PS:
Tema ke-21 dalam rangka 30 stories 30 days
Tema
oleh: Audrey Gabriella
Kesan
pertama saya begitu mendapat tema ini dari Audrey adalah ngakak. Namun detik
selanjutnya, saya berpikir, hmm… it’s
interesting. Berangkat dari topik ini saya jadi menyelami diri saya
sendiri. Begitu saya melempar topik ini ke beberapa teman yang lain, saya juga
mendapat jawaban yang sama.
Kurang
lebih, pertanyaan Audrey seperti ini: About
being raised in a religious family but you’re not that religious that much. You
rarely pray, enjoy drinking alcohol, enjoy doing sex before marriage, etc. but
in the other hand you don’t want to disappoint them and keep acting like a good
girl at home.
Rata-rata,
3 dari 5 orang yang saya tanya dalam survey kecil-kecilan mengaku kalau
pencitraan pertama yang mereka lakukan adalah di rumah alias di depan keluarga
sendiri.
Ekspektasi Orangtua
Being raised in a
religious family, my parents and my family have some expectation about me. Pertama, dari nama
saja. Saya ingin bercerita sedikit soal nama saya.
Dilihat-lihat,
nama saya memang kental dengan unsur Islam. Nama ini berasal dari nama salah
satu murid Mama dulu. Seseorang bernama Ifnur Hikmah yang sangat patuh pada
orangtua, lembut, santun, alim, pintar, dan intinya sih tipikal anak idaman. Mama
mencomot nama dia dengan harapan nantinya saya tumbuh menjadi seperti dia.
Sebuah
ekspektasi yang sangat berat karena saya sangat jauh dari itu. Saya lebih suka
main-main di atas pohon ketimbang belajar memasak. Saya lebih suka rambut
pendek ketimbang rambut panjang. Saya lebih suka pakai celana dan kalau saja
seragam sekolah enggak harus pakai rok, pasti saya akan dengan sangat senang
hati mengganti rok dengan celana.
Setiap
orangtua tentunya punya ekspektasi tersendiri tentang anaknya. Orangtua ingin
anaknya menjadi seperti apa dan mendidik anak-anak agar bisa memenuhi
ekspektasi itu. Saya juga pernah mengalaminya. Namun, seiring perkembangan
waktu, tidak selamanya apa yang menjadi ekspektasi orangtua sejalan dengan apa
yang saya inginkan.
Di
satu sisi, saya berusaha untuk memenuhi ekspektasi tersebut, tapi di sisi lain
saya mencoba untuk berkompromi, alias mencoba memberi pemahaman tentang apa
yang saya inginkan dan kenapa saya memilih untuk menjadi seperti itu. Sometime it works, sometime it’s not.
The Other Side of Your
Life
Saya
percaya kalau kehidupan seseorang itu memiliki banyak sisi. Dengan kata lain
pencitraan itu bener adanya. Karena kita harus beradaptasi, sehingga seringkali
kita harus pintar menempatkan diri di situasi kondisi atau tempat. Dan ketika
berpindah ke tempat lain, apa yang kita tampilkan pun berbeda.
Mari
kita berkaca pada diri sendiri. Sejujurnya, saya sendiri mempunyai beberapa layer. Apa yang saya tampilkan di rumah,
apa yang saya tampilkan di kehidupan sosial, apa yang saya tampilkan ketika
saya sendiri. Kadang layer itu
terbentuk dengan sendirinya, ketika sebuah keadaan memaksa kita membentuk layer baru di wajah.
Kembali
lagi ke tema yang diberikan Audrey. Saya melihat diri dari sudut pandang diri
saya sendiri dan sudut pandang saya sebagai seorang anak.
Orangtua
mendidik saya dengan nilai-nilai agama yang kuat. Ibadah itu nomor satu,
sisanya bisa jadi nomor sekian. Saya pun tumbuh menjadi seseorang yang
memercayai hal tersebut. Namun ada kalanya saya tidak bisa memenuhi apa yang mereka
terapkan kepada saya sejak kecil. Seperti misalnya berpakaian. Ya, saya memang
memakai hijab atas keinginan saya sendiri—I
will talk about it later—tapi untuk item
lain, saya punya preferensi sendiri, saya tahu pakaian apa yang membuat saya
merasa nyaman dan bisa mengekspresikan diri, tapi seringnya hal ini juga
menimbulkan konflik antara saya dan mama. Ini hanya contoh ringan.
