berakibat kepada saya jarang diajak main.
Beranjak
remaja, saya semakin terpisah dengan mereka karena sekolah kami berbeda.
Lagipula di kelas 1 SMP saya masuk siang sehingga ketika teman-teman saya
pulang, saya malah baru akan masuk sekolah. Di sini saya bertemu banyak jenis
orang dan saya makin mengenal segala macam jenis orang.
Ini
pengalaman pertama saya berurusan dengan banyak orang.
Dan
ternyata itu membuat saya enggak nyaman karena tanpa disadari, saya sudah
terbiasa sendiri.
Years later, saya baru menyadari kalau
mungkin saja sejak kecil saya sudah nyaman sendirian ketimbang berbaur dengan
orang lain.
Jatuh Cinta Kepada Buku
Pengalaman
ini membuat saya terbiasa sendiri. Saya menghabiskan waktu sendiri, lalu mama
dan papa memperkenalkan saya kepada buku. Di keluarga, saya termasuk yang cepat
bisa membaca. Umur empat tahun, saya sudah lancar membaca. Saya jadi haus akan
buku, sehingga setiap hari saya menagih bacaan baru. Saya selalu menanti mama
pulang membawa majalah Bobo (bekas) dan melahapnya dalam satu hari.
Kami
tidak berasal dari keluarga berada, tapi bisa dibilang cukup. Meski setiap hari
saya menagih Bobo dan bacaan baru, mama dan papa tidak pernah membantah. Mama
selalu membelikannya, sesekali membawa saya ke Padang dan saya diizinkan untuk
memilih bacaan sendiri. Ranking bagus, maka saya bisa membawa pulang buku
pilihan.
Jika
ada yang saya syukuri dari rasa sepi saat kecil adalah saya jadi cinta membaca.
Saya sering sendirian, dan saya mengisinya dengan membaca. Apapun saya baca.
Sore-sore papa akan membaca koran, dan saya duduk di sebelahnya membaca Bobo.
Ketika sudah disuruh tidur, saya akan membaca berbekal senter di balik
selimut—seperti yang sering saya lihat di film-film meski akibatnya adalah
minus mata tambah parah.
Bertahun
kemudian saya baru menyadari hal ini. Masa kecil saya memang sepi, tapi tidak
menyedihkan.
Missing a Sleepover
Saya
suka menonton film remaja, sampai sekarang. Ngomongin soal remaja, maka
seringkali ada cerita tokoh-tokohnya sleepover
di rumah salah satu. Curhat, salon-salonan, pokoknya melakukan hal yang—sepertinya—menyenangkan.
Sayangnya saya tidak pernah merasakannya.
Larangan
untuk main ke rumah teman berlanjut sampai SMA. Mama lebih suka mereka yang
main atau menginap di rumah. Alasan mama sudah ada sekarang, ‘ngapain nginap di
rumah orang? Kayak enggak punya rumah aja.’
Jadi
ketika teman-teman ngadain sleepover,
saya hanya gigit jari.
Pernah
sekali saya mengajak mereka menginap di rumah. Mama setuju. Mereka setuju.
Malamnya kami memutuskan untuk main-main ke Jam Gadang. Mama setuju dengan
syarat harus ditemenin. Really? Kami
bertujuh dan mama enggak mengizinkan kami pergi tanpa pengawasan. Akhirnya kami
tetap pergi main, bersama mama, dan itu sama sekali tidak menyenangkan. Itu pun
menjadi saat pertama dan terakhir kalinya mereka sleepover di rumah.
Berikutnya
ada teman yang suka nginap di rumah. Mama suka, karena kami tidak ke mana-mana.
Hanya bikin PR dan belajar, itu saja. Well,
saya memang lebih suka belajar sendiri. Enggak tahu kenapa lebih cepat aja
nangkap pelajaran saat dipelajari sendiri ketimbang di sekolah, sehingga di
sekolah kesannya saya adalah si pemalas yang ogah-ogahan belajar. Teman
sebangku saya ini tahu kebiasaan saya sehingga dia suka menginap di rumah.
Saya
senang bisa nginap bareng, tapi sayangnya dia hanya menginap di rumah untuk
belajar saja. Sementara di sekolah kami tidak begitu akrab. Dia bersama geng
gaulnya, pergi main bareng lalu dia akan menginap di rumah untuk belajar.
Lama-lama perasaan senang itu hilang.
Jika
boleh mengulang waktu, saya ingin kembali ke masa lalu dan mengubah pola
pertemanan. Saya tidak menyesal, karena pengalaman itu mengajarkan saya banyak
hal. Membuat saya bisa memahami berbagai jenis orang dan membuat saya tahu mana
yang seharusnya dipertahankan, dan mana yang tidak perlu dipertahankan.
Masa
kecil dan remaja saya memang sepi dan seringnya sendiri, tapi ternyata hal
tersebut malah membentuk pribadi saya. Memberikan saya banyak pengalaman yang
akhirnya memperkaya saya.
Membuat
saya memaksa untuk fit in di suatu
lingkungan, pretended to be someone else,
mau-maunya dimanfaatkan, melakukan hal negatif untuk bisa diterima, dan saya
akui itu sangat tidak baik. Namun bertahun kemudian, ketika saya melangkah ke
dunia yang lebih luas, pengalaman tersebut sedikit banyak berguna.
Setidaknya
saya pernah merasakannya sehingga di usia dewasa, saya tidak ingin kembali
bersikap seperti itu.
Namun
sleepover bersama teman-teman, saya
masih menginginkannya.
XOXO,
Iif
Notes
Fhia:
“Kenapa tema ini? Well, mungkin karena sense of motherhood bawaan hamil kali
ya. Aku sempat recall momen childhood aku seperti apa supaya nanti aku enggak
lupa kalau pernah jadi ‘anak’.”
Fhia
is one of my friend since we were a kid. We knew each other since elementary
school because of some competition, then we go to same school until senior high
and the rest is history. I live in Jakarta, she live in Padang but we’re always
be friend)
0 Comments:
Post a Comment