PS:
Tema keempat dalam rangka 30 Stories 30 Days
Tema
oleh: Indra Pramesti
I love watching movies, genre apa pun selain
horor dan hantu. Namun ketika kita bicara soal movie of your life, pilihan saya jatuh kepada The Lord of The Rings.
Saya
sudah jatuh cinta dengan dunia Middle Earth sejak membaca novel The Lord of The Rings: The Fellowship of The
Ring. Orang terdekat saya sudah paham betapa saya sangat tergila-gila
kepada dunia ciptaan JRR Tolkien ini.
Flashback to my early
teenage years,
bisa dibilang momen perkenalan saya dengan The
Lord of The Rings adalah sebuah ketidaksengajaan yang berbuah keajaiban.
Saya terjun ke Middle Earth sekitar tahun 2001. Saat itu sedang booming novel Harry Potter. Berhubung di
kota kelahiran saya tidak ada toko buku (adanya hanya di Padang which is dua jam perjalanan dari
Bukittinggi), jadi saya meminta oleh-oleh kepada kakak yang waktu itu kuliah di
Jakarta berupa novel Harry Potter.
Tapi
dia malah membeli novel The Lord of The
Rings karena stok Harry Potter habis dan dia malas mencari ke Gramedia lain
sehingga asal comot dan dengan sotoy bilang kalau Rings lebih bagus (how come she knows about that because she
never read it? I don’t understand).
Saya
ngambek.
She said to me, “You never
know what will happen if you don’t try.”
She’s right. Kesalahan dan
kesotoyannya membuat saya menemukan dunia baru. Dunia yang sangat berbeda
sekaligus terasa sama dengan apa yang saya rasakan pada saat itu. Dunia yang
membuat imajinasi saya melambung tinggi dan membuat saya memimpikan banyak hal.
Dunia
yang sangat ingin saya tinggali.
Shire Is Like My Hometown
Ketika
membaca The Fellowship, sebanyak
puluhan halaman kita diajak untuk mengenal Shire. Banyak yang menganggap bagian
ini membosankan, karena memang super detail. Namun saya suka karena ketika saya
membacanya, Shire terasa begitu akrab. Seperti kampung halaman.
Shire
yang tenang dengan perkebunan dan bukit-bukit, juga penduduknya yang ramah dan
kekeluargaan, yang saking ramahnya malah jadi sedikit annoying karena super kepo. Shire kota kecil yang tidak ada apa-apa
di sana, persis seperti Bukittinggi yang tidak memiliki apa-apa.
Lalu
ada Hobbit, makhluk kecil yang santai dan simpel. Very simple. Mereka merasa sudah cukup puas dengan apa yang diberikan
Shire kepada mereka.
Di
tengah itu semua, ada Bilbo Baggins yang berbeda. Bilbo yang tidak puas dan
berani keluar dari comfort zone yang
ditawarkan Shire. Bilbo yang merindukan petualangan dan mendapatkan banyak
pengalaman—sesuatu yang tidak pernah bisa diberikan Shire padanya.
Juga
Frodo Baggins, seseorang yang ingin tinggal damai di Shire tapi pada akhirnya
keadaan membuatnya terpaksa keluar dari Shire. Frodo dijemput oleh petualangan,
berbeda dengan Bilbo yang menjemput petualangannya sendiri.
Saya
merasa ada sebagian diri saya yang seperti Bilbo, mengharapkan petualangan dan
mencari hal lain di luar sana yang tidak pernah bisa diberikan oleh
Bukittinggi. Juga ada sebagian diri saya yang seperti Frodo, ingin tetap di
Bukittinggi tapi suatu hari, sebuah petualangan menghampiri saya.
I’ve been dreaming about
my own adventure, just like Bilbo, for years. Until that adventure found me
when I was 18, just like what happened to Frodo.
Menjura Pada Peter Jackson
Mungkin
perasaan yang sama juga dialami oleh Peter Jackson. Saya pernah membaca
interview dia. Beliau bilang ikut terhanyut dalam dunia ciptaan Tolkien, dan
ketika dia membaca novel itu di kereta, sambill melihat pemandangan yang
dilewatinya, dia yakin bisa menghidupkan Middle Earth di New Zealand.
And he did it. Saya tidak pernah
berhenti mengucapkan terima kasih kepadanya karena sudah membawa Middle Earth
ke bumi. Meski sampai saat ini, menginjakkan kaki di New Zealand masih menjadi
impian terbesar yang belum terwujud (someday
I will).
Saya
tidak langsung menonton filmnya begitu dirilis. Lagi-lagi karena keterbatasan
akses. You know, living in small city is
suck, he-he. Sehingga saya menontonnya bertahun kemudian, ketika Return of the King hampir dirilis.
Dari
segi box office dan penghargaan, film
ini menang banyak. Bahkan, Return of The
King masih memegang rekor sebaga film terbanyak yang memenangkan piala
Oscars, bersama Titanic dan Ben Hur. Namun saya tidak terlalu
memikirkan pencapaian tersebut. Yang ingin saya tekankan adalah film ini
memberikan banyak pengaruh di hidup saya, di berbagai keadaan.
