#3 Sejoli by Wangi Mutiara Susilo

2 comments
Sejoli
Wangi Mutiara Susilo



Rayya dan Kenya bersahabat tapi diam-diam saling memendam cinta. Masalahnya, Kenya adalah si anti komitmen yang meski cinta setengah mati sama Rayya tetap aja enggak mau meningkatkan hubungan mereka dari sahabat jadi pacar. ketika Rayya bertanya ‘What are we, Kenya?’ eh ini cowok malah kabur dan ngenalin Rayya ke gebetan barunya.
Intinya, novel ini masih mengangkat tema klasik: are-we-dating-or-just-a-friend?
Jadi ingat lagunya JunggiGo X SoYou yang Some. Iya, ini lagu jadi soundtrack ketika lagi baca novel ini.
First of all, congratulations Unge for your debut. Yeaiii akhirnya Unge debut juga sebagai novelis solo *tebar confetti*. This is one of expecting novel buat gue karena udah sejak kapan tau itu kenal Unge dan kenal tulisan-tulisannya dan suka tapi belum debut-debut juga.
Finally.
Sekarang mari kita bedah novelnya Unge. No offense ya, Nge, he-he.
I love this. Metropop banget alias mencerminkan hal yang yah biasalah kejadian di usia *uhuk* kita sekarang (kita di sini merujuk ke generasi seangkatan sama gue dan penulis hihi). Ceritanya yang related ke kehidupan sehari-hari jadi nilai plus novel ini. meski premisnya klasik banget, which is udah sering diangkat dan enggak ada hal baru diangkat di sini.
Kekuatan Unge terletak di pemilihan kata-katanya, terutama di dialog. Meski minim deskripsi *gue rasa bakal lebih oke jika deskripsi ditambah* dialog-dialognya keren. Quoteable banget. Di tiap halaman pasti ada kalimat yang hakjleb di hati dan pengin langsung di-post di sosmed, he-he.
Enggak bermaksud ngebandingin, tapi maaf sebesar-besarnya, gue enggak bisa mengusir Antologi Rasa dari otak gue sepanjang baca novel ini. There are a lot of Antologi Rasa moment. Rayya yang Keara banget. Kenya yang Harris. George as Dinda. Dan penggalan adegan ketika Kenya merasa hubungannya saat itu sudah dirasa cukup ngingetin gue ke this-is-enough-nya Harris.
Gangguan utama gue ketika baca novel ini adalah setting tempat dan waktu yang enggak jelas. Waktunya berasa loncat-loncat. Di awal pacingnya lama dan santai, eh setengah ke akhir cepet banget kayak dikejar setan. Coba ada tambahan adegan sehingga perpindahannya enggak secepat ini. Tapi ini bagus buat yang suka baca cerita to the point dan enggak menye-menye karena dijamin pasti bakal enjoy baca meski pacing enggak sama dari awal sampai akhir.
Ngomong-ngomong soal setting tempat, ini pendapat gue. Rayya ini tinggal di mana, toh? Dilihat dari dia belanja bulanan di Karawaci, oh mungkin aja dia tinggal di Karawaci. Di apartemen di Karawaci. Tapi kerjanya di Sudirman? Bukannya orang milih tinggal di apartemen biar dekat dengan tempat kerja ya? Atau bisa aja dia tinggal di Sudirman trus belanja bulanannya di Karawaci? Hmm…
Dan banyaknya nyebutin nama tempat makan dan tempat2 hits lain yang menurut selera gue pribadi agak show off. Semacam name dropping buat memperkuat lifestyle si tokoh yang tinggi. Tapi esensi ke cerita enggak ada.
Oh ya, nama Kenya juga ganggu. Awalnya gue bingung Kenya ini cewek apa cowok? Haha.
Intinya, menurut gue novel ini Unge banget. Tepatnya, Rayya itu Unge banget. mungkin karena gue kenal Unge secara personal kali ya jadi nangkep kalo Rayya itu Unge, hehe.

Sebagai novel debut, novel ini cukup oke karena benar-benar Unge. Ditunggu novel selanjutnya yang lebih witty dari ini ya, Kak Unge.
SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

2 comments

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig