PS:
Tulisan ke-25 dalam rangka 30 stories 30 days
Tema
oleh Jana Miani
Pernah
enggak merasa pengin melangkah maju tapi ada sesuatu yang menahan kita sehingga
enggak bisa maju? Bisa saja perasaan itu berupa keinginan untuk tetap bertahan
di dalam kondisi sekarang?
I’ve been there before. Sebagai seseorang yang
memiliki banyak what if, susah untuk
bisa melangkah maju karena dihalangi oleh si what if ini. Saya seseorang yang takut mengambil risiko—I’m not proud with it.
Banyak Pertimbangan
Siapa,
sih, yang enggak mau maju? Itu hal alami yang ingin kita wujudkan. Kita sudah
menetapkan target yang ingin dicapai dalam lima, sepuluh, dan beberapa tahun
mendatang. Untuk bisa memenuhi tujuan tersebut kita tentunya harus memulai. Bagi
saya, ini yang sulit.
Jebakan
comfort zone itu memang terasa nyata.
Kenyamanan begitu membuai, ditambah dengan banyaknya kekhawatiran sehingga
sulit untuk akhirnya bisa melepaskan diri.
Di
dalam pekerjaan misalnya. Beberapa kali pikiran untuk keluar muncul di benak. Namun,
saya tidak berani untuk mewujudkannya. Selain kenyamanan, ada kewajiban lain
yang menghambat saya untuk mewujudkannya. Sekian waktu berlalu, saya kembali
menjalani hal yang sama hingga akhirnya merasa stuck lagi. Lalu, ingin keluar lagi dan ketakutan yang dulu ada
kembali muncul.
Beberapa
waktu lalu saya kembali berada di posisi ini. Ada kesempatan untuk keluar dari
zona nyaman sekarang. Saat itu, dengan berbagai pertimbangan, saya hampir saja
akan mengambil keputusan untuk keluar.
But in the end I choose
to stay.
Namun kali ini keputusan untuk bertahan bukan karena takut akan what if yang menghantui. Ada tanggung
jawab lain yang harus saya pikul so I choose
to stay.
Someone Choose To Leave,
Other Choose To Stay
Pilihan
seseorang tentu berbeda dengan kita. Kondisi yang dialami seseorang, hanya dia
yang tahu. Alasan dia mengambil keputusan, hanya dia yang tahu. So, who are we to judge?
Ketika
saya memutuskan untuk stay, ada yang
mempertanyakan keputusan saya. Kalau bertanya baik-baik, sih, enggak apa-apa. Masalahnya,
ini ada yang nge-judge keputusan
saya, menyebut saya terlalu cemen untuk tidak berani mengambil langkah baru dan
menyayangkan kalau saya menyia-nyiakan kesempatan. You don’t know me but you judge me. Please. “If I were you, I will
leave,” she said to me. Yeah, thank God that you never be me. *enough with my
rant*
Saya
jadi ingat ketika ada teman yang resign lalu mengajak teman lain untuk
mengambil keputusan yang sama. Lalu, side eyeing si teman karena memutuskan
untuk stay. Sama halnya dengan kebahagiaan yang berbeda untuk setiap orang, apa
yang terbaik untuk kita belum tentu menjadi hal yang terbaik juga untuk orang
lain.
Someone choose to leave,
I choose to stay.
Dua-duanya adalah keputusan yang diambil dengan banyak pertimbangan. Saya memang
ingin melangkah melakukan hal lain. Tapi di sisi lain ada hal yang merantai
kaki saya untuk tetap tinggal.
The Beauty Inside
And then what should we
do? Hal
yang saya lakukan adalah mencoba untuk melihat dari sudut pandang lain. Mencoba
melihat ‘the beauty inside’. Tidak selamanya
pergi itu baik, dan tidak selamanya tinggal itu buruk. Hidup ibarat dua sisi
mata uang, itu yang saya pegang.
Saya
juga percaya, ketika satu pintu tertutup, maka pintu lain akan terbuka. Mungkin
tidak langsung, mungkin butuh waktu sampai akhirnya terbuka pintu lain yang
memberikan tantangan baru. But I believe
that there’s always something good will happen in our life.
Dengan
begitu, saya jadi terhindar dari keinginan untuk menyesali keadaan. I believe that every step that we take will
bring us to another adventure. Jadi, untuk apa menyesali keputusan kita
yang tidak jadi melangkah pergi sementara ada petualangan lain menunggu di
keputusan yang kita ambil.
So, whatever you choose,
you’ll get your new adventure.
XOXO
Iif
0 Comments:
Post a Comment