The Voice Who Bring Happiness
Ifnur Hikmah
(NB: This is my first fanfiction. The casts are JB 'GOT7' and Seulgi 'Red Velvet')
“Aku duluan…,” Selintas lalu aku melambai ke arah Juhyun
yang masih sibuk membereskan peralatan sekolahnya, lalu berlari keluar kelas,
tak lama setelah bel pulang berbunyi.
“Ya, Seulgi-ah.
Kamu mau ke mana?” teriak Juhyun.
Aku sudah sampai di pintu ketika teriakan itu terdengar.
Kubalikkan tubuh menghadap Juhyun yang berdiri di mejanya. “Noraebang,” jawabku, ikut berteriak.
Tanpa menunggu Juhyun berkomentar, aku sudah berlari kencang
di sepanjang koridor.
***
Sudah dua bulan aku bekerja paruh waktu di tempat karaoke
ini. Ini bukan tempat karaoke favorit yang suka disinggahi anak-anak sekolah
seusiaku ketika mereka punya waktu luang. Juga bukan tempat karaoke keren yang
sering disinggahi orang-orang terkenal atau para trainee yang membutuhkan waktu latihan tambahan. Ini hanya tempat
karaoke kecil—saking kecilnya, hanya ada tujuh ruangan di sini—dengan kondisi
yang sangat jauh dari kata mewah. Tempatnya pun ada di dalam gang yang tidak
terlalu ramai.
Jika boleh memilih, aku tidak akan mau bekerja paruh waktu
di sini. Waktuku tersita banyak, dan uang yang kuterima tidak seberapa. Tapi
pemilik tempat karaoke ini, pamanku sendiri, membutuhkan bantuan dan dia tidak
sanggup membayar karyawan sungguhan. Sementara itu, aku butuh uang tambahan
untuk membayar les dance yang kuikuti
karena orangtuaku juga tidak terlalu punya banyak uang. Karena pamanku butuh
karyawan yang bisa digaji rendah, dan aku butuh pekerjaan—percayalah, mencari
pekerjaan paruh waktu untuk murid SMA sepertiku sangatlah sulit—makanya aku
menerima pekerjaan ini.
Namun ada yang berubah sejak dua minggu lalu. Aku tidak
menyangka kalau tempat karaoke yang semula terlihat seperti rumah hantu karena
kesannya yang suram dan sepi, akan berubah 180 derajat hanya karena sebuah suara.
Aku menyebutnya suara yang bisa mendatangkan kebahagiaan.
***
Pukul empat sore. Sebentar lagi dia pasti datang. Seperti
hari-hari sebelumnya, selama dua minggu terakhir, dia selalu datang di jam yang
sama. Setiap kali dia datang, dia akan menyapaku, membungkukkan badan, lalu
dengan sopan menanyakan apakah ada ruangan yang kosong. Tentu saja ada. Di jam
seperti ini, di tempat ini, tidak banyak orang yang datang untuk karaoke.
Pertama kali melihatnya, kupikir dia hanya cowok iseng yang
punya banyak waktu luang dan suka main. Menurutku, dia lebih cocok bermain di
sepanjang sungai Han atau di arcade,
daripada mengunjungi tempat karaoke lusuh seperti ini. Aku pun tidak terlalu
menggubrisnya. Setelah mengantarnya ke ruangan pertama, aku kembali ke tempatku
dan sibuk memainkan handphone.
Lagipula, mana ada cowok yang pergi ke tempat karaoke
seorang diri?
Lima menit setelahnya, aku pun melupakan handphone karena samar-samar
mendengarnya bernyanyi. Aku tidak menyangka suara seperti itu keluar dari
sosoknya yang—jujur saja—terlihat menyeramkan jika dia tidak tersenyum.
Wajahnya terlihat dingin, dengan rahang tegas dan tulang pipi tinggi. Dia juga
tidak banyak bicara. Tapi ketika bernyanyi, aku seperti terhipnotis.
