Side Effect
(sumber gambar: weheartit.com)
“Kenapa
lagi?”
Lana
menyodorkan sekotak tisu ke hadapanku. Sambil menahan sesenggukan yang
membuatku susah bicara, aku menyambar tisu itu. Lalu mendekatkannya ke pipi dan
menghapus air mata yang mengalir di sana.
“Gus…”
Sebelum sempat
melanjutkan ceritaku, Lana membuatku terdiam hanya dengan satu kali rolling eyes. Dia tidak usah bicara, aku
sudah tahu kalau dia keberatan mendengar ceritaku.
“Lo enggak
mau dengerin cerita gue, ya?” Rasanya sakit saat mengetahui sahabatmu
satu-satunya, orang yang dulu pernah mendeklarasikan sumpah bahwa dia akan
selalu ada untukmu, for better or worse,
rela menampung semua curhatanmu, tapi pada akhirnya terang-terangan menunjukkan
keengganannya mendengar ceritamu. Lagi. Lana melakukannya lagi, tepat di
hadapanku.
Aku kembali
menangis. For Old God and New God,
aku masih sedih karena semalam mengetahui Augustus Waters yang sangat charming dan punya seribu satu cara yang
unpredictable untuk menghibur Hazel
Grace, akhirnya terpaksa mengalah dari osteosarcoma
yang sudah lebih dulu mengambil sebelah kakinya. Memang bukan aku yang
ditinggalkan, dan aku pun baru mengenalnya tiga hari ini, tapi aku sudah
seperti mengenal Augustus seumur hidupku. Dan aku hanya bisa menangis
sesenggukan mengetahui bahwa dia akhirnya menyerah.
Tapi Lana
malah menunjukkan wajah bosan ketika aku ingin berbagi.
Kemarin-kemarin,
dia hanya menunjukkan wajah setengah bosan ketika aku mencerocos panjang lebar
tentang betapa manis dan charming-nya
Gus.
“Gue pikir
ada something important terjadi sama
lo.”
“Ini
penting, Na…”
“Enggak
penting…..” Lana menjerit tepat di kupingku, membuatku refleks menjauhkan
tubuhku darinya. “Wake up, Tiasssss…. Mau
sampai kapan, sih, lo hidup di imajinasi lo terus? Lo enggak capek apa tiap
hari merasa senang atau sedih cuma gara-gara tokoh fiktif? Hah? Hah? Hah?” Dan
sebagai penutup, Lana menoyor kepalaku.
Aku memberengut.
Masalahnya, Lana tidak mengerti bahwa di hidupku, mereka yang dianggap Lana
fiktif dan tidak penting itu nyatanya sangatlah penting.
For me, it just side effect of
reading.
Bukan salahku
jika aku terlalu larut dalam sebuah bacaan sampai-sampai menganggap mereka itu
nyata dan benar-benar ada. Dan aku merasa berkewajiban untuk ikut bahagia atau
sedih untuk mereka.
Dan aku
merasa sah-sah aja kenapa sekarang aku menangisi Gus. Dia sangat baik, manis,
perhatian. Dan demi Eru Iluvatar, he just
seventeen years old. Kenapa dia harus meninggal di usia semuda itu?
Tapi Lana
tidak mengerti. Tidak ada yang bisa mengerti.
“For twenty something girl like
you, you have to have a real life.”
Real life? Bagiku, hidupku ini sah-sah aja.
Aku hanya tidak menemukan orang lain yang punya pemikiran sama denganku.
Oh, mungkin
belum.
**
Terakhir kali
aku pacaran itu tahun lalu. Namanya Tito. Hubungan kami awalnya berjalan
lancar, tapi hanya bertahan enam bulan. Kami putus karena ketidaksamaan
pandangan.
Tepatnya,
aku diputuskan.
Alasannya?
Tito menganggapku gila.
Masalahnya,
waktu itu aku menelepon Tito tengah malam hanya untuk mencari teman bicara yang
mampu meredakan kesedihanku setelah episode Red
Wedding di Game of Throne season tiga yang sangat menyesakkan itu.
Aku hanya butuh teman untuk mendengarkan kesedihanku akibat kematian Robb
Stark. Aku hanya butuh orang yang setuju bahwa Robb tidak seharusnya meninggal
dengan cara mengenaskan seperti itu. Aku hanya butuh orang untuk berdiskusi
tolol tentang bagaimana kemungkinan reuni keluarga Stark nanti.
Namun yang
kudengar hanyalah dengkuran Tito setelah aku berbusa-busa bercerita.
Besoknya,
aku menemui Tito dengan mata bengkak.
Jangankan
mendapat penghiburan, Tito malah memutuskanku.
