PS:
Tema kedua di postingan 30 Days 30 Stories.
Tema
oleh: Jana Miani
Di
postingan hari pertama, saya sempat membahas tentang penyesalan. Bicara tentang
hal yang saya takutkan, itu adalah kematian. Bukan kematiannya, tapi penyesalan
yang mungkin akan muncul begitu kita enggak ada lagi di dunia.
Bicara
soal penyesalan terbesar dalam hidup, hal ini ada hubungannya dengan kematian.
Waktu
kecil, saya berpikir kalau hanya orang-orang tua yang akan meninggal. Tidak mungkin
orang yang masih muda bisa meninggal. Namun kenyataan membuat saya membuang
jauh-jauh pemikiran tersebut.
Salah
satu momen kematian yang membekas di benak saya adalah kematian teman saya
semasa SMA. Dan, ini juga menjadi salah satu penyesalan yang sempat menghantui
saya selama bertahun-tahun. Jika bisa kembali ke masa lalu untuk memperbaikinya,
maka saya akan kembali ke masa sepuluh tahun lalu, ketika semua ini berawal.
Kesalahpahaman Itu Duri
Semua
berawal dari kesalahpahaman.
Saya
dan teman saya—namanya Cici—sama-sama anak dari kota kecil yang mempunyai mimpi
besar ketika lulus SMA. Kami sama-sama berangkat ke Jakarta dan bimbel di
Depok. Saya tinggal bareng kakak di sebuah rumah kost, Cici juga tinggal di
tempat yang sama.
Semuanya
berjalan baik-baik saja. Kami belajar, mencari teman baru, belajar, jalan-jalan
ke UI, belajar di pelataran masjid UI yang adem karena embusan angin, belajar
di kost. Ritme hidup yang teratur.
Kami
berkenalan dengan teman baru. Sebenarnya kami berasal dari kota yang sama tapi
beda sekolah. Dia juga berteman dengan tetangga saya di Bukittinggi. Semua baik-baik
saja, awalnya.
Sampai
suatu hari, kesalahpahaman terjadi. Saya dan Cici jadi berjarak karena si anak
baru. Yang membuat saya sakit hati adalah, si anak baru ini melihat isi SMS
saya dan mama (Mama menulis: hati-hati berteman dengan orang, jangan sampai
salah omong. Si anak baru ini temenan sama Dilla, dan kalau kamu salah omong,
mama juga bisa kena) dan dia laporan ke Dilla kalau saya dilarang temenan sama
Dilla. Hello… ketika masuk SMP sampai lulus SMA, saya sih jarang banget main
sama Dilla. Sampai-sampai mamanya Dilla nanya ke mama apa maksud SMS mama ke
saya. Dia juga bikin omongan sama Cici kalau saya enggak suka temenan sama dia.
Cici
marah. Saya kaget. Si anak baru enggak jelas kabarnya gimana.
Sampai
SNMPTN, hubungan saya dan Cici jadi dingin. Tidak pernah ngobrol sama sekali. Dia
menghindari saya, hanya mendekam di kamarnya sepulang bimbel. Saya sempat sedih
selama berhari-hari, tapi kakak mengingatkan saya kalau ada SNMPTN yang
menunggu.
Terbiasa
tidak punya teman dan sendiri cukup membantu di saat-saat seperti ini. Tidak masalah
sendirian, toh saya bisa belajar dan mempersiapkan diri untuk SNPMTN.
Bertahun-tahun,
saya tidak tahu apa-apa tentang Cici. Saya sibuk dengan kuliah dan kehidupan
baru yang saya jalani. Cici, well
sekali dua kali saya mendengar kabar tentang dia dari teman SMA. Bertahun-tahun
kemudian, saya sama sekali tidak tahu apa-apa tentang dia.
A Wake Up Call
Sampai
suatu malam, sekitar dua tahun lalu saya mendapat telepon dari Riza, teman SMA.
Dia mengabarkan kalau Cici meninggal.
Meninggal?
Selama
beberapa detik, saya terdiam. Waktu terasa berhenti. Sedikitpun saya tidak
pernah menyangka akan mendapat kabar seperti ini. Saat itu, saya berjanji akan
mengunjungi makamnya ketika pulang ke Bukittinggi. Timing yang sangat pas karena saat itu saya juga berencana untuk
pulang menghadiri pernikahan abang sepupu.
Dikunjungi Dalam Mimpi
Sayangnya,
rencana itu tidak terwujud karena saya tidak sempat mengunjungi makamnya Cici.
Suatu
pagi, sehabis shalat Subuh, saya tidur lagi. Saat itulah saya bermimpi bertemu
Cici. Saya tahu itu mimpi. Saya sadar Cici sudah meninggal, jadi ini tidak
mungkin terjadi. Berkali-kali saya menyadarkan diri untuk bangun, tapi seperti
ada yang menahan saya dan membuat saya tetap terlelap.
Di
mimpi itu, saya mengobrol dengan Cici. Kami mengobrol apa saja, seolah-olah
ingin mengulang kembali waktu yang terbuang cukup lama.
Sampai
akhirnya Cici bertanya kenapa saya tidak jadi datang. Saat itu saya menyesal. Jika
sudah membuat rencana, seharusnya diwujudkan. Bukannya ditunda-tunda demi
alasan yang lain karena kita sama sekali tidak tahu apakah besok masih bisa
mewujudkan rencana itu?
Saya
minta maaf. Cici minta maaf. Kami sama-sama minta maaf atas kesalahpahaman yang
terjadi bertahun-tahun lalu.
Ketika
akhirnya saya terbangun, rasanya plong. Seolah-olah ada beban berat yang lepas
dari pundak saya.
Mungkin
ini bukan mimpi, melainkan saya beneran bertemu dengan Cici untuk menyelesaikan
masalah yang tidak terselesaikan selama bertahun-tahun.
Ingin Kembali? Ya
Jika
bisa mengulang kembali waktu, maka saya ingin balik ke masa sepuluh tahun lalu
dan tidak termakan omongan si anak baru. Sehingga saya tidak akan kehilangan
teman.
But we can’t turn back
time, right?
Hal
yang bisa saya pelajari adalah untuk tidak menunda apa yang sudah direncanakan.
Saya pernah mengalaminya lagi, ketika teman saya, Mbak Denia namanya, sakit dan
selalu bertanya kapan saya menjenguk dia membawa cupcakes. Sayangnya, janji tinggal janji. Saya memprioritaskan
pekerjaan dan menomorduakan dia.
Ketika
saya membawa cupcakes, dia sudah
meninggal.
Ini
menjadi alarm untuk saya.
Ada
hal yang menjadi prioritas, dan jika sudah menentukan prioritas, maka jangan
ditunda-tunda.
Karena
menyesal itu sangat tidak enak.
Jadi,
apa penyesalan terbesar dalam hidupmu?
XOXO
Iif
Notes
Jana:
“Sebenarnya ini kayak ngomong ke gue sendiri sih, maksudnya gue juga punya
banyak penyesalan dan pengin gue perbaiki. Nah, gue jadi kepikiran, kan setiap
orang pasti punya penyesalan. Udah gitu, makin gede gue ngerasa makin banyak
keputusan yang mesti diambil, walaupun kecil tapi rasanya ada aja gitu yang, ‘harusnya
gue enggak gitu, harusnya gue bisa lebih.”
Jana
is my office friend, who always makes me laugh, and teach me how to laugh at
ourself. Keep always being Jana ya Jana.
0 Comments:
Post a Comment