(30 Stories 30 Days) 3: Too Comfortable Being Alone by Yourself and Perfectly Happy With That

Leave a Comment


NB: Tema ketiga dalam rangka proyek ulang tahun 30 days 30 stories.
Tema oleh: Nur Idzni


“Masih jomblo aja? Enggak bosan apa ngejomblo?”
“Siapa pacar lo sekarang? Hah? Enggak ada?”
“Sumpah, ya, lo itu udah lama ngejomblo. Enggak takut karatan?”
“Umur lo udah berapa, kak. Masih jaman ngejomblo umur segini? Temen-temen lo udah punya anak dua tuh.”
Well, in our society, kayaknya jadi jomblo itu sebuah aib besar. Sebuah aib yang kalau ketahuan sama orang lain, rasanya bakalan malu banget. Terlebih ketika kita berada di usia late 20s, aibnya makin menjadi-jadi. Kasarnya, jadi jomblo itu dosa, sesuatu yang enggak boleh dilakukan.
Enough with my rant.
Kalimat pembuka ini hanya contoh. Mungkin beberapa pernah mendengarnya langsung, enggak mirip seperti ini tapi intinya sama. Lo jomblo, maka nasib lo kasihan banget—sederhananya seperti ini.
I’m in my late 20s right now (I will be 28 years old in 28 days since I write this blogpost) dan sesekali kalimat di atas sempat mampir ke telinga saya. Ada yang sefrontal ini, ada yang sok-sokan dimasukkan ke dalam doa semoga-iif-segera-dapat-pacar-yah-kasihan-sendiri-mulu, dan ada yang lebih frontal lagi.
Risih? Actually, yess.
As an introvert person, seseorang menyerang ranah pribadi seperti ini termasuk ke dalam pelanggaran privasi. Hanya orang tertentu yang masih bisa saya tolerir, beberapa saya tanggapi dengan senyum malas atau kalau lagi bad mood, balas menyerang. Even it’s my family or my friends, I think you don’t have a right to ask me something personal that I don’t like to discuss. Ya, salah saya sering mendiamkan saja dan memendam sendiri kalau saya tidak suka. Sekali waktu saya pernah bilang ‘bukan urusan lo kali’ dan saya pun dibilang lagi PMS karena kelewat sensi.
Kasihan ya, si PMS selalu disalahkan.
The point is, having or not having boyfriend or girlfriend is your business, not somebody else’s business. So, when I said ‘bukan urusan lo’, I really really mean it.

Kita yang Jomblo, Orang Lain yang Rempong

Apakah seseorang punya pacar atau tidak, itu urusan dia. Kita tidak pernah tahu apa yang sebenarnya dirasakan orang tersebut. Kita tidak pernah tahu usaha apa saja yang sudah dia lakukan. Kita tidak pernah tahu, apakah ada luka hati atau trauma tertentu yang dialaminya. Kita juga tidak tahu prioritas hidupnya, dan apakah punya pacar termasuk ke dalam prioritas yang harus digapai atau tidak.
We never know that.
Kecuali kalau seseorang terang-terangan bilang ‘cariin gue pacar dong’, saya rasa tidak perlulah berbaik hati menawarkan diri mencarikan pacar untuk seseorang yang jomblo.
This is purely my opinion, ya.
Karena kenyataan, si jomblo merasa hidupnya fine-fine saja, tapi orang lain malah menganggap dia enggak fine-fine aja. Ya karena masih boyfriendless.
“Waktu gue bilang gue baik-baik aja enggak punya pacar, teman gue malah menganggap itu bullshit. I do want to have a boyfriend, but not now. We talk about priority and having a boyfie is not on my priority right now.” (Andini, 26 years old).
Like what my friend said, yess I do want to have a boyfriend. But not now. Yess, I have special relationship with someone but he’s not my boyfriend. I don’t want to call him my boyfriend because deep in my heart I know that I still need a time to think about it and having a boyfriend is not on my priority right now.
I’m okay with that. He’s okay with that.
Seharusnya hubungan sesimpel itu, am I right?
 
