Cerita Dari Secangkir Kopi

3 comments
Cerita Dari Secangkir Kopi
Ifnur Hikmah

 Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com



Asap yang sejak tadi mengepul dari cangkir kopi di atas meja di hadapanku ini sudah lenyap. Aku yakin kopi itu sudah dingin. Namun, aku masih bertopang dagu di sini. Melihat layar laptop yang masih menampakkan halaman kosong.
Dan John Mayer sudah menyanyikan beberapa lagu.
Dari jendela di depanku, aku bisa melihat semua kejadian di luar coffee shop ini. Motor yang terparkir rapi. Tukang parkir yang mengibaskan topi lusuhnya, berusaha mengusir panas yang luar biasa menyengat siang ini. Sepasang bule paruh baya yang berjalan pelan sambil berpegangan tangan. Remaja cewek yang tengah merajuk di depan seorang cowok—mungkin pacarnya. Seorang cewek memakai high heels yang kesulitan memegang payung dan beberapa buku sekaligus. Ibu-ibu dengan plastik belanjaan. Musisi jalanan dengan kaos putih dan jins belel.
Ada banyak cerita terjadi di luar sana.
Ada banyak cerita bermain di benakku.
Kuteguk cangkir berisi kopi hitam pekat itu. Sudah dingin. Tapi aromanya masih tercium tajam.
Kopi dingin sudah menjadi temanku menunggu.
**

Apa yang terjadi sebelum secangkir kopi hangat berubah menjadi dingin?
“Kopi Aceh Gayo.”
Aku mengangkat kepala dari layar laptop yang selama beberapa jam terakhir memenuhi pandanganku. Mataku sedikit menyipit menyambut cahaya matahari sore yang menyala terang dari jendela lebar di belakangnya.
“Kapan kamu datang?”
“Ck ah…” Dia mendecakkan lidah, seraya meletakkan secangkir kopi hangat ke genggamanku. Aromanya kuat dan wangi. Menusuk tapi juga menenangkan.
Kudekatkan hidung ke atas cangkir dan menghirup aromanya dalam-dalam.
Aku tidak terlalu menyukai kopi—juga bukan penggemar berat kopi. Kopi yang aku tahu hanyalah kopi sachet yang suka diseduh papa dulu sore-sore sepulang kerja atau kopi Starbucks yang suka kupesan kalau lagi bertemu Val, editorku.
Namun dia? Dia berbeda. Penggila kopi yang isi otaknya hanya dua, kopi dan kerja. Karena dia, aku jadi ikut mencicipi banyak kopi. Termasuk ini. Kopi Aceh Gayo. Favoritnya. Alasan sentimental karena almarhumah ibunya berasal dari Aceh seringkali diungkapkannya setiap kali datang membawakan kopi ini untukku.
“Baru, sih,” ujarnya seraya duduk di depanku, dengan secangkir kopi yang sama.
Aku ikut meneguk kopi itu. Aromanya yang pahit tapi terasa gurih mengaliri kerongkonganku.
“Bagaimana Aceh?”
“Seperti biasa. Aku hanya mampir sebentar, ketemu Papa, trus ke Jakarta karena deadline.”
Aku mengangguk. Pahit kopi di lidahku mungkin enggak sama seperti pahit yang kurasakan di dalam hati.
Pergi dan datang begitu saja. Aku pernah menyebutnya begitu. Tidak pernah menetap di suatu tempat dalam jangka waktu lama. Alasan klasik atas nama pekerjaan selalu diungkapkanya, membuatku kesal dan mengutuk diri sendiri karena tahu aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk membuatnya bertahan.
Aku menatap kopi di hadapanku. Sebelum kopi ini dingin, aku yakin, dia akan pergi lagi.
“Rash, aku pergi dulu, ya. Si bos nunggu, ada editan yang bermasalah katanya.”
Aku tersenyum tipis tapi meringis dalam hati. Kopi di hadapanku masih mengepulkan asap, tapi dia sudah pergi.
Selalu seperti itu.
**

Penantian. Itu yang terjadi ketika kopi yang tadinya panas mulai kehilangan kehangatannya.
“Bagus, katamu kamu mau pulang minggu ini. Buktinya?” Telepon malang ini jadi pelampiasan amarahku.
Sementara seseorang yang mengusik emosiku hanya tertawa, di seberang sana.
“Minggu depan. Aku janji bakalan pulang minggu depan.”
Kali ini cangkir putih berisi kopi hitam yang sejak tadi kuanggurkan menjadi sasaran kekesalanku. Aku meneguk kopi itu, membuat mataku langsung menyala lebar begitu cairan pahit itu mengaliri kerongkonganku.
“Kamu tahu…” Aku berusaha berkata setelah menelan kopi itu. “Aku udah enggak percaya padamu lagi. Minggu depan katamu? Sampai kamu muncul di depan pintu rumahku, aku enggak akan pernah percaya.”
Sekali lagi, dia hanya tertawa.
“Rashi, aku kangen kamu.”
Meski aku masih ingin menyemburkan omelan, ucapan itu membuat hatiku berdebar. Tanpa bisa dicegah, sebaris senyum menghias bibirku.
Tanganku terulur meraih cangkir kopi yang hampir habis. Perlahan, aku meneguk kopi itu. Kali ini dia tidak datang. Aku tidak perlu menunggu kopi ini hingga dingin untuk melihat kepergiannya.
**