“Anyeonghaseyo…”
Aku terlompat berdiri dari tempatku. Refleks sebaris senyum
tersungging di bibirku begitu sosok itu muncul dari balik pintu. Tampilannya
masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Sweter agak besar berwarna gelap,
celana pendek selutut dan running shoes.
Serta snapback yang dipasang terbalik.
“Ada ruangan yang kosong?” Pertanyaan yang sama yang selalu
ditanyakannya setiap hari.
Aku mengangguk penuh antusias. “Ruangan yang sama seperti
kemarin?”
Dia tersenyum, membuat matanya yang sudah sipit tertarik
hingga membentuk garis lurus. Eye smile.
Aku suka itu.
“Kamsahamnida.”
Sebagai karyawan yang baik, aku mengantarnya ke ruang satu
yang terletak paling depan, tidak jauh dari meja tempatku bekerja—maksudku
bekerja adalah menunggu pengunjung. Karena itu, aku bisa mendengarkannya
bernyanyi dengan jelas. Jujur saja, aku penasaran dengan pilihan lagu yang akan
dinyanyikannya hari ini.
Setelah memastikan mikrofon dalam keadaan menyala dan
komputer bisa digunakan, aku bersiap untuk meninggalkannya. Di pintu, aku
berhenti sebentar, berbalik menatapnya. Dia sudah sibuk memilih-milih lagu,
sama sekali tidak menggubrisku.
“Ada lagi yang kamu butuhkan?” Aku mencoba mengulur waktu, agar
bisa sedikit lebih lama menatap wajahnya.
Dia mengangkat wajah dari buku lagu, tersenyum tipis dan
menggeleng. “Kamsahamnida.”
Ah, sangat sopan. Aku suka cowok yang sopan.
Dengan wajah memerah, aku menutup pintu. Tidak sepenuhnya.
Sengaja aku meninggalkan sedikit celah sehingga aku bisa mendengarnya dengan
jelas.
Lagu pertama. That
Woman.
***
Kakiku terhenti di depan pintu ruang nomor satu. Seharusnya
aku kembali ke mejaku, menunggu pengunjung yang aku yakin tidak akan ada yang
datang. Namun langkahku malah terpaku di sini. Dari celah pintu yang sengaja
kubiarkan terbuka, aku mengintip ke dalam ruangan. Dia tidak lagi mengenakan snapback, sehingga rambut hitam lurusnya
terlihat dengan jelas. Dia tengah berkonsentrasi menyanyikan sebuah lagu—dan
ekspresinya berhasil membuatku terpaku.
Dia seperti… entahlah. Aku tidak tahu kata yang tepat.
Terluka?
Ya, sepertinya begitu. Dia terlihat seperti seseorang yang
tengah menanggung kesedihan. Hal itu terlihat jelas di wajahnya. Terlebih
ketika dia menutup mata, aku yakin, jika mata itu terpejam lebih lama, sebaris
air mata akan mengaliri pipinya. Begitu juga ketika dia menghela napas panjang
begitu lagu itu selesai dan layar komputer menunjukkan nilai sempurna. Dia sama
sekali tidak terlihat senang, malah ekspresi itu terlihat semakin sedih.
Apa yang terjadi padanya?
Larut dalam pemikiranku sendiri, aku tidak menyadari pintu
di hadapanku terbuka. Hampir saja sosoknya menabrak tubuhku yang terpaku di
depan pintu. Kejadian itu refleks membuatku tersadar dan terhuyung ke belakang.
Sku membungkukkan badan, mengucapkan maaf berkali-kali, sebelum akhirnya
kembali ke mejaku.
Jangan sampai dia berpikir macam-macam tentangku. Misalnya,
penguntit? Tukang intip? Tidak, aku tidak ingin dilabeli negatif seperti itu.
Lama aku tertunduk di meja, merutuki kebodohanku sendiri.
“Hai,”
Sebuah suara mengagetkanku. Jarang-jarang ada yang menyapa, karena
pengunjung yang tidak seberapa. Aku mengangkat wajah dan langsung berhadapan
dengan sosok yang membuat lidahku kelu seketika.
“Aku lihat kamu selalu sendirian di sini.”
Aku tidak menjawab. Hanya menelan ludah sambil berusaha
untuk tersenyum—dan sama sekali tidak berhasil karena aku malah meringis.
“Kenapa kamu tidak karaoke bersamaku di dalam?”
Ajakan itu berhasil membuat bola mataku membola. “Jinjja?”
Dia mengangguk, dengan wajah serius. Ekspresi sedih yang
tadi kulihat sama sekali sudah hilang.
“Ayo. Aku masih punya waktu setengah jam lagi, kan?”
Otakku berusaha untuk berpikir, tapi hatiku sudah membuat
keputusan. Ayo sana, ikuti ajakannya.
Kapan lagi kamu bisa melihatnya lama dan jelas, bukan lewat celah pintu? Jangan
bodoh, Kang Seulgi.
Akhirnya, aku mengangguk dan mengikutinya ke dalam ruang
nomor satu.
***
“Suaramu bagus. Tahu begitu, sejak awal aku sudah
mengajakmu.”
Aku meringis kecil sambil menunduk dan memainkan ujung
rambutku. “Tidak sebagus suaramu pastinya.”
Dia tertawa. Tawa yang renyah.
“Terima kasih sudah menemaniku hari ini.”
Aku mengangguk.
“Sampai jumpa lagi.”
Dia memukul pundakku pelan sebelum akhirnya keluar dari
tempat karaoke ini.
Begitu sosoknya menghilang dari pandanganku, aku tersadar
satu hal. Kenapa aku begitu bodoh sampai-sampai tidak menanyakan namanya?
Kang
Seulgi, pabo.
***
Ada yang berbeda sore ini. Tempat karaoke ini ramai.
Maksudku, empat dari tujuh ruangan terisi. Malah, satu ruangan diisi oleh empat
orang nenek-nenek yang sepertinya tengah bernostalgia, kalau dilihat dari
pilihan lagu mereka yang dirilis empat puluh tahun lalu. Mereka membuatku sibuk
dengan pesanan minuman atau makanan atau meladeni pertanyaan mereka yang suka
kebingungan menggunakan komputer. Atau meminta bantuanku memilihkan lagu karena
angka-angka kecil di buku lagu tidak terlalu jelas di penglihatan mereka.
Belum pernah aku sesibuk ini.
Saking sibuknya, aku sampai menolak ajakannya untuk karaoke
bersama sore ini. Tentu saja, hal itu membuatku kecewa. Nenek-nenek ini masih
terus memanggilku, sehingga aku bahkan tidak sempat mengintipnya dari celah
pintu.
“Kamu sudah mau pulang?” aku baru saja mendudukkan tubuhku
ketika sosoknya muncul di hadapanku. Sore ini dia tetap memakai sweter
kebesaran—bedanya sekarang berwarna putih—celana pendek putih, running shoes. Dan tanpa snapback. Sehingga rambutnya terlihat
jelas. Dengan poni menutup seluruh keningnya, dia terlihat lucu.
“Aku harus pulang cepat hari ini, jadi tidak bisa lama-lama
di sini.”
Aku mengangguk, dalam hati merasa kecewa mengapa hari ini
sangat tidak bersahabat denganku?
“Sampai ketemu lagi, ya.” Dia melambai sebelum keluar dari
pintu.
Melihatnya pergi, aku teringat kebodohanku kemarin. Dan, aku
tidak ingin mengulanginya.
“Tunggu,” seruku, tepat sebelum dia menutup pintu.
Dia menatapku dengan wajah penasaran. “Ada apa?”
“Kalau boleh tahu…”
“Seulgi!” Sebuah seruan menelan ucapanku. Seruan itu berasal
dari belakang tubuhnya. Pamanku.
Pamanku menerobos masuk, menggeser tubuhnya hingga tidak
menghalangi pintu. Tanpa mendengar kelanjutan pertanyaanku, dia pun
berlalu—setelah sebelumnya sempat tersenyum padaku.
Ugh, kenapa paman harus datang sekarang? Ini, kan,
satu-satunya kesempatanku.
“Kamu bereskan ruang satu, ya. Sebentar lagi teman-teman
Paman datang, dan kami mau memakai ruangan itu.”
Dengan malas-malasan, aku mengikuti perintah Paman.
Bagaimanapun, aku masih kesal padanya.
Ruangan satu tidak terlalu berantakan. Dia menggunakan
ruangan itu sendiri, tentu saja ruangan itu tidak jadi kacau. Aku cukup
mengganti pembungkus mikrofon, itu saja. Namun, sebuah buku yang tergeletak di
atas meja menarik perhatianku.
Aku mengambil buku itu. Buku musik. Sepertinya ini milik
dia. Melihat buku ini, juga kerajinannya datang ke tempat ini utnuk bernyanyi,
aku jadi berpikir kalau dia sebenarnya pengin jadi musisi.
Dengan jantung berdebar hebat, aku membuka buku itu. Di
halaman pertama, terdapat jawaban atas pertanyaan yang tadi tidak sempat
kuselesaikan.
Im Jaebum.
Namanya Im Jaebum.
Im Jaebum. Berkali-kali aku mengulang nama itu. Nama yang
bagus. Mirip nama penyanyi terkenal yang juga kusukai. Dan dia pun menyanyi
sama bagusnya dengan Im jaebum si penyanyi terkenal.
Aku membuka halaman berikutnya. Halaman itu berisi coretan
lagu yang belum selesai. Begitu juga halaman setelahnya. Sepertinya, dia
mengalami kesulitan ketika membuat lagu. Di halaman terakhir, mataku menyapu
sebaris lirik lagu yang membuatku terpaku.
I
remember when I was a kid
I
just want to sing and dance
I
remember when I was a kid
I
want to stand at the biggest stage in Seoul
But
why, when I look at my reflection in a mirror
All
I see is just a loser
Lirik yang begitu sedih.
Entah setan apa yang merasuki, aku membawa buku itu ke meja
kerjaku. Aku membongkar isi tas, mencari bolpoin atau apa saja yang bisa
kugunakan untuk menulis. Ketika menemukannya, aku mencoret bagian terakhir
lirik itu.
Dan menuliskan sesuatu di sana.
***
“Jangan
menyerah. Sekarang aku hanya melihatmu dari celah pintu yang sengaja kubiarkan
terbuka setiap kali kamu datang ke sini. Namun aku yakin, suatu hari nanti, aku
akan melihatmu menyanyi di atas panggung terbesar di Seoul. Bahkan di dunia.
Percayalah
padaku, Im jaebum-ssi. Karena kamu memiliki suara yang bisa membuat orang lain
(setidaknya aku) bahagia.
Dari
fans nomor satumu, Kang Seulgi.”
***
“Pokoknya, pastikan Paman memberikan buku itu jika dia
datang. Paman masih ingat ciri-cirinya, kan? Dia pasti datang setiap jam empat,
atau mungkin lebih sedikit. Dia terlihat dingin, tapi sebenarnya dia tidak
seperti itu. Oh ya, dia suka memakai sweter kebesaran dan celana pendek
selutut. Juga snapback, atau mungkin
juga dia tidak memakai snapback hari
ini karena kemarin dia tidak memakainya. Pokoknya, paman pasti langsung tahu
siapa dia begitu dia muncul. Satu lagi, ajak dia ke ruang nomor satu, dia
selalu memakai ruangan itu.” Aku berbicara panjang lebar di telepon dalam satu
kali tarikan napas.
“Ini sudah kesepuluh kalinya kamu mengingatkan paman.”
Aku tahu pamanku berlebihan—atau malah aku yang berlebihan?
Aku menggeleng. “Pokoknya, pastikan paman memberikan buku
itu padanya.”
“Iya, kamu tenang saja. Sudah ya, ada yang datang.”
Aku menutup telepon. Meski sudah berkali-kali mengingatkan
paman, tetap saja aku khawatir. Bagaimana jika paman lupa, lalu tidak
memberikan buku itu padanya? Atau malah memberikannya ke orang yang salah?
Seharusnya aku ke tempat karaoke itu sekarang. Tapi, ada
tugas sekolah yang harus kukerjakan sehingga aku pun terpaksa menghabiskan sore
ini di perpustakaan bersama Juhyun.
Selama dua jam ini, aku tidak bisa berkonsentrasi. Setengah
pikiranku ada di tempat paman. Ingin rasanya menelepon paman, tapi Juhyun
terlanjur menyimpan ponselku yang dianggapnya sebagai alasan mengapa aku tidak
bsia berkonsentrasi.
“Kita lanjutin besok aja,” putus Juhyun ketus.
“Mianhae,”
seruku pelan. Ini salahku. Sudah berkali-kali dia mengingatkanku untuk
berkonsentrasi, tapi aku tidak pernah bisa mengikuti permintaannya.
“Kamu pulang duluan aja. Aku masih harus mencari buku lagi.”
“Tapi…”
“Seulgi-ya…” Juhyun memegang kedua pundakku dan memutar
tubuhku hingga menghadapnya. “Dari tadi kamu sudah terlihat tidak betah di
sini. Jadi, aku tidak mau memaksamu tinggal lebih lama.”
“Mianhae,
Juhyun-ah…”
Juhyun hanya melambaikan tangan di depan wajahku dan berlalu
menuju rak bbuku, mencari buku entah apa.
Buru-buru aku membereskan peralatan sekolahku dan berlari
keluar dari perpustakaan. Aku harus sesegera mungkin sampai di tempat paman,
memastikan paman menyampaikan pesanku ke orang yang benar.
“Kang Seulgi.”
Hampir saja aku terjatuh karena berhenti mendadak ketika
seseorang memanggil namaku, tepat ketika aku keluar dari gerbang sekolah. Aku
berbalik dan… ya Tuhan… apa penglihatanku bisa dipercaya?
Tidak mungkin dia ada di sini.
“Kamu? Kenapa kamu ada di sini?”
Dia—maksudku Jaebum—mengangkat sebelah tangannya. Di sana,
ada buku musik miliknya yang kemarin tertinggal di tempat karaoke. Aku menghela
napas lega begitu tahu paman benar-benar mengembalikannya ke orang yang tepat.
“Pamanmu bilang kamu sekolah di sini.”
“Oh…” Aku kehabisan kata-kata. Kenapa di saat seperti ini,
aku malah bertingkah seperti ini? Ayo,
pikirkan satu kata saja, Kang Seulgi. Ajak dia bicara.
“Ngomong-ngomong, terima kasih buat dukungannya. Itu sangat berarti
untukku,” ucapnya sambil menunjuk buku musiknya.
Tentu saja aku memahami maksudnya. Ucapannya itu membuatku
refleks menunduk karena malu. Aku hanya bisa memainkan kepangan rambut karena
tidak tahu harus bagaimana menanggapi ucapannya. Sejujurnya, aku tidak terlalu
yakin tulisanku akan memberikan efek apa-apa, mengingat kami yang tidak bisa
dibilang saling mengenal. Aku tidak menyangka dia akan menganggap serius
tulisan dari orang asing sepertiku.
“Kamu sudah makan?”
Pertanyaan itu membuat tanganku berhenti memainkan kepangan
rambut. Aku mengangkat wajah, menatapnya dengan ekspresi melongo. Apa itu
artinya dia mengajakku makan?
Tidak,
jangan berpikiran terlalu jauh, Kang Seulgi.
“Aku mau mengajakmu makan. Anggap saja itu ucapan terima kasih
dariku. Kamu mau?”
Sebuah pertanyaan yang sama sekali tidak kuduga tapi mampu
membuat jantungku berdebar hebat. Perlahan-lahan, bibirku terangkat membentuk
sebuah senyuman. Hanya orang bodoh yang akan menolak ajakan ini.
Dan aku, Kang Seulgi, tentu saja bukan orang bodoh itu.
Lalu, aku pun mengangguk.