PS: Tema ke-13 dalam rangka 30 stories 30 days
Tema oleh; Amanda Siswandani
Sejak lulus kuliah tahun 2011, saya hanya bekerja di dua tempat. Keduanya bergerak di bidang yang sama, media massa. Pertama, saya bertahan selama hampir dua tahun (kurang empat bulan) di MPG media, dan terhitung Juli 2013, saya bekerja di Gramedia Majalah. Hmmm… sebuah rentang waktu yang tidak sedikit.
Tema oleh; Amanda Siswandani
Sejak lulus kuliah tahun 2011, saya hanya bekerja di dua tempat. Keduanya bergerak di bidang yang sama, media massa. Pertama, saya bertahan selama hampir dua tahun (kurang empat bulan) di MPG media, dan terhitung Juli 2013, saya bekerja di Gramedia Majalah. Hmmm… sebuah rentang waktu yang tidak sedikit.
They said that you’ll
experience a real life after college. For me it’s true. Di dunia kerja, kita
menghadapi tantangan yang sebenarnya yaitu maximize
our potential and how to handle other people. For me, it’s a big challenge,
bahkan sampai sekarang aja masih suka kesulitan gimana caranya berhadapan
dengan orang lain. I rather be in my
Hobbit hole than in a land full of people.
Manda told me to write how
does it feel to work at large company. Ya simpelnya sih jadi corporate slave. Well, karena enggak ngerasa jadi slave banget, gimana kalau temanya
sedikit kita twist?
So, this is me talking
about what I learnt from my job and people around me because there’s a huge
difference between me as 18 years old, 22 years old, and now, approaching my
28.
Saya
lupa kapan pertama kali tertarik pengin jadi jurnalis. Yang saya ingat sejak
kecil mimpi saya adalah menjadi penulis, tapi jurnalis? Saya benar-benar lupa.
Seingat saya, ketika teman-teman SMA masih banyak yang ragu ingin mengambil
jurusan apa saat kuliah nanti, saya sudah mantap dengan pilihan Komunikasi UI
(spesifik banget, ya?).
Sempat
minder sedikit ketika tahu kalau jurusan yang saya inginkan itu memberikan
tantangan yang sangat besar (yeah, I
laugh at someone who said that ‘komunikasi itu enggak ada tantangannya’. Like,
really?) terutama untuk seseorang yang introvert
dan suka awkward di depan umum. Namun
saat itu jiwa pemimpi saya sangat luar biasa sehingga semua ketakutan itu
akhirnya berhasil diredam. Saya rasa itu momen paling berani dalam hidup yang
pernah saya rasakan.
They said that do what you
love and the rest will follow. Ya, saya mengakuinya karena sejak mulai bekerja,
saya berada di jalur yang saya inginkan. This
is what I want and I do what I love. Jadi, saya tidak bisa memandang dari
sisi lain, karena pengalaman dalam hal itu nihil.
But I can guarantee you
one thing.
Jika kita melakukan hal yang disuka, hambatan apa pun pasti bisa diatasi. Di
kantor pertama saya, di sana banyak banget hambatan dan tantangan yang saya
terima. Namun, karena basic-nya
adalah saya melakukan hal yang saya cintai, jadi setiap pagi ada dorongan semangat
yang muncul begitu saja dari dalam diri. Ketika akhirnya saya menyerah, bukan
karena tidak bisa lagi melakukan hal yang saya cintai, melainkan saya mendapat
kesempatan baru yang membuat saya mendapat tantangan baru dan tentunya, tetap
bisa melakukan hal yang saya cintai.
Ngomong-ngomong
soal dreams do come true, ada satu
lagi impian saya yang terwujud. Waktu kecil, bacaan pertama saya adalah Bobo
dan Kompas. Beranjak dewasa, saya terpapar bacaan lain, but you will never forget your first love. Ketika bekerja di
KaWanku tahun 2013 lalu, saya mencoret satu lagi daftar impian (and I’m still counting on you, GPU, because
right now, you are my biggest dream).
Ketika
berhasil mencoret satu demi satu daftar impian, bukankah itu hal yang paling
menyenangkan?
Apa,
sih, yang paling kamu suka dari profesimu?
Bagi
saya adalah bertemu banyak orang, baik orang-orang di kantor atau narasumber
yang saya temui. They are great person.
