PS:
Tema ke-16 dalam rangka 30 stories 30 days.
Tema
oleh Lescha Mayseeta
Come on, Chung, enggak ada tema yang
lebih gampang apa? He-he.
Sex. Satu kata yang katanya sakral
tapi di sisi lain juga jadi hot topic
yang sering mengisi pembicaraan. Juga jadi satu topik yang seringkali
dihindari, karena bagi beberapa orang hal ini masih dianggap tabu alias
terlarang untuk dibicarakan. Terlebih bagi remaja, karena budaya kita yang
belum begitu terbuka soal sex education
sehingga banyak remaja yang benar-benar clueless
soal hal ini.
I was one of them. Tumbuh besar dengan
pendidikan seks nol besar. Bahkan sampai sekarang pun orang tua masih
menganggap hal ini bukan sesuatu yang pantas dijadikan bahan diskusi.
Bukan
hanya saya saja. Berkecimpung di media massa yang menyasar pembaca remaja, saya
sendiri menyaksikan betapa clueless-nya
mereka soal seks. Sehingga, banyak yang akhirnya mencari tahu sendiri, dan
banyak juga remaja yang ketika mencari tahu, akhirnya malah nyasar ke
penjelasan yang salah.
Atau
malah lebih parah. Mencobanya langsung. Having
sex without any knowledge about it. Kehamilan di usia muda, aborsi, teen mom, hanya beberapa akibat
setelahnya. Ya karena mereka melakukan apa yang mereka sendiri belum pahami for the sake of kepo.
So, Sex Before Marriage,
Eh?
I don’t want to talk
about teenager and sex right now. Untuk itu, saya cukup menulisnya di
cewekbanget.id (promo colongan).
The big question is what
do you think about sex before marriage?
Lupakan
soal norma dan dosa karena saat ini saya ingin memandang masalah sex before marriage dari sudut pandang
diri kita sendiri.
Menurut
saya, sex itu bukan kewajiban,
melainkan hak. So we have right to choose
when, who, where, or how to do it. Bukan berarti setelah menikah lalu serta
merta kita harus melakukan hubungan seksual atau ketika belum menikah kita
enggak boleh melakukannya.
Seks
itu sesuatu yang alami. Semua orang pasti memiliki dorongan seksual, hanya saja
setiap orang punya cara yang berbeda untuk menyalurkannya. Kalau sudah menikah,
bisa menyalurkannya kepada pasangan. Buat yang belum menikah, ya bisa
menyalurkannya kepada pasangan juga sih or
hand-to-myself, he-he.
Anyway, so what do I think
about sex before marriage?
Like I said before, saya tidak akan bicara
soal dosa atau norma, karena itu hal yang pribadi dan menjadi urusan personal
masing-masing orang, sementara saya sebagai orang luar tidak punya hak untuk
nge-judge.
Karena
seks sesuatu yang alami, I’m okay with
that. Tapi ada beberapa catatan.
1.
Sudah
cukup umur alias no sex for teenager.
Tentunya sudah banyak ya dibahas bahaya seks bagi remaja, baik dari segi psikis
atau biologis. Selain memang karena keadaan biologis tubuh kita belum bisa
menerima tanggung jawab ini.
2.
Siap. Jadi sebelum memutuskan untuk melakukan hubungan
seksual, tanyakan kepada diri sendiri: do
you really want to do it because your heart says so or do you want to do it
just for fun or maybe you’re under pressure or you just want to know how does
it feels when you have sex with someone? Setiap jawaban tentunya akan
memberikan kadar kesiapan yang berbeda-beda. Saya paling tidak menginginkan
penyesalan, so when I decide to having
sex, I don’t want any regret after that.
3.
With whom. Ini penting banget. Saya
setuju dengan yang menyebut seks itu sesuatu yang sakral, sehingga ketika
melakukannya, kita harus benar-benar yakin dengan siapa melakukannya? Maybe he’s your husband or just a boyfriend,
yang penting sih datangnya dari hati (dan ngelakuinnya juga hati-hati, he-he).
4.
It’s you who decide. Jadi, ketika memutuskan
untuk melakukan hubungan seks, diri kitalah yang memutuskannya, bukan orang
lain, dan bukan paksaan. Consent itu
penting, karena ini melibatkan dua pihak.
When We Talk About
Virginity
Keperawanan
itu sesuatu yang sangat personal, sehingga sebenarnya orang lain tidak punya
hak untuk mengurus apakah seseorang masih perawan atau tidak. Namun masyarakat
kita seringkali meletakkan nilai tertinggi seorang perempuan itu adalah di
keperawanan. Like, really?
Saya
pernah menulis soal ini di cewekbanget.id. Bisa baca di sini buat yang tertarik
mencari tahu soal keperawanan dan pandangan masyarakat. Ketika keperawanan
bukan lagi sekadar robeknya selaput dara, tapi juga menunjukkan moralitas
seseorang. Padahal kalau dipikir-pikir sebenarnya kedua hal ini enggak ada
hubungannya, tapi bagi masyarakat kita, hal ini jadi penting banget.
Ngomongin
soal sex before marriage juga erat
kaitannya dengan konsep keperawanan di masyarakat kita. One of my friend said, “kita tuh semua dibikin ribet, ya? Mau having sex aja harus mikir seratus kali
dulu. Padahal itu kan salah satu hasrat alami yang semua orang punya. Orang-orang
itu yang bikin kita seringnya mikirin kata orang ketimbang kata hati.”
Karena
sebagian masyarakat kita masih menganggap tabu soal seks dan penilaian terhadap
seseorang bisa langsung turun drastis hanya karena masalah keperawanan,
sehingga banyak yang menganggap sex
before marriage is a no no.
Bukan
berarti saya me-encourage untuk
melakukan hubungan seks sebelum nikah, ya. If
you don’t want to do it, it’s okay because it’s your choice. If you want to
wait until you get married, it’s okay because it’s your choice. But if someone
decide to do it, it’s okay because it’s their choice. Selama dia sudah
benar-benar siap—termasuk siap menanggung tanggung jawab yang mungkin timbul
setelahnya.
It’s You Who Decide
Sebelum
menulis soal hal ini, saya membaca novel berjudul PS I Still Love You. Sebuah novel remaja, dan salah satu bagiannya
adalah menceritakan soal keresahan Lara Jean soal berhubungan seks dengan
pacarnya, Peter. Ada satu tokoh, Stormy, nenek-nenek di Panti Jompo tempat Lara
Jean menjadi volunteer. Stormy memberi
nasihat kepada Lara Jean, dan saya rasa nasihat Stormy ini berlaku buat kita
semua.
“Lara Jean, just
remember, the girl must always be the one to control how far things go. Boys think
with their you-know-what. It’s up to you to keep your head and protect what’s
yours.”
Yup,
sebagai cewek kita punya kontrol penuh dalam memutuskan apa yang akan kita
lakukan, termasuk ketika memutuskan untuk melakukan hubungan seks. Do it because you want it, not because your
boyfriend want it. Penting untuk diingat, consent alias persetujuan kedua belah pihak itu wajib—bahkan ketika
sudah menikah pun saya rasa consent
ini tetap penting.
“Life is sexist. If you
were get pregnant, you’re the one whose life changes. Nothing significance
changes for the boy. You’re the one people whisper about. I’ve seen that show,
Teen Moms. All those boys are worthless. Garbage!”
Nah,
omongan Stormy ini ada benarnya juga. Contohnya soal keperawanan yang sempat
saya singgung di atas. Cewek enggak perawan kesannya enggak benar dan sering
jadi masalah besar. Cowok enggak perjaka? Jarang dibahas, kak. Sexist, emang.
“Your body is yours to protect and to enjoy. Whoever
you should choose to partake in that enjoyment, that is your choice, and choose
wisely. Every man that ever got to touch me was afforded an honor. A privilege.
All this? It’s a privilege to worship at this temple, do you understand my
meaning? Not just any young fool can approach the throne. Remember my words,
Lara Jean. You decide who, how far, and how often, if ever.”
Sebagai
penutup, meminjam omongan Stormy, our
body is ours to protect and enjoy. So it’s us to decide when, with whom, where,
or how to do it.
Ourself, not anyone
else.
Oh once more; choose
wisely because I’m sure that we don’t want to live with regret.
Cheers,
XOXO
Iif
Lescha:
“Growing up, nothing is more magical or mysterious than the act of sex—Anna Akana,
2016. Enggak ada alasan khusus kenapa gue pilih topik ini, sih. Cuma pengin
tahu aja pandangan lo gimana. Karena gue pribadi terjebak antara dua komitmen.
1) Komitmen terhadap orang tua untuk menjaga virginitas yang kebetulan sejalan
dengan komitmen sebagai fans Beyonce yang punya mind set, “if you like it, then
you should have put a ring on it.” 2) Komitmen terhadap 21st century
modern lifestyle which I believe highly encourages that sex is a personal
choice and you can do it whenever you feel like you’re mentally ready. IDK IF
JUST WRITE THE DAMN BLOG ABOUT THAT – GIVE ME A CLUE WHICH COMMITMENT I SHOULD
LIVE UP! He-he.”
Seeta,
one of my closest friend for the last ten years, eventough we live apart right
now—I’m in Jakarta, she’s in Melbourne—but we always keep in contact. She knows
me well—I think—and she’s one of people who I trust, so she knows my secret,
even my dirty little secret, he-he. Cepat pulang, Kak. Kangen. Atau apa gue aja
yang ke Melb? *wink wink*
0 Comments:
Post a Comment