Terlepas
dari kritik yang diberikan kepada Peter Jackson, termasuk dari Christopher
Tolkien sendiri, yang mengatakan kalau film besutannya Jackson tidak bisa
menggambarkan Rings sepenuhnya. Bagi saya, film ini sudah lebih dari cukup
untuk menjadikannya sebagai movie of my
life.
Banyak
film bagus dan lebih epic dibanding
Rings. Namun tidak ada yang bisa menggantikan Rings di hati saya.
That’s why I wanna say
thank you to Mr. Peter Jackson because he brings Middle Earth into reality.
When in Doubt, Just Go
Back to Middle Earth
So, this is my reason why
I choose Rings as movie of my life.
Novel
dan film ini adalah satu paket. Novel dan film saling melengkapi. Novel
mengajak saya untuk berimajinasi dan saya menghidupkan dunia Middle Earth dan
petualangan The Fellowship di dalam benak saya. Lalu filmnya menghidupkan
imajinasi tersebut—meski tidak sepenuhnya.
For me this is like dream
comes true.
Film
ini mengingatkan saya kepada masa-masa awal remaja, ketika saya yang masih
polos dan bersemangat ingin merasakan petualangan sendiri. I’m counting down my days until I celebrate my 33rd birthday
because I want Gandalf to come and knock on my door and asking me to join his
adventure. Namun saya tidak perlu menunggu umur 33 tahun karena saya
mendapatkan petualangan itu di umur 18 tahun.
Growing up is never be
easy. We have our own struggling every day. Family stuff, high school stuff,
boyfriend stuff, anything. Semuanya tidak mudah untuk dijalani. Saat itu, saya
menjadikan Rings sebagai suntikan semangat. Jika saya ingin mendapatkan
petualangan yang didamba-dambakan sejak umur dua belas, maka saya harus
melewati ini semua. Saya percaya petualangan itu akan datang. Mungkin bukan
seperti Frodo yang diwariskan cincin. Juga bukan berupa ketukan di pintu dari
tongkatnya Gandalf.
Petualangan
tersebut memiliki wujud lain, yaitu growing
up and being an adult.
Dalam
hidup, kadang kita merasa lost.
Beberapa kali saya merasa lost. Saya
pernah melewati fase tidak tahu harus berbuat apa, mempertanyakan apakah jalan
yang saya ambil ini benar, juga ragu akan masa depan.
Di
saat seperti ini, saya selalu teringat perkataannya Sam.
Ketika
berada di titik seperti yang dialami Frodo, bahwa saya lelah dan ingin
menyerah, maka ucapan Sam akan langsung memenuhi benak, seakan-akan Sam berkata
langsung di depan saya.
“I know. It’s all wrong. By rights we shouldn’t even be here. But we are. It’s like in the great stories Mr. Frodo. The ones that really mattered. Full of darkness and danger they were, and sometimes you didn’t want to know the end. Because how could the end be happy. How could the world go back to the way it was when so much bad happened. But in the end, it’s only a passing time, this shadow. Even darkness must pass. A new day will come. And when the sun shines it will shine out the clearer. Those were the stories that stayed with you. That meant something. Even if you were too small to understand why. But I think, Mr. Frodo, I do understand. I know now. Folk in those stories had lots of chances of turning back only they didn’t. Because they were holding on to something.”
Dan
Frodo akan bertanya, pertanyaan yang juga sering saya tanyakan pada diri
sendiri. “What are we holding on to,
Sam?”
Dan
jawaban Sam selalu menjadi penyemangat di saat saya sedang gamang dan ragu.
Bahwa ada hal baik menunggu dan itu sangat pantas untuk diperjuangkan.
“That there’s some good in this world, Mr. Frodo. And it’s worth fighting for.”
That’s why, when in doubt,
I always go back to Middle Earth. Karena di sana saya bisa menemukan diri saya yang
dulu. Saya yang naif, polos, dan percaya kalau ada hal penting di masa depan
yang patut diperjuangkan.
Dengan
demikian, saya bisa mengumpulkan kembali kekuatan dan kepercayaan diri, seperti
Frodo yang perlahan mencoba bangkit dengan bantuan Sam.
And The Lord of The Rings
is my Sam.
XOXO,
Iif
Notes
Indra: ”Alasan
aku memilih tema ini, well karena kita bisa menyebut sesuatu dengan imbuhan ‘of
my life’, itu kan berarti penting banget buat kita. Entah kita bisa relate atau
gimana. Kenapa film, karena aku suka visual sehingga langsung nyebut film. Mbak
kan penulis jadi book of my life kayaknya udah pernah dibahas, jadi film aja
deh.”
Indra
is cewekbanget.id’s fashion & beauty writer who loves movie. By the way, I
never write about book of my life and I think it’s time for me to write about
it. Thanks, Ndra.
0 Comments:
Post a Comment