Alasan Seseorang Menjomblo

Ada banyak alasan seseorang menjomblo. Dalam hal ini, saya akan menjabarkan alasan kenapa saya masih suka sendiri.
All of my life, bisa dibilang saya baru menemukan diri saya yang sebenarnya beberapa tahun terakhir. Bertahun-tahun saya mencari tahu, who I really am? What am I really really want in my life? What I want to achieve in my future?
Saya juga mempertanyakan life path yang saya ambil, apakah ini jalan yang benar untuk saya terus jalani? Ataukah saya harus mencoba hal lain?
Trust me, ya, berada di masa-masa gamang seperti ini sama sekali tidak menyenangkan. Karena masa gamang ini menyangkut diri kita sendiri, dan hanya kita yang punya kuasa untuk bisa melepaskan diri darinya. Saya sampai berada di titik I don’t know who I am or what I want in my life. Saya menjalani hari demi hari begitu saja, seperti robot yang rutinitasnya sudah diatur.
It was suck, you know.
Butuh waktu sampai akhirnya saya merasa nyaman dengan diri sendiri. Sampai akhirnya saya tahu siapa saya, dan perlahan-lahan mulai menyusun langkah-langkah apa yang akan saya ambil.
Jadi, ketika berada di masa gamang itu, saya rasa saya tidak punya energi untuk mengurus hal lain. Yang saya tekankan adalah saya harus membenahi kehidupan saya. Baru, deh, setelah itu kita bicara akan hal lain.
Dalam membenahi hidup, saya lebih membuka diri. Saya mencoba berani untuk mencari kesempatan yang tujuannya adalah untuk mengembangkan diri. Saya ikut banyak komunitas, bertemu orang baru dan membuka wawasan saya. Sampai akhirnya, saya pun merasa haus untuk terus mencari dan mencari.
Pada akhirnya, ketika perlahan hidup saya mulai terasa berjalan on the right track, I want to do more. Saya merasakan sendiri perbedaan di diri dan pola pikir saya dalam sepuluh tahun, lima tahun, dua tahun lalu, dan sekarang. Saya bisa bilang kalau perubahannya berjalan ke arah yang positif, dan saya rasa jika terus melakukan hal ini, dua tahun mendatang saya pasti bisa jadi sosok yang lebih baik lagi dari sekarang.
Dan saya pun mendapat kesempatan baru sekarang untuk semakin membenahi diri dan semakin jelas dalam mengatur masa depan.
That is my priority.
Dalam masa pembenahan, saya selalu menegaskan: If, prioritas lo apa? Itu yang harus lo duluin.
That’s why saya masih sendiri karena prioritas saya bukanlah di punya pacar, apalagi menikah.

Terlalu Nyaman Sendiri

Mau tidak mau, saya harus mengakui kalau akhirnya saya terlalu nyaman sendiri. Terlebih ketika sekarang saya tahu apa yang saya mau, dan untuk mengizinkan seseorang masuk ke dalam hidup yang sudah saya tata sedemikian rupa, rasanya sulit.
Ada satu ucapan Anya di film Critical Eleven yang sangat menusuk saya. Saya lupa kalimat persisnya, tapi intinya kurang lebih begini.
“Aku tuh udah biasa sendiri, dan aku enggak biasa menggantungkan hidupku (atau kebahagiaanku?) sama orang lain.”
Kurang lebih saya mengalami hal yang sama. Terbiasa sendiri, saya tahu apa yang membuat saya bahagia, dan ketika akan membaginya dengan orang lain, rasanya berat. Karena saya tidak ingin jadi terbiasa menggantungkan diri di tangan orang lain dan ketika dia pergi, maka saya hanya akan kecewa.

In The End, It’s Your Business. Not anybody else

Ketika memberikan tema ini, teman saya Idzni sekalian curhat. “How to get a lover when you’re being too lazy and too comfortable being alone by yourself. I’m feeling lonely kalau lagi nonton drama Korea. But most of the time I’m perfectly happy and content. But most people bother because I’m being single for damn too long, hahaha.”
Sama seperti saya, saya yakin kalau Idzni juga punya alasan tersendiri. Dan mungkin, sama seperti saya, dia tidak memberitahu orang lain itu apa alasannya. I keep it myself karena ini hal yang pribadi dan saya tidak pernah terbuka pada orang lain (baru di tulisan ini dan tulisan-tulisan lainnya saya benar-benar menelanjangi diri sendiri).
Pada akhirnya, punya pacar atau tidak itu urusan kita, bukan orang lain. Easier said than done, I know that. Menulikan telinga dari omongan orang lain itu memang butuh effort yang luar biasa. Jika ada satu hal yang saya pelajari di masa pembenahan hidup adalah i-don’t-care-attitude. Menurut saya, ini life skill yang harus kita punya, terlebih di saat sekarang ini ketika kumpulan orang kepo semakin banyak and having I-don’t care-attitude will help you.
Balik lagi ke diri sendiri. Jika saat ini masih nyaman sendiri, kenapa enggak? Karena kebahagiaan itu asalnya dari kita, sehingga punya pacar atau tidak itu bukan masalah. Umur? Come on, 28 years is not old ya, setidaknya bagi saya karena umur 27 merupakan golden moment in my life dan saya yakin 28 juga akan memberikan hal yang sama, atau bahkan lebih.
I have my life in my own hand.
Ketika akhirnya memutuskan untuk punya pacar, pastikan itu datang dari diri sendiri. Not because you have to have boyfriend for the sake of having boyfriend. Because society told you to have boyfriend and then getting married.
Life is about a choice and having boyfriend or not, it’s our choice. Saya memilih untuk menjalani prioritas lain , dan itu bukan punya pacar. Jika prioritasmu adalah punya pacar, then do it. Karena apa yang membuat kita bahagia, belum tentu membuat orang lain bahagia.
Seperti kata Tory Kelly. Dear no one, this is your love song.

XOXO
Iif

Notes
Nyieth: . “How to get a lover when you’re being to lazy and too comfortable being alone by yourself. I’m feeling lonely kalau lagi nonton drama Korea. But most of the time I’m perfectly happy and content. But most people bother because I’m being single for damn too long. Karena itu kondisi gue sekarang.”
Nyieth ini salah satu teman yang saya temui ketika berada di masa pembenahan hidup. Jujur awalnya saya lupa bagaimana kita bisa kenal sampai akhirnya berteman. It doesn’t matter because she helps me to know myself, even she doesn’t realize it. Oh, she’s one of my fangirl-squad. You know Nyieth, being a fangirl taught me that I-don’t-care-attitude, apalagi sama omongan orang lain yang enggak penting.
SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 Comments:

Post a Comment

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig