PS: Tema
ke-14 dalam rangka 30 stories 30 days
Tema oleh:
Kenjrot
Saya
akan mengawali tulisan ini dengan flashback
ke masa beberapa tahun lalu. Sedikitpun tidak pernah terbersit di benak saya
untuk bepergian sendiri. Saya bukan tipe orang yang bisa dengan gampang mendapat
izin bepergian dari orangtua. Bahkan, untuk sekadar pergi ke rumah teman yang
masih berada di kota yang sama saja susahnya minta ampun.
Semula
saya pikir di umur yang semakin dewasa izin itu akan dengan mudah didapat.
Nyatanya tidak. Ketika kuliah, saya butuh waktu lama untuk mendapat izin
liburan bareng teman-teman ke Lampung, bahkan mama berinisiatif menghubungi om
yang tinggal di sana agar saya bisa menginap di rumahnya instead of being with my friend. Tentu saja saya menolak ide ini
mentah-mentah.
Ketika
saya telusuri hal ini berhubungan dengan sifat mama yang gampang cemas dan
terlalu mengkhawatirkan sesuatu. Ditambah dengan posisi saya sebagai anak
bungsu yang mungkin aja dianggap masih kecil sehingga izin makin susah didapat.
Later that I know kalau hal tersebut memberikan
pengaruh yang cukup kentara. Saya tumbuh menjadi seseorang dengan banyak ‘what if’ di kepalanya, dan berakhir
pada sikap ragu-ragu. Ragu untuk memulai sesuatu. Ragu untuk mengambil
keputusan. Ragu untuk menyampaikan pendapat.
Ragu
dalam segala hal.
First Time yang Berharga
Saya
ingat, di suatu hari di menjelang akhir 2013, ketika saya dipanggil oleh Mbak
Marti yang menjadi managing editor
majalah KaWanku saat itu. Beliau mengabarkan kalau saya akan liputan ke luar
negeri, tepatnya Abu Dhabi. Sendirian.
Well, enggak literally sendirian, sih. Ada teman dari
Indonesia, tapi saya enggak kenal mereka sebelumnya.
Ini
akhirnya jadi momen pertama saya pergi jauh, ke luar negeri, sendirian, tanpa
orang yang dikenal.
Ragu? Jelas.
Gamang?
Apa lagi.
Ketika
saya bilang ke mama, seperti yang saya duga, beliau juga merasa ragu untuk
melepas. Saya yang tadinya tengah berusaha meyakinkan diri, mendadak jadi ragu
kembali. Tapi ya namanya juga tugas, so I
can’t do anything. Jadilah di bulan Februari 2014 saya berangkat.
Untuk
pertama kalinya saya melangkah keluar dari cangkang. Dan ini pun menjadi salah
satu turning point dalam hidup saya.
Di
Abu Dhabi saya berpikir mungkin this is
once-in-a-lifetime-moment. Di sanalah saya sadar kalau sikap peragu hanya
akan membawa kerugian. Di sana saya memutuskan untuk tidak mengindahkan
berbagai what if dan bersikap
impulsif.
Hasilnya?
Luar biasa.
Dunia
luar memang mengerikan, tapi enggak selamanya semengerikan yang kita pikirkan.
Mungkin saja yang mengerikan itu hanya ada di pikiran dan setelah dijalani,
semuanya terasa baik-baik saja.
Jika
tidak ada kegiatan, bersama beberapa teman baru yang saya temui di sana, kami
memutuskan untuk jalan-jalan. There I met
Rose, a girl from Vietnam, and Juliana, a girl from Argentina. Berbeda
dengan saya, mereka benar-benar sendirian mewakili negara masing-masing. Dari
mereka saya belajar kalau bepergian sendiri tidaklah semengerikan yang saya
pikirkan sebelumnya.
Di
hari terakhir, kami memutuskan untuk jalan-jalan tanpa guide. Saya berniat untuk ke Ferrari World, tapi yang lain menolak
karena terlalu mahal. Di sana saya dihadapkan pada dilema dan akhirnya
memutuskan akan pergi sendiri. Toh nanti bisa menghubungi mereka di mana dan
menyusul.
Oke,
ini ide yang bagus.
Namun,
tiba-tiba teman saya yang asli Abu Dhabi membawa kabar buruk. “You’re a girl, and it’s not safe for a girl
to travel alone. Orang-orang di sini bisa saja memperlakukan kamu enggak
baik, apalagi kamu turis. Kalau berdua masih bolehlah, tapi kalau sendirian sebaiknya
jangan.”
Jeng
jeng… Saya mencoba berdebat dan pada akhirnya kalah karena dia lebih mengenal
kotanya, penduduknya, dan dari ekspresi ketakutan di wajahnya, juga teman-teman
dari Abu Dhabi lainnya, saya pun mengalah. Good
bye Ferrari World, meski hanya foto di depannya saja. Suatu hari nanti kita
akan bertemu kembali, saya janji.
Ketika Kesempatan Itu
Tiba
Sepulangnya
ke Indonesia, keinginan untuk pergi sendirian semakin menggebu-gebu. Mungkin
kegagalan itu membuat saya penasaran. Dan sejujurnya, saya capek menjadi
seorang peragu dan pengecut.
Perlahan,
saya memulai dari yang dekat-dekat saja. Namun, rasanya belum puas. Meski saya
sendiri pendatang, saya merasa sudah mengenal Jakarta dan sekitarnya. Rasanya
kurang menantang *sombong*
Sampai
akhirnya kesempatan itu datang. Saya ditugaskan ke Makassar. Kali ini
benar-benar sendirian. This is the moment
I’m looking for.
Karena
bepergian sambil bekerja, jadi waktu yang dimiliki cukup terbatas. Ditambah
saat itu perasaan saya sedang tidak menentu—my
sister called me and said that my dad’s sick. Di tengah waktu yang
terbatas, saya pergi sendiri, mengikuti GPS, dengan tujuan menenangkan diri.
Highlight dalam perjalanan ini
adalah ketika saya tiba di sebuah pelabuhan dan didekati seorang pemilik perahu
(atau kapal?) yang menawarkan kapalnya untuk mengelilingi tiga pulau. Sempat
terjadi pertentangan di hati, bahkan saya sempat menggeleng dan berbalik untuk
pergi. Lalu tiba-tiba sekelebat muncul dorongan untuk menerima tawaran itu.
And I did it.
Sebuah
sikap impulsif yang kalau dipikir-pikir cukup berbahaya. Saya sendirian, tidak
bisa berenang, tidak ada persiapan apa-apa. Jarum jam menunjukkan pukul
sebelas, sementara jam empat saya harus menghadiri acara di Trans Studio
Makassar. Awalnya saya menyanggupi satu pulau saja, yang tidak terlalu jauh.
Namun si pemilik kapal terlalu bersemangat dan bermulut manis, yang selalu
menggoyahkan iman saya dengan bujukannya mengunjungi dua pulau lagi.
Pada
akhirnya saya setuju. Meminjam kalimat di pidatonya Emma Watson, ‘if not now, when?’
Pulau
tersebut bukanlah daerah tujuan wisata (lupa namanya apa) dan lebih merupakan
tempat tinggal. Jadi, di sana hanya terdapat rumah-rumah penduduk. Terbukti,
ini adalah keputusan yang tepat. Hamparan pasir putih, dengan teriakan bocah
laki-laki bermain bola dalam bahasa yang tidak saya mengerti, kelapa muda yang
segar, embusan angin pantai, saya merasa tenang.
One minute later, saya ikut bermain bola
bersama mereka.
Tergoda Untuk Menjelajah
I’m not a traveler. Tempat yang saya tuju hanya
seberapa. Pengalaman saya hanyalah seujung kuku para traveler yang sudah melanglang buana ke sana ke mari.
