PS:
Tema ke-10 dalam rangka 30 Stories 30 Days
Tema
oleh Veve Herning
Sama
seperti cinta, enggak akan ada kata selesai ketika bicara tentang teman. Karena
teman memang memegang peranan penting dalam kehidupan kita. Bahkan ada frasa
yang bilang ‘karakter seseorang bisa ditentukan oleh teman-temannya’, karena
enggak bisa dipungkiri kalau gimana kita juga ditentukan oleh orang di sekitar.
Mencari
seorang teman yang benar-benar tepat itu bisa dibilang susah. Ya sama seperti
pacar, teman juga mengenal chemistry,
jadi enggak bisa sembarangan. Punya ketertarikan yang sama hanyalah salah satu
faktor, tapi bagi saya hal ini memegang peranan penting.
Jujur,
saya seseorang yang cukup sulit dalam memulai sebuah hubungan. Sekarang, sih,
agak mending bisa berbaur dan mencoba menyesuaikan diri meski most of the time I tend to hide when I was
in public. Tuntutan pekerjaan membuat saya harus bisa berbaur, melatih diri
dengan lip service yang bisa membuat
saya berbicara panjang lebar dengan orang lain. It’s not easy for me.
Sehingga,
saya bukan tipe orang yang bisa dengan gampangnya berteman dengan seseorang. Saya
akan sangat senang jika orang lain yang memulai inisiatif. Ketika baru masuk
kuliah, saya cenderung pasif. Sementara teman-teman lain dengan gampangnya
memperkenalkan dirinya. Salah satu yang saya ingat adalah Angki, teman kuliah
saya. Waktu itu di balairung, pertemuan pertama anak Komunikasi 2007. Dia berkeliling,
dengan celana jeans hijau dan kaos kuning (yess,
I remember that day) dia dengan lincahnya memperkenalkan diri pada semua
mahasiswa baru. I wish I was her.
Found a Thousand Kind of
Friends
Di
seumur hidup, tentunya kita bertemu dengan banyak jenis orang. Beberapa di
antaranya berkembang menjadi teman, lalu sahabat—seseorang yang menempati
posisi paling spesial di hati kita. Dari sekian banyak orang yang keluar masuk
dalam hidup kita, tentunya ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari mereka.
I know a thousand kind
of friends—pada
akhirnya. Ketika saya mencoba untuk membuka diri, saat itulah saya mengizinkan
orang lain, dengan beragam karakter, menginjakkan kakinya di hidup saya. Perkenalan
ini tentunya membuka mata, dan inilah saatnya untuk memfilter siapa yang bisa
kita jadikan teman.
Bukan
berarti membeda-bedakan orang. We need a
friend so we have to choose wisely.
Dulu,
saya tidak begitu memerhatikan karakter orang dalam berteman. Yeah, I tried to fit into some circle of
friend, cocok atau enggak itu urusan belakangan. Yang penting harus masuk
dalam geng tertentu. Sehingga seringkali saya memaksakan diri.
Kalau
diingat-ingat sih sampai lulus SMA saya seperti ini. Memaksakan diri untuk
masuk ke suatu kelompok, lalu berusaha untuk cocok. Looking back to my teenage years, pantas aja dulu banyak drama,
he-he.
Saya
ingat pernah sangat memaksakan diri masuk ke suatu kelompok dan ujung-ujungnya
dimanfaatkan. Saya juga pernah masuk dalam kelompok karena berpikir enggak ada
kelompok lain yang bisa menerima saya. Mereka orang pertama yang menerima saya,
sehingga itu sudah cukup. Saya tidak mencari lagi, cukup bersama mereka saja,
dan pada akhirnya saya tidak bisa 100% masuk ke dalam kelompok itu. Salah satu
teman saya pernah bertanya kenapa saya enggak pernah curhat sama mereka,
padahal salah satu fungsi geng adalah curhat, kan? Well, pertama karena saya tidak bisa mengungkapkan perasaan lewat
lisan—pada saat itu, dan kedua, hati saya menolak untuk curhat karena jauh di
dalam hati saya merasa tidak cocok dengan mereka. Jadinya, mereka hanya
mengenal saya di permukaan, begitu juga sebaliknya.
Saya
lebih suka curhat di diari ketimbang sama teman. Tentang pertemanan masa
sekolah juga sempat saya singgung di sini.