“Aku enggak
tahan sama kamu. I mean, you’re living in
fantasy world and I’m living in a real world. For God sake, I don’t know who is
Robb Stark, Lord Bolton, Hobbit, Sherlock, Etienne St. Clair and whoever they
are. Demi Tuhan, Tias, aku enggak bisa punya pacar yang enggak siang enggak
malam selalu bercerita tentang tokoh fiktif seolah-olah mereka itu nyata. Aku enggak
bisa punya pacar yang childish
seperti kamu, enggak bisa berpikir rasional. Aku mau kita putus.”
Rasa-rasanya,
pagi itu Lord Bolton ikut menikamkan pisau ke dadaku diiringi lagu Rain of Castamere.
Begitulah,
tanpa mendengarkan penjelasanku, Tito pergi. Begitu saja. seperti mantan-mantan
pacarku yang lain. Yang juga meninggalkanku dengan alasan yang sama.
**
Aku benci
Kugy. For Lord of Light, bagaimana
bisa dia menemukan Keenan, cowok sempurna yang bisa menerima semua kegilaannya?
Nyatanya, dalam kehidupan nyata Keenan itu tidak akan pernah ada. Never.
Yang ada
hanya cowok seperti Ojos. Seperti Tito. Seperti mantan pacarku lainnya.
Aku mengomel
panjang lebar meski aku membaca buku itu bertahun-tahun lalu. Patah hati karena
Tito kembali memunculkan rasa iri itu.
I hate Kugy. I really really
really hate her.
“Gue cuma
mau cowok kayak Keenan, Na. Atau setengahnya aja boleh, deh. Gue cuma mau cowok
yang enggak menganggap gue gila karena side
effect of reading ini.”
Lana menatapku
dengan wajah serius. Bukan sekali ini aku mengungkapkan keinginanku itu. Nyatanya,
sampai sekarang aku selalu bertemu cowok tipikal seperti Ojos atau Tito. Tidak ada
yang seperti Keenan.
“Gue enggak
muluk-muluk, kok. Gue cuma mau cowok kayak Keenan yang enggak menganggap Kugy
aneh, atau cowok kayak Etienne St. Clair yang mau nemenin gue baca seperti dia
nemenin Anna nonton padahal selama dua jam dia dicuekin sama Anna karena Anna fokus
nonton untuk membuat reviewnya nanti. Atau Cricket Bell yang enggak pernah
menganggap Lola aneh meski gaya fashion
dia sangat absurd dan dia enggak bisa keluar rumah tanpa wig. Atau kayak Gus,
yang mau dengerin Hazel cerita di telepon tentang buku AIA favoritnya, juga obsesi dia sama Peter van Hoten. Gue cuma mau
cowok yang nerima gue apa adanya gue meski mungkin gue emang gila.” Aku menghela
napas panjang setelah mengeluarkan semua uneg-unegku. Aku enggak berharap yang
terlalu muluk, kan? Intinya, aku hanya mau pendampingku nanti menerima yang
seperti ini.
“Mungkin lo
harus introspeksi diri.”
Aku mengernyitkan
dahi.
“Maksud gue,
coba deh, lo sedikit aja mengurangi kebiasaan lo itu. Jujur nih ya, gue rasa lo
udah kelewatan. Tito’s right. We live in
a real world, Tias.”
Dan Lana pun
mulai menganggapku gila.
“Coba, deh,
dikurangi.”
**
Aku mengikuti
saran Lana.
Malam ini,
aku ada janji makan malam dengan Robyn. Aku sengaja meninggalkan buku Perfect Chemistry yang kubaca di meja
kantor. Padahal sebenarnya aku tidak mau meninggalkan buku itu. Aku penasaran
dengan akhir kisah Alex dan Brittany. Aku sudah tidak sabar menunggu apakah
akhirnya Alex rela keluar dari Latino Blood demi memperjuangkan cintanya pada
Brittany?
Fuck you, Brittany. Aku cemburu padanya karena dicintai
Alex. Sedangkan aku mencintai Alex.
Oh lupakan. Aku
buru-buru menepikan pikiran itu di benakku ketika melihat sosok Robyn muncul di
pintu Sushi Tei. Sudah tiga bulan ini aku dekat dengan Robyn, berawal dari
pertemuan yang tidak disengaja ketika aku datang meliput acara yang digagas
kantornya. Sejak saat itu, Robyn sering datang ke kantorku, sekadar mengajak
makan siang bareng atau mengantarku pulang.
Robyn sangat
pengertian, dengan caranya sendiri, mengingatkanku kepada perhatian yang
diberikan Gus kepada Hazel. Atau Etienne kepada Anna. Atau Cricket kepada Lola.
“Hai.”