Namun
saya menamakan diri saya penjelajah. Menjadi seorang penjelajah tidak mesti
harus mengunjungi suatu tempat yang jauh demi liburan aesthetic. Kita bisa menjelajah di mana saja. Contoh sederhana
menjelajahi setiap sudut kota dengan berjalan kaki (this reminds me to complete my story about Jakarta Walking Tour)
karena setiap tempat yang kita datangi selalu mempunyai cerita dan cerita itu
pastinya bisa memperkaya isi pikiran.
Sepulangnya
dari Makassar, mama freak out begitu
tahu apa yang saya lakukan. ‘Kalau terjadi apa-apa gimana?’ Ingin rasanya
menjawab dengan, ‘ya kalau terjadi apa-apa aku enggak bakal ada di rumah
sekarang’ tapi urung karena saya tidak mau jadi anak kurang ajar. Mama berpesan
untuk tidak mengulangnya lagi.
I have to say sorry
about that.
Karena saya jadi gatal dan tergoda untuk melakukannya. Getting lost itu menyenangkan. Going
nowhere selalu berakhir dengan cerita menarik. Jika tidak bisa ke
mana-mana, saya akan getting lost di
Jakarta. Naik angkot sembarang. Turun taksi di sembarang tempat. Naik kereta
tanpa tujuan dan turun di sembarang tempat.
Jalan
kaki di Singapura, getting lost di
Bandung, naik ojek tanpa tujuan di Luwuk, menutup mata dan meminta berhenti di
sembarang tempat saat naik becak di Yogyakarta, meminta kakak ipar menyetir
tanpa tujuan di Bukittinggi, menutup mata lalu naik bis pertama yang dilihat di
Hong Kong, dan tindakan random
lainnya.
Prinsip
saya adalah selama ada GPS dan sinyal, saya akan baik-baik saja. Well, selama saya masih bisa bicara dan
ada orang yang bisa ditanya, maka saya akan baik-baik saja.
Getting lost will bring
us to unexpected things and there’s always something interesting waiting for me
in the end of the road.
Berhenti Jadi Peragu
Jika
ada highlight penting dalam hidup
saya terkait traveling adalah, saya
berhenti jadi seseorang yang peragu. Ya, what
if masih selalu ada. Namun, saya belajar untuk tidak terlalu
mengindahkannya. Saya juga belajar untuk melihat mana yang benar-benar harus
dikhawatirkan, dan mana yang hanya sekadar kekhawatiran tidak beralasan.
Tidak
hanya berlaku saat saya berada di dunia luar, tapi juga berlaku untuk kehidupan
sehari-hari. Because life is about a
journey. Setiap hari adalah petualangan baru, dan kita harus memilih: diam
karena ragu, atau siap getting lost alias menantang petualangan baru yang
menyambut setiap kali kita membuka mata.
Petualangan
untuk mencoba hal baru.
Petualangan
untuk menyambut cinta baru.
Petualangan
untuk menerima kejutan baru.
Dan
kamu, apa petualangan yang siap untuk kamu taklukkan?
XOXO,
Iif
Kenjrot: "Traveling melatih sense of surviving, membuat gue mengenal diri gue lebih jauh lagi. Juga melatih kemampuan, emosi, managing something, dan kemampuan sosialisais. Dari poin-poin itu, gue dapat pelajaran yang berbeda-beda dari setiap perjalanan."
Well, when we talk about travel, he's far more adventurer than me, lol. I know him, like, several months ago? Anyway, he's one of my go-to-people when I want to hahahihi with everyone else. Jangan pernah bosan dimintain tolong soal kerjaan, ya, kak, because you have a lot of great stories to share.
Well, when we talk about travel, he's far more adventurer than me, lol. I know him, like, several months ago? Anyway, he's one of my go-to-people when I want to hahahihi with everyone else. Jangan pernah bosan dimintain tolong soal kerjaan, ya, kak, because you have a lot of great stories to share.
0 Comments:
Post a Comment