Semakin
saya dewasa, semakin saya mengenal diri sendiri, semakin saya tahu apa yang works buat saya. Kadang, hal tersebut
bertentangan dengan ekspektasi yang disematkan orangtua di pundak saya. Sebagai
contoh, mama ingin saya memiliki pekerjaan yang cukup di kantor saja, sehingga
jam 5 sudah pulang. Itu ekspektasi dari beliau. Namun saya tahu kalau saya
tidak akan betah menjalani pekerjaan back
office seperti itu. Sehingga dengan terpaksa saya memilih untuk menuruti
kata hati ketimbang memenuhi ekspektasi orangtua.
A Thousand Face
Akhirnya,
kita pun harus berkompromi. Dan kompromi yang saya lakukan adalah being myself when I’m on my own tapi di
sisi lain saya mencoba untuk tetap menjadi anak yang setidaknya ya memenuhi
ekspektasi orangtua, meski tidak sepenuhnya. Saat ini saya tinggal sendiri dan
pulang ke rumah setiap dua minggu atau sebulan sekali. Ketika saya berada di
rumah, saya pun menjadi pribadi yang lain.
Lelah?
Pasti, karena saya tidak bisa enjoy. Namun
perlahan-lahan, saya mencoba memberi pengertian kepada orangtua kalau kehidupan
yang saya jalani ini bukan sekadar hura-hura, seperti yang beliau lihat selama
ini. Saya ingin menunjukkan bahwa saya bahagia dengan pilihan ini.
Ketika
menulis ini, saya ingat dialog yang diucapkan oleh Galih di film Galih &
Ratna (2017): “Pernah enggak, sih, sekali saja Ibu memikirkan apa yang
sebenarnya aku inginkan?” Berkali-kali, pertanyaan seperti itu tertahan di
ujung lidah, tapi saya selalu berusaha mengontrol diri untuk tidak mengucapkannya.
Menurut saya, ini kompromi yang saya lakukan.
I may not be that
religious. Sometimes I drink. Sometimes I did skinship. Namun saya melakukannya
bukan karena pengin rebel atau ikut-ikutan.
I do have my reasons, yang kadang alasan ini tidak bisa saya kemukakan di
depan orangtua. Sehingga, pada akhrinya yang bisa saya lakukan adalah kompromi.
Being myself when I’m on
my own.
Being a good girl when I’m
at home.
Capek
memang, tapi untuk saat ini hanya itu kompromi yang bisa saya lakukan.
Merasa Bersalah?
Sebelum
mengakhiri tulisan ini, saya sempat terpikir pertanyaan ini. Ada enggak
perasaan bersalah di dalam hati. Karena bagaimanapun, bisa dibilang ini
membohongi orangtua, kan?
Sejujurnya,
iya. Namun, sebenarnya hal ini jadi serba salah. Di satu sisi, saya seperti
membohongi orangtua. Di sisi lain, jika saya tidak melakukan kompromi ini, saya
berbohong kepada diri sendiri.
But I think it’s a win
win solution. Nobody hurt—at least for now.
Yang
saya tekankan pada diri sendiri adalah know
your limit. In every aspect that you do, remember that everything has a limit
and only you know the limit. Dengan tahu batasan, kita bisa memproteksi
diri sendiri, juga memperingatkan diri sendiri. Selain itu, saya juga
menegaskan bahwa apa pun yang saya lakukan, pastikan nantinya tidak akan
menyesal.
That’s my biggest worry,
I don’t want to have any regret in my life.
And, what about yours?
XOXO,
Iif
“About being raised in a religious family but
you’re not that religious that much. You rarely pray, enjoy drinking alcohol,
enjoy doing sex before marriage, etc. but in the other hand you don’t want to
disappoint them and keep acting like a good girl at home. Karena aku
ngalamin hal yang sama dan pengin melihat dari kacamata orang lain, If.
Berusaha terlihat sebagai anak manis padahal ya… begitulah. Aku jadi semacam
punya dua kepribadian gitu, di rumah VS di luar rumah yang bertolak belakang. Teman-teman
tahunya aku gimana, keluarga tahunya aku beda.”
Audrey: When I think
about Audrey, all I can remember is a girl with flowery dress, curly hair, a
glasses, and Ayu Utami’s book. I met her when I took some test before I work at
my current office. Then, I met her again when I join KaWanku. At that time, I said
to myself, “Ha, Ayu Utami’s girl.” From Audrey, I learnt about how to love
ourself and never give up to fight for what we believe. And I enjoy to read her
blog. So inspiring.
0 Comments:
Post a Comment