Pada
akhirnya, orang yang benar-benar menjadi teman hanya beberapa. Yang menjadi
sahabat jauh lebih sedikit. Sisanya, hanya sekadar kenal.
What Do You See In Your
Friend?
Menginjak
usia dewasa, saya akhirnya bisa membentuk pemahaman tentang pertemanan. Suatu hari,
saya bertanya pada diri sendiri, apa yang sebenarnya saya cari dari orang lain?
Punya
ketertarikan yang sama masih jadi patokan. Ya, saya mengakui kalau saya tipe
yang sulit memulai obrolan, sehingga punya ketertarikan yang sama bisa
mengatasi masalah ini. Makanya saya suka komunitas, karena di sana sudah jelas,
orang-orangnya punya ketertarikan yang sama.
Kedua,
saya ingin seseorang yang memberikan pengaruh positif bagi saya. Karena itu,
saya mengeliminasi orang-orang yang hanya mendatangkan hal negatif dari circle of friend saya. Saya berpikir,
percuma menjadi seseorang yang positif kalau orang di sekitar kita malah
memberikan pengaruh yang sebaliknya.
Saya
punya prinsip begini, find a friend who
help you to make the best version of yours, find a friend who broaden your
horizon with positive thought, find a friend who laugh at themselves so you can
laugh at yourself, and find a friend who inspired you, eventought they don’t
realize it. Karena saya percaya, di balik omongan sederhana dengan
seseorang yang memenuhi kriteria di atas tidak pernah berarti sederhana, karena
pasti ada sesuatu hal baru yang kita pelajari.
Who Is Your Real Friend?
Balik
lagi ke tema awal tulisan ini, real
friend vs fake friend. Sedari tadi saya bicara tentang real friend, lalu bagaimana dengan fake friend? Ketika saya memaksa untuk fit in di suatu kelompok tertentu, di sana saya bertemu teman
yang fake.
I have one friend while I
was in high school.
Di depan saya dia sering berkomentar buruk tentang teman segengnya. Namun keesokan
harinya, di sekolah, dia seolah enggak bisa dipisahkan dari teman-temannya. At that time I don’t understand. Saya tetap
berteman dengannya. Belakangan saya tahu kalau itu caranya membuat saya percaya
kepadanya and then she used me.
Begitu
juga dengan teman yang saya ceritakan di sini. Saya beruntung tidak begitu lama
berteman dengannya and I don’t need a
friend like her. http://ifnurhikmahofficial.blogspot.co.id/2017/08/30-stories-30-days-2-what-is-biggest.html
So, what about fake
friend?
Saya percaya kalau setiap orang memiliki topeng yang dia pakai sehari-hari. Kadang
bukan hanya satu, ada banyak topeng. Kita mengenakan topeng berbeda, tergantung
dengan siapa kita bertemu. Namun teman yang sebenarnya adalah seseorang yang
tidak datang ke hadapan kita dengan topengnya.
For me, fake friend is
someone who used me, someone who bring the negative side of me, and make me to
sabotage myself.
I’m an easy girl jadi pikiran saya soal
pertemanan cukup simpel, he-he.
And what about best
friend?
Well, sahabat enggak melulu
harus ada di dekat kita 24/7. Tapi dia selalu ada di ingatan kita, dalam
kesempatan apa pun.
Orang
yang membalas dengan semangat, bahkan untuk chat sesederhana, ‘how’s life?’
XOXO
Iif
Veve:
“Karena pengalaman gue dulu waktu sekolah, punya teman deket banget yang bisa dibilang
sahabatan. Awalnya dekat tapi entah apa salah gue dia tiba-tiba ngejauhin gue
dan menghasut teman lain buat membenci gue. Padahal, gue suka lo blak-blakan di
depan gue kalau ada masalah daripada di belakang gue mengajak orang lain buat
membenci gue. Sampai sekarang gue enggak tahu masalahnya apa. Jadi dari
pengalaman itu fue mau nanya, gimana kita tahu teman atau sahabat yang udah
deket itu beneran tulus atau fake?”
Veve, I know her like a
few months ago? Yeah, belum lama memang but I think she’s one of a kind in my
small circle. We can laugh or take a coffee and then we do our job. One thing
for sure, she knows how to make me smile or laugh my ass off, hehe.
0 Comments:
Post a Comment