Aku membalas
sapaan Robyn dengan sebaris senyuman. He’s
soooo handsome. Dia melipat lengan kemejanya hingga siku dan membuka dua
kancing teratas kemejanya. Dia tidak serapi ketika mengajakku makan siang atau
mampir ke kantorku pagi-pagi. Mungkin karena dia merasa letih setelah bekerja
seharian. Tapi aku suka penampilannya yang berantakan ini. Berantakan tapi
seksi. Mengingatkanku kepada tokoh-tokoh rekaan Julia James dan Rachel Gibson.
“Aku pesenin
tamago maki kesukaan kamu,” seruku sambil menyodorkan piring itu ke
hadapannya.
“Thank you.”
Sepertinya hubunganku
dengan Robyn berjalan lancar.
Tapi, ada
yang mengganjal pikiranku. Aku tidak sepenuhnya menjadi diriku sendiri ketika
bersama Robyn. Aku memang mencoba saran Lana, untuk meminggirkan tokoh-tokoh
fiktif yang membuatku selama ini ditinggalkan pacarku. Sejauh ini semua
berjalan lancar. Kami bercerita tentang apa saja, dan aku hanya menyentuh
hal-hal umum,
Di situlah
letak kesalahan yang kurasakan. Aku tidak memperlihatkan diriku yang
sebenarnya. Bisa saja Robyn menyukaiku karena apa yang kucitrakan sekarang,
tapi tidak dengan diriku sebenarnya.
Dan aku
tidak tahu apakah Robyn tipikal Ojos atau Keenan.
Meski aku
berharap dia adalah jelmaan Keenan di kehidupan nyata.
“Aku mau
mampir ke Kinokuniya dulu. Enggak apa-apa, kan?”
Mataku membola
mendengar ajakan itu ketika kami melangkah keluar dari Sushi Tei. I love Kinokuniya. Juga Aksara. Periplus.
Gramedia. Bookdepository.com, dan semua hal berlabel toko buku. Aku seperti
orang sakau setiap kali mengunjungi mereka, dan mereka seperti geng Latino
Blood yang punya banyak jenis drugs
untuk mengobati sakauku.
Aku membiarkan
Robyn berlalu ke deretan majalah sementara aku terpaku di depan rak New Release.
“The Longest Ride,” seruku saat melihat buku terbaru
Nicholas Sparks. I love him. Aku sudah
tidak sabar mencari tahu kisah romantis apa lagi yang dihadirkannya. Oh, malam
ini aku harus membeli tisu karena Mr. Sparks yang terhormat ini tidak pernah
membiarkanku lepas dari ceritanya tanpa air mata.
Aku berbelok
ke rak lain dan memekik kegirangan.
“Tias, are you okay?” Tiba-tiba saja Robyn sudah
berdiri di sampingku.
Aku masih
melompat kegirangan seperti anak kecil kebanyakan makan gula. Dengan senyum terkembang
lebar, aku menyambar sebuah buku tebal dengan kover perempuan mengenakan
topeng. Days of Blood and Starlight.
“Akiva. I found him.”
“Akiva?”
Robyn menatapku aneh.
Aku memperlihatkan
buku itu di hadapan Robyn. “Hampir satu tahun aku menunggu Akiva. Aku udah
enggak sabar menunggu apa yang terjadi di Eretz. Dan, oh…” aku terpana saat
mataku menatap ke buku lain. “Fangirl. Oh
my God, I can’t breathe.” Aku menyambar buku lain dan mendekapnya di dada
bersamaan Days of Blood and Starlight.
“Tias, kamu
kenapa, sih?”
“Levi dan
Akiva. Aku sudah pernah mengenal Akiva tahun lalu, tapi aku baru kenal Levi
dari cerita orang-orang. Katanya, dia jauh lebih charming dibanding Etienne. Oh
my Etienne. Aku penasaran, benar enggak Levi ini lebih charming dari Etienne.”
Robyn
menatap ke sekeliling. “Siapa yang lagi kamu omongin, sih?”
“Akiva, seraphim di buku ini.” aku menunjuk Days of Blood and Starlight. “Levi itu
cowok di buku ini,” aku menunjuk Fangirl.
“Etienne itu cowok di buku Anna and the
French Kiss.”
Robyn menatapku
seolah-olah aku ini alien yang nyasar ke bumi. “Jadi, dari tadi kamu kegirangan
seperti ini karena tokoh fiktif?”
Aku mengangguk.
Upss…
sepertinya sandiwaraku sudah terbongkar. Bukan salahku. Aku memang tidak sabar
bertemu Akiva dan Levi.
“Kamu aneh.”
Begitu saja.
setelah melemparkan tatapan tidak percaya, Robyn berlalu meninggalkanku.
And I realize one thing. He is
the next Ojos.
Dan aku
terdiam di tempatku. Memegang tiga buku favoritku. Still dreaming of my Keenan.