Andai Kau Tahu
Dahlian
Tania, si manja yang merasa hanya mencintai pacarnya si musisi
kere Hendrik, kabur dari rumah karena ingin dijodohkan oleh ayahnya dengan anak
sahabat sang ayah. Tania yang membenci dokter karena papanya yang dokter
terlalu sibuk dan enggak pernah ada waktu untuknya, bahkan ketika ibunya
meninggal, membuat Tania menolak perjodohan itu. Apalagi karena jodohnya adalah
dokter. Dan, alasan sang ayah adalah agar ada nanti yang mengelola rumah sakit
peninggalan kakeknya.
Awalnya Tania tinggal bareng pacarnya Hendrik. Tapi ketika tahu
Hendrik selingkuh dan Tania sudah kehabisan uang karena semua kartu kredit dan
ATM diblokir ayahnya, Tania memutuskan untuk menjual kalung peninggalan ibunya.
Saat itu dia enggak sengaja bertemu Reza yang beberapa malam sebelumnya
menabraknya. Tania minta ganti rugi memperbaiki mobilnya dengan meminta tempat
tinggal. Akhirnya Reza mengajak Tania ke apartemennya.
Tindakan Reza bukan karena dia bisa dibodoh-bodohi oleh ancaman
Tania karena kecelakaan itu, tapi karena dia tahu siapa Tania, cewek yang
dijodohkan dengannya oleh ornagtuanya. Dan, atas izin ayah Tania, Reza pun
menjaga Tania.
And the rest of history.
Memang, sih, Neruda udah berbusa-busa bilang there is nothing new under the sun. Formula kayak gini memang udah
familiar banget. Cewek dijodohin-menolak mentah-mentah-lalu malah jatuh cinta
enggak sengaja. But in this book I can’t
find something new. Anything. Benar-benar ketebak dari awal akan berakhir
bagaimana.
Minimal sampai dua tahun lalu, gue akan klepek-klepek dengan
cowok-cowok ciptaan Dahlian. Let’s say
Daniel, Roy, dan yah gue lupa yang di The Pilot’s Woman sama Promises,
Promises. But not now. Yang ada gue geuleuh
dengan romantisme berlebihan yang diberikan Reza. Harusnya gue sudah antisipasi
hal ini, secara gue baca hampir semua buku Dahlian dan udah hafal formulanya. Tapi,
seiring pertambahan usia, gue udah eneg sama romantisme berlebihan yang sama
sekali enggak real. Bolehlah dulu gue
mupeng begitu baca Baby Proposal di
mana Daniel merayakan ulang tahun Karina dengan mengajaknya naik helicopter ke
Bandung lalu candle light dinner di
atas atap gedung hotel kepunyaan Daniel. Ketika baca sekarang, gue yakin cuma
akan berkomentar satu kata. Meh.
Okay, back to this book. Seharusnya gue sudah
mengantisipasi kehadiran romantisme berlebihan itu, tapi pas baca tetap saja
gue enggak bisa menahan diri buat enggak rolling
eyes. And, again, birthday. In the
middle of the night. In the middle of candles. With pick up line who oh so…..
entahlah, terlalu manis, enggak terasa real.
Mungkin karena akhir-akhir ini gue banyak baca cerita romance yang walaupun judulnya romance
tapi enggak mengumbar romantisme berlebihan yang enggak real. I need something real. Yang buat gue related dengan isi cerita.
Enough about that. Character. Oke, harus diakui kalau di sini
Dahlian jago banget penggambaran karakternya. Memang, sih, Reza oh-so-perfect-and-please-God-he’s-too-good-to-be-true
yang udah kaya, tajir, tinggi plus
badan bagus, dokter lagi. Tapi OCD yang dimilikinya bikin Reza somehow masih kayak manusia, bukan dewa
yang turun ke bumi. Gue suka dengan sikap nyebelin Reza. Dan, ya, dia dokter. Dan,
ya, jangan salahin gue kalau ngebandingin dia dengan dokter-ganteng-berlidah-tajam-tapi-sebenarnya-oh-so-sweet
lainnya aka Beno Wicaksono. Ya, lumayan sebandinglah.
And what about the heroine? Tania bukan karakter yang bisa
bikin gue simpati. Manja, suka tantrum, gaje, snobbish, impulsif, dan bodoh. Literally
bodoh. Cantik, sih, tapi apa kelebihan dia yang lain, yang bisa bikin dokter
keren semacam Reza bisa jatuh cinta itu gue enggak dapet. Gue berharap ada
perkembangan karakter Tania di belakang, tapi enggak ada. Gue berharap Reza
seenggaknya bikin Tania bisa bertanggungjawab atau mendukung Tania mencari jati
dirinya or at least kuliahlah di
jurusan yang dia mau. Reza bilang kalau Hendrik cuma nafsu sama Tania, lalu dia
apa? Karena yang gue tangkap, Reza cuma tertarik karena fisik Tania. Terlalu dangkal
untuk dokter sekeren Reza.
Tapi, terlepas dari semua itu, gaya menulis Dahlian yang mengalir
enak dibaca jadi daya tarik buku ini kenapa gue bisa membaca sampai akhir,
mengingat gue udah hilang simpati sama Tania. Gue suka cara Dahlian membangun chemistry dengan dialog-dialog lucunya. Cuma…
beberapa narasi yang bikin gue terganggu, seperti penempatan bibir indah di
mana-mana, pundak indah, and so on and so
on. Bahkan gue enggak bisa menahan diri buat enggak rolling eyes ketika baca ini.
Di bawah penerangan lampu jalan,
Reza mengobservasi gadis di hadapannya dengan cepat. Tak ada luka ataupun memar
di wajah cantiknya. Reza menurunkan
pandangan ke leher indah gadis itu
yang diganungi berlian—juga tampak baik-baik saja. pundak mulus yang terbuka, dan lengan
langsingnya yang bebas memar dan luka. Reza menurunkan pandangan lebih
jauh, ke kaki jenjang yang
terbungkus heels—kening Reza berkerut—yang amat tinggi. Seperti bagian tubuh
yang lain, kaki indah itu juga
tampak baik-baik saja.
Masalahnya itu kejadiannya tengah malam, ketika abis kecelakaan,
dan Reza buru-buru harus ke rumah sakit karena ada pasien yang harus ditangani.
Tapi, sempat-sempatnya meneliti sedetail itu? Oh my…
Dan, penjelasan tindakan medis yang bikin gue serasa baca text book.
Oh, plusnya adalah di sini pekerjaan Reza sebagai dokter bukan
hanya sekadar tempelan. Me likey.
Gue tahu kualitas seorang Dahlian, jadi rasanya sayang aja jika
Dahlian terus-terusan menulis cerita dengan formula seperti ini. Come on, Dahlian, make something different.
0 Comments:
Post a Comment