PS:
Tema ke-23 dalam rangka 30 stries 30 days.
Tema
oleh: Muti Siahaan (digabung dengan tema pemberian Aditia Yudis juga)
Isn’t it sensitive topic?
Saya
sering mendengar statement seperti
ini. “Seorang perepuan belum menjadi perempuan seutuhnya ketika dia belum
menjadi seorang ibu.” It’s so wrong,
karena kodrat seorang perempuan tidak ditentukan oleh apakah dia punya anak
atau tidak. Kodrat perempuan itu hanya menstruasi, selebihnya adalah pilihan.
Oke,
ini sebuah pembukaan yang cukup kuat.
Perempuan
dan anak. Masyarakat membentuk pandangan bahwa seorang perempuan sudah
seharusnya mempunyai anak. Namun, apakah iya?
Karena
kenyataannya ada perempuan yang tidak ingin punya anak.
When I look in to myself, I
can’t imagine myself being a mother. Call me selfish, it’s okay because I think
there’s something wrong in me when I have my own child. It’s like I can’t be
myself when I’m surrounded with kids.
Saya
memang bukan seseorang yang bisa akrab dengan anak kecil. Namun, berada di
tengah tangisan dan teriakan anak kecil seems
like hell for me. Pardon my French.
Hanya
ada beberapa pengecualian yag bisa dekat dengan saya. Ya, saya memang sayang
kepada keponakan saya, tapi hanya keponakan dekat dengan pertalian darah yang
sangat dekat. I do enjoy my time with
them, meladeni pertanyaan mereka yang tidak ada habisnya, mengikuti
imajinasi mereka yang tidak ada batas, memanjakan mereka, membacakan dongeng
atau cerita, menemani mereka main sepeda atau sekadar main bola di taman di
sore hari, ya saya menikmatinya. When he
called me and asked me when will I come home, it warms my heart. When he run
into me when I came, I do nothing but smile.
Namun,
ketika membayangkan anak sendiri, saya hanya bisa bergidik.
Di
saat teman-teman saya bersemangat melihat anak kecil dan menjadi seorang ibu, I can’t see myself being like them.
Punya Anak, Semacam
Keharusan
Kita
dididik dalam sebuah kepercayaan yang membentuk pola hidup tertentu yang harus
dijalani. Sekolah, kuliah, bekerja, menikah, lalu punya anak. That’s it.
Namun,
apakah pola itu cocok untuk semua orang? Jawabannya adalah tidak.
Ketika
datang ke launching buku Book of
Forbidden Feelings, Lala Bohang menyampaikan forbidden feeling yang dia rasa. Kurang lebih, Lala berkata seperti
ini. “Punya anak itu adalah pilihan. Tapi kenapa saya merasa kalau di
masyarakat kita punya anak itu adalah sebuah keharusan atau kewajiban?”
Saya
setuju dengan pernyataan itu karena saya pun mempertanyakan hal yang sama. Sama
halnya dengan kita ingin bekerja di bidang apa, apakah kita ingin menikah atau
tidak, punya anak atau tidak juga seharusnya menjadi pilihan. We have right to choose. Namun kebanyakan
orang di sekitar seringkali silently
judging—hell, bahkan ada yang judging
terang-terangan. Contoh nyata, kenapa banyak banget yang kepo kapan seseorang
hamil setelah dia menikah?
I Can Barely Supporting
Myself
Suatu
malam, teman saya, mbak Yuska sharing sebuah link artikel di Twitter. Inside the Growing Movement of Women Who WishThey’d Never Had Kids yang dimuat di Marie Claire. Artikel itu membahas ibu
yang merasa menyesal sudah mempunyai anak. Karena menjadi ibu itu berat. Sebagian
ibu di artikel ini memang mempunyai anak di usia muda, sehingga ketika anaknya
sudah dewasa and living a life that she
wanted, dia pun merasa menyesal dan iri karena dulu tidak sempat menjalani
kehidupan yang dijalani anaknya sekarang.
Penyesalan
karena ada waktu yang terambil dan belum sempat memaksimalkan potensi diri.
I can see myself like that, entah kenapa. Berkaca dari
keadaan saya sekarang, saya jadi tahu alasan kenapa saya tidak ingin
ceapat-cepat menikah apalagi punya anak. I
can barely support myself, let alone supporting kids. Memenuhi kebutuhan
sendiri saja masih ngos-ngosan apalagi memenuhi kebutuhan orang lain? Mengatur diri
sendiri saja masih belum benar, apalagi mengatur orang lain?
Akhirnya
saya sadari kalau inilah yang saya takutkan. Saya tidak ingin menjadi satu dari
ibu-ibu yang menyesal itu. Jika memaksakan untuk memiliki anak sekarang, bisa
dipastikan kalau saya akan menjadi seperti mereka.
Kedengarannya
mungkin selfish, tapi bukankah itu
lebih baik? Saya ingin menjadi settle
terlebih dahulu, sehingga nanti saya bisa memberikan yang terbaik untuk anak
saya kelak. Bukankah hal yang alami ketika kita ingin memberikan yang terbaik
untuk orang yang kita sayang, let’s say
our kids? Saya tahu dengan kondisi yang sekarang saya belum bisa memberikan
yang terbaik untuk mereka. I’m still in process
to make my life better and I think I need more time to think about myself until
someday I’m ready to take another challenge.
Masyarakat
kita memandang punya anak setelah menikah itu sesuatu yang default. Harus dilakukan. Namun pada kenyataannya, we’re allowed to make decision for our own
life.
Trus
juga ada omongan seperti ini. “Kalau enggak punya anak, nanti tua siapa yang
urus?”
Menurut
saya, justru orangtua yang berpikiran seperti inilah yang selfish. Sudah berpikir sang anak akan membalas jasa kita bahkan
sebelum anak itu lahir. Seakan-akan menggampangkan kehadiran seorang anak,
yaitu biar ada yang mengurus ketika tua nanti.
Juga
omongan “punya anak untuk melestarikan gen bagus.” Ini juga selfish menurut saya karena seakan-akan
menjadikan having kids like a joke.
Belum Saatnya
Never say never, begitu kata Justin
Bieber. I agree with him, begitu juga
dalam hal perkara punya anak atau enggak. We
never know what will happen tomorrow, sehingga yang bisa kita lakukan
hanyalah berkaca dari masa sekarang, dan masa sekarang yang saya jalani sangat
jauh dari punya anak.
Untuk
saat ini, saya memutuskan bahwa punya anak is
not on my priority. Yess, I can’t see myself being a good mother. Being a cool
aunty, I can live with that, but having my own, well maybe one day I will.
Karena
saya punya prinsip, benahi hidup kita sebelum melangkah ke tahap selanjutnya.
Dan
menanggapi omongan orang lain? Darling,
our life will be more interesting if we don’t let anyone else told us what we
should do.
That’s mine. What about
yours?
XOXO,
Iif
Muti:
“What do you think about woman who doesn’t
like children? Kan banyak stigma kalau cewek itu harus suka anak kecil dan it’s part of our maternal instinct.”
Mbak Muti was my office
mate for the past four years. We can talk about everything, from Kpop to
Hollywood thingy to traveling to book and more book and about this, what’s
inside my heart. Something that I can’t talk about it with everyone else. Maybe
she doesn’t realize, but we have same point of view about many things.
This is such a nice curhat. Dan bener bgt, 'kalo udah tua siapa yg ngurusin?' Emang kalo udah tua jadi gak mampu ngapain2 gitu? Hehehe.
ReplyDelete