Awalnya, saya ragu untuk interview seseorang. Ketika kuliah, beberapa mata
kuliah mengharuskan untuk interview orang lain, mengatur jadwal bertemu, dan
harus berhadapan dengan kepentingan orang lain. Saya bersyukur memiliki bekal
ini. Ketika bekerja dan harus interview seseorang, itu hal paling menyenangkan.
Saya memang masih suka awkward di
depan orang lain, tapi ketika interview seseorang, saya bisa enjoy.
Karena
bagi saya itu bukan interview, melainkan saling bertukar cerita dan diskusi.
Pengalaman
pertama yang akhirnya membuat saya menyukai sesi interview terjadi ketika
kuliah, tepatnya di mata kuliah Jurnalisme Investigatif. Kita disuruh untuk
membuat profil mendalam tentang seseorang. Tidak harus yang terkenal, tapi ada something positive yang dia perjuangkan
dan menarik untuk diangkat.
Salah
satu lagu kesukaan saya adalah Lembayung Bali and I’m the biggest fans of Saras Dewi. Saya juga membaca
buku-bukunya, dan ketika saya tahu dia dosen di Filsafat, kenapa enggak
interview dia saja? I want to know more
about her, why she doesn’t sing anymore and I want to know about her activity
as a lecturer. Berbekal keingintahuan itu, saya pun menghubungi beliau
lewat Message Facebook. Pengalaman interview pertama ini sangat membekas,
karena kami jadi diskusi soal banyak hal—pandangan hidup, apa artinya kehadiran
kita di dunia, kecintaan dia kepada anjing dan Bali, dan yang pasti, dia
menyemangati saya untuk lebih percaya diri—kurangi menunduk dan berani menatap
mata orang.
Selain
Mbak Yayas, pengalaman yang juga menjadi titik balik saya adalah ketika
interview mbak Reda Gaudiamo. Berawal dari acara musik di FISIP yang
menghadirkan Ari-Reda dan saya jatuh cinta kepada mereka, saya interview Mbak
Reda untuk kebutuhan kuliah, dan membuat saya berangan-angan untuk bekerja
bareng dia.
Sayang,
ketika saya masuk ke KaWanku, Mbak Reda sudah keluar.
Begitulah,
saya jadi jatuh cinta dengan sesi interview ini. Dosen saya pernah berpesan
untuk tidak pernah membuat daftar pertanyaan saat interview, cukup poin penting
yang akan diangkat, dan jangan ragu untuk improvisasi—tentunya dengan pertanyaan
yang tepat ya, dan bukan gosip (juga bukan soal balon dan ciuman *inside
jokes*). Beberapa kali, sesi interview berubah jadi sesi curhat atau diskusi.
Seleb
remaja S akhirnya curhat kepada saya karena dia baru putus dari pacarnya, si
aktor C jadi adu banter dengan saya karena kita mengagumi klub sepak bola yang
‘bermusuhan’, aktris T curhat soal toxic
friend yang dia miliki, member
boyband R dan D yang sudah enggak terhitung lagi ada berapa banyak cerita
yang kita bagi dan berhasil mengubah sudut pandang saya soal mereka. Tidak
semuanya saya masukkan ke dalam tulisan, tapi semuanya tersimpan di dalam
ingatan saya.
Tahun
2016 lalu, rubrik favorit saya di majalah KaWanku adalah Cewek Keren, yaitu
profil cewek biasa tapi punya cerita luar biasa. Setiap edisi, ada 2-3 profil
cewek-cewek ini. Atlet, socialpreneur,
activist, artist, and many more. Di usia yang masih sangat muda, tapi
mereka berhasil melakukan sesuatu. Rubrik ini membuat saya melihat kembali ke
kehidupan saya dan seketika merasa cetek karena belum melakukan apa-apa. Namun,
berinteraksi dengan banyak cewek ini membuat saya sadar kalau kita bisa menjadi
hero dengan melakukan apa yang kita
suka. Ada yang suka bulu tangkis, selancar air, membuat graffiti, memulai start
up, menjadi aktivis, apa pun itu, mereka bisa menjadi hero di bidang itu.
Dan
saya pasti juga bisa menjadi hero di
bidang yang saya suka. Setidaknya menjadi hero
untuk diri saya sendiri.
They Made Me Who I am
Today
Selain
orang yang saya temui di luar pekerjaan, saya juga tidak bisa melepaskan diri
dari orang-orang di dalamnya. Melihat ke masa lalu, ada perubahan besar yang
terjadi dalam hidup saya.
Postingan
ini kurang lebih menggambarkan perasaan saya terhadap mereka.
Hari pertama saya menginjakkan kaki di lantai 14 Graha Mandiri di tanggal 1 Juli 2013 pukul 14.00 mungkin akan jadi hari yang paling bersejarah. Atau mungkin beberapa minggu sebelumnya, ketika saya menandatangani kontrak di lantai delapan Gedung Gramedia Majalah.
They change me in a
positive way.
Mbak
Marti pernah bilang. Kurang lebih dia bilang begini, ‘pembaca kita adalah
anak-anak biasa, tapi mereka bisa melakukan sesuatu yang luar biasa. Kita encourage mereka untuk lebih berani dan
percaya diri.’ Mungkin mbak Marti enggak tahu kalau saya saat itu pesimis, someone like me yang sebenarnya butuh
di-encourage, gimana caranya untuk
meng-encourage orang lain? Seiring
waktu saya belajar kalau saya dan pembaca, lewat tulisan, kami saling
menyemangati satu sama lain.
Itulah
yang akhirnya membuat saya memutuskan untuk membenahi diri. Love yourself, accept yourself, be yourself,
itu yang selama ini digaungkan oleh tempat saya bekerja, yang perlahan-lahan
mulai masuk ke diri saya dan membuat saya mulai berubah. Mulai berhenti
memikirkan omongan orang lain, mulai berani mengekspresikan diri, berani
membuka diri, dan pastinya, menerima diri saya, dengan semua kekurangan, dan di
sisi lain, memaksimalkan kelebihan. Selama ini saya hanya melihat kekurangan
dan berpikir saya tidak punya kelebihan apa-apa. Itu salah besar, karena setiap
orang pasti memiliki kelebihan. Setiap kali saya selesai interview seseorang,
saya menyerap hal positif dari mereka untuk saya terapkan dengan cara sendiri.
Contoh
sederhana, meniru kebiasaan aktris E yang menyimpan quotes di hapenya dan membaca minimal satu quotes positif setiap hari.
Satu
lagi perubahan penting adalah berani bicara dan mengungkapkan pendapat. Dulu,
saya seringkali diam dalam diskusi karena tidak tahu cara yang tepat untuk
mengungkapkan pendapat. Saya bukan seseorang yang kritis dan jauh lebih sering
menerima—karena seringnya diajarkan seperti ini.
Namun,
rapat redaksi tiap dua minggu sekali mengubah semuanya. Rapat pertama, saya shock melihat semua orang ngomongin ide
mereka, sementara saya hanya celingak celinguk enggak jelas. Isma—editor saya
waktu itu—sampai berkali-kali bertanya ‘kamu punya ide apa, if?’ dan saya hanya
diam. I don’t know what to say. Rapat
pertama, Isma masih membiarkan. Rapat kedua, saya mulai menyumbang beberapa
ide, tapi masih butuh pembenaran dari Isma dan teman-teman lain.
Rapat
redaksi, sebuah keharusan, tapi juga menjadi tempat belajar yang pas. Di sana
kita harus menyumbang ide. Selain memutar otak mencari ide yang menarik juga
harus punya alasan kenapa menyumbangkan ide itu? Di sisi lain, saya jadi banyak
membaca, mencari tahu kebenaran suatu isu, dan mempertanggungjawabkannya.
Pertanyaannya
adalah, setelah ini apa?
Bagi
saya, inilah tantangan terbesarnya dan tantangan yang sebenarnya. Saya berubah,
saya merasakan sendiri perubahan itu, dan saya tidak ingin hanya saya sendiri
yang merasakannya. Selanjutnya adalah, bagaimana caranya agar apa yang terjadi
pada saya, bisa saya berikan kepada orang lain di luar sana?
XOXO,
Iif
Manda:
“Gimana, sih, rasanya kerja jadi jurnalis? Sharing aja ke orang-orang yang
bukan jurnalis, karena, kan, kadang mereka mikirnya enak. Karna lo pergi-pergi
mulu, bahkan ke luar negeri juga, nonton konser, ketemu artis, he-he-hhe”
Manda is one of
cewekbanget.id’s crew. She’s so naïve that sometimes make me wonder how she
survive in this world? Meski saya sering mengajarkan soal yang ‘enggak-enggak’ tapi
itu bukti kalau gue peduli sama lo, Man, he-he.
0 Comments:
Post a Comment