Kesabaran. Itu yang terjadi ketika secangkir kopi tidak lagi mengalirkan kehangatan.
“Sama kayak kopi. Kalau dibiarin gitu aja, enggak disentuh, lama-lama juga jadi dingin. Hati lo itu persis kopi yang dicuekin abis dipesan.” Val berkata tajam.
Aku hanya menyunggingkan senyum tipis, tapi dalam hati membenarkan ucapan Val.
“Kapan terakhir dia enggak terburu-buru? Kapan terakhir kali lo ngabisin waktu berdua sama dia tanpa terganggu panggilan bosnya atau jadwal penerbangan yang harus dia kejar? Gue yakin lo pasti udah lupa, saking lamanya.” Val masih terus mencecarku.
Hubunganku dengan dia memang tidak seperti hubungan pasangan kekasih lainnya. Tidak ada cerita bersama dalam waktu lama, aku yang sekadar bermanja di pelukannya, atau dia yang menemaniku saat merasakan sakit perut setiap bulan ketika haid. Tidak ada dia yang punya banyak waktu untuk mendengarkan aku menuturkan soal cerita yang tengah kutulis, atau menghiburku ketika otakku mampet dan enggak mampu menghasilkan kata-kata.
Tidak ada cerita manis.
Awalnya hubungan ini terasa menantang. Seperti kopi hangat yang disuguhkan di sore hari di tengah hujan lebat. Menantang untuk diteguk karena bisa mengalirkan kehangatan. Dia seperti itu, hadir ketika aku dilanda bosan dan diajak bertualang mengikuti pekerjaannya yang enggak kenal waktu. Naik turun gunung demi sebuah tayangan selama 30 menit di televisi, mengunjungi pantai demi pantai demi tayangan sebanyak satu episode, memasuki perkampungan yang tidak pernah kukenal demi sebuah video untuk stasiun televisi tempat dia bekerja.
Awalnya itu semua menyenangkan.
Namun, lama-lama jadi melelahkan.
Aku tidak bisa mengikutinya terus menerus. Hingga akhirnya aku menyerah dan memilih untuk menunggu dia datang. Namun menunggu juga menjadi sesuatu yang melelahkan.
Kopi di depanku sudah kehilangan asapnya. Sama seperti hatiku yang sudah kehilangan kepercayaan untuk melanjutkan hubungan dengan dia.
**

Kehilangan. Ketika akhirnya kopi sudah menjadi dingin dan aku harus merasa kehilangan.
“Bali Kintamani. Rasanya enggak sepahit Kopi Aceh. Tapi bikin segar banget.” Sebaris senyum menyudahi ucapannya.
Aku menatap cangkir putih berisi cairan hitam pekat di atas meja dengan tatapan kosong. Asap masih mengepul dari sana. Namun tidak ada lagi kehangatan di hatiku.
Kali ini, aku tidak perlu menunggu kopi itu hingga dingin sebelum melihat dia pergi, karena di tegukan pertama, aku sudah menatap punggungnya yang menjauh.
Begitu pintu menutup, aku membanting cangkir kopi itu ke lantai. Cairan itu menggenangi lantai putih di hadapanku. Aku jatuh berlutut, dengan bahu berguncang akibat isak tangisku yang tidak bisa dibendung.
Mataku meradang ketika melihat kopi yang tergenang di lantai. Detik ini kuputuskan untuk membenci kopi.
Aku membenci dia.
**

Merelakan. Secangkir kopi dingin menjadi saksi usahaku dalam merelakan kepergiannya.
Aku tidak lagi meminta dia untuk kembali. Aku tidak lagi bertanya dia di mana. Aku masih peduli, dalam hati aku masih mengingat dia, meski lidahku mengatakan sebaliknya. Namun, aku tidak pernah meminta dia kembali.
Dan dia tidak pernah kembali.
Aku meneguk kopi dingin yang sejak tadi menemaniku. Rasa pahit mengaliri kerongkonganku, bersatu dengan rasa pahit di hatiku.
Perlahan, jariku bergerak di atas keyboard. Menuliskan sebuah cerita.
Tahukah kamu arti sebuah rasa pahit? Bukan, pahit bukan ketika kamu meneguk secangkir kopi karena setelahnya, tubuhmu akan terasa hangat. Ini rasa pahit yang sebenarnya.
Aku akan menceritakan rasanya.
Pertama-tama, siapkan secangkir kopi di dekatmu. Sebelum kopi itu dingin, aku akan menceritakannya.

Semua berawal dari seorang perempuan dan laki-laki yang saling jatuh cinta.
SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

3 comments

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig