[review] Anna and the French Kiss by Stephanie Perkins

2 comments
Anna and the French Kiss
Stephanie Perkins

PS: Gue nyelesaiin buku ini jam 4 sore dan dua jam setelahnya, gue tidur-tiduran sambil meluk buku ini saking enggak bisa move on-nya, hihi.

(Gue enggak suka kovernya. Masa Etienne cuma lengan doang? Tapi, gue lebih enggak suka lagi kover yang satu lagi. Etienne ganteng tapi si Anna sumringah banget mau dicium)


Tahun terakhir SMA, Anna terpaksa pindah ke The School of America in Paris oleh ayahnya. Padahal dia sedang menikmati kehidupannya di Atlanta, Georgia bareng adiknya yang baru berumur tujuh tahun, Sean, sahabat baiknya Bridgette, dan gebetannya, Toph. Alasan ayahnya, biar Anna has a good learning experience. Terpaksa, deh, Anna tinggal di Residence Lambert, asrama untuk siswa SOAP. Padahal, hubungan Anna dengan ayahnya enggak dekat-dekat amat.
Di tengah perasaan oh-so-miserable yang dialami Anna, dia berkenalan dengan Meredith yang tinggal di seberang kamarnya. Dari Meredith, Anna kenalan dengan Josh dan Rashmi, dan *uhuk* ETIENNE ST. CLAIR.
Anna yang enggak bisa bahasa Prancis perlahan mulai mencintai Paris setelah diajak jalan-jalan oleh St. Clair. Tanpa disadarinya, Anna diam-diam mulai menyukai St. Clair. Tapi masalahnya, St. Clair pacaran dengan Ellie, murid SOAP juga yang sudah lulus dan kuliah di Parsons, Paris. St. Clair yang humble memang bisa berteman dengan siapa aja, jadi no wonder Anna cepat akrab dengannya. Tapi, ketika St. Clair mabuk dan enggak sengaja bilang dia menyukai Anna, Anna jadi bingung. Lagian, siapa, sih, yang percaya omongan orang mabuk? Terlebih setelah itu St. Clair selalu balik ke Ellie. Dan, Meredith, diam-diam juga menyukai St. Clair. Dan, ya, dari desas desus, hubungan St. Clair dan Ellie ini lagi bermasalah. Cuma, mereka enggak bisa putus. Inilah yang bikin Anna marah.
Tapi, Anna enggak bisa marah lama-lama sama St. Clair.
Ketika Anna mulai menyebut St. Clair dengan nama depannya, Etienne, dia yakin sudah jatuh cinta pada ETIENNE ST. CLAIR.
*tarik napas dulu*
I LOOOOOOVVEEE THIS BOOK. JUST LIKE JOSH SAID, EVERYBODY LUUUURRRRVVVVEEEE ST. CLAIR. YEAH, I LOOOOOOVVVVEEEEE HIM TOO.
Agak telat memang baru baca buku ini sekarang, but better late than never, kan? Entah kenapa tahun ini gue lebih banyak melirik young adult romance dan menurut review yang ada, pecinta YA harus banget banget banget baca bukunya Stephanie Perkins. Dan gue enggak nyesal baca buku ini. Malah, gue nyesal kenapa baru kenalan sama Etienne sekarang?
Gue suka ceritanya. Realistis. Kisah tahun terakhir sekolah yang banyak drama. Apalagi di sekolah baru. Ceritanya mengalir lancar meski sebenarnya enggak ada konflik besar yang serius-serius banget. Gue juga suka gaya menulisnya Perkins. Pakai PoV 1 dari sudut pandang Anna, kita diajak melihat Paris dari kacamata orang baru yang enggak ngerti apa-apa tentang Paris dan juga kegamangannya memulai hidup baru sendirian di negara orang yang jauh dari orangtuanya. Ceritanya remaja banget. Sahabat, cinta, dan keluarga. Konfliknya mengalir dengan sendirinya dan diselesaikan dengan manis.
Gue suka karakteristiknya. Seperti yang sering gue twit selama baca buku ini, gue cinta mati sama Etienne St. Clair. Padahal, kalau dipikir-pikir karakter Etienne ini enggak banget. Bolehlah, ya, dia humble dan charming bangetttttt, tapi St. Clair ini agak cemen menurut gue. Dia suka sama Anna tapi enggak mau putus sama Ellie karena pacaran dengan Ellie udah jadi semacam rutinitas atau kebiasaan gitu. Dia enggak mau putus karena takut kenyamanan yang dia rasain selama ini akan hilang. Dia juga takut sendiri. Akibatnya, dia menjebak Anna dalam friendzone. Cukup, kan, buat kita ngebenci St. Clair? Tapi, entah karena Perkins yang bisa mengolahnya dengan baik, gue malah enggak bisa benci sama St. Clair. Menurut gue, sepanjang 2013, St. Clair jadi the best book boyfriend paling unyu yang pernah gue kenal. Cara dia mengenalkan Anna dan membantu Anna beradaptasi dengan kehidupan barunya, tuh, unyu maksimal. Banyak adegan unyu yang bikin gue geregetan dan pengin tuker tempat sama Anna.
Intinya, I love St. Clair. Oh, karena gue cinta dia jadi gue nyebutnya Etienne, bukan St. Clair.
Karakter Anna gue juga suka. Biasanya, ketika gue naksir setengah mati sama tokoh hero, tokoh heroin cenderung gengges. I blame you Perkins karena Anna enggak gengges. Pertengahan ke belakang, gue cemburu setengah mati sama Anna. Apalagi adegan-adegannya, bikin gue pengin ngejambak si Anna. Berduaan di dalam Shakespeare and Company pas hujan, dibeliin buku puisi Pablo Neruda sama Etienne, ke Zero Point malam-malam dan make a wish, ciuman di Luxemburg Garden, dan yang paling bikin gue cemburu, ditembak di puncak Notre-Dame, on top of Paris, pakai puisi Neruda, oleh ETIENNE ST. CLAIR. Kalau gue ada di sana, udah gue dorong si Anna dari puncak Notre-Dame jadi gue bisa pacaran sama Etienne, haha. Waktu mereka berjauhan, email-email mereka juga lucu.
Etienne digambarkan ganteng. Dengan rambut bagus. Half American—mother—half France—father. Dari bokapnya, dia punya darah inggris juga, yaitu kakeknya. Dan Etienne gede di London jadi kalau ngomong Inggris banget. Multiras banget, ya? Ini yang bikin Etienne di mata gue jadi seksi banget—gue agak bosan sama cowok Amerika haha. Meski dia pendek—digambarin setinggi Anna—enggak masalah, tuh. Toh, gue juga pendek. Cewek bule, kan, tinggi, jadi kalau bareng gue pasti Etienne lebih tinggi. Lagian, sama cowok pendek ciumannya gampang. Etienne ini juga takut ketinggian, tapi dia memberanikan diri ke puncak Note-dame untuk ketemu Anna. How sweet he is.
Stephanie Perkins juara banget memunculkan chemistry.
Selain itu, tokoh-tokoh pendampingnya juga kuat banget karakteristiknya. Gue suka lima sekawan ini. Anna. Etienne. Rashmi. Josh. Meredith. Hubungan persahabatannya juga remaja banget. Konflik-konflik antarsahabat juga real banget.
All friends fight. Yup, temen mana, sih, yang enggak berantem? Tapi, gue suka penyelesaiannya. Intinya, kita harus berbesar hati aja, sih.
Anna and the French Kiss jelas bukan tipe buku yang bisa bikin cepat move on. Gue harus pintar-pintar memilih buku yang bisa bikin gue terlaihkan oleh Etienne—I choose I Heart New York karena katanya ada cowok unyu juga. Gue juga enggak sabar mau baca Lola and the Boy Next Door, buku kedua Pekins. Setting di San Fransisco. Di ending Anna and the French Kiss, dia dibilang keterima kuliah di San Fransisco University dan Etienne di Berkeley. Katanya, Etienne juga jadi cameo. Jadi enggak sabar. Yang bikin gue geregetan juga itu buku ketiganya, Isla and the Happily Ever After. Di blurb ditulis Isla dan Josh. Gue tahu siapa Isla. Anggota geng Amanda, the mean girl yang sempat bermasalah dengan Anna, dan Josh ini mantan pacar Rashmi—mereka putus di akhir buku Anna. Isla dan Josh memang masih murid junior ketika di cerita Anna, jadi ketika teman-temannya lulus, mereka maish sekolah. Katanya, Etienne juga banyak muncul. No wonder, sih. Kan, Etienne sahabat baiknya Josh. Tapi, buku ini baru terbit 2014. Hiks.
Yang bikin gue salut, buku ini diselesaikan dalam rangka NaNoWriMo. Gila, sebulan doang bisa bikin cerita sebagus ini? Gue selalu salut sama pejuang NaNoWriMo sementara gue udah menyerah dari awal, hehe. Pas baca ucapan terima kasihnya, Perkins nyebut nama Laini Taylor. Huwaa…. Itu, kan, penulis favorit gue juga. Gue ngebayangin mereka kalau lagi ngumpul ngebanding-bandingin lebih hot mana antara Etienne atau Akiva, hihi. Perkins juga nyentrik sama kayak Taylor. Jika Taylor rambutnya pink, Perkins biru campur cokelat. Suami-suami mereka juga temenan. Aaakkk… pengin gabung pas mereka kumpul-kumpul *siapa gue?*
Pokoknya, I love this book very much. Serius deh, buat pecinta young adult atau yang lagi pengin belajar nulis tentang young adult, baca buku ini, deh. Buku ini juga jadi buku dengan opening oke menurut gue. Pokoknya, gue puassssss banget baca buku ini.
Gue juga suka endorse yang ada di sampul belakang buku.
“Smart and sensual. Anna and the French Kiss is everything your heart is longing for, You’ll want to live inside this story forever.” Lisa McMann (author Wake trilogy) ßbangettt… gue mau, kok, selamanya tinggal di dalam ceritanya. Apalagi pacaran sama Etienne.
“Very romantic. You should date this book.” Maureen Johnson. ßgue mau dating sama Etienne aja.
Sebagai novel debut, ini keren banget. Gue juga pernah ngeblog di meme Scene on Three salah satu adegan di buku ini. Cek di sini (Adegan ketika di Shakespeare and Company).
Ketika baca buku ini, pertama kali sosok Etienne muncul, gue langsung kepikiran Douglas Booth. Doug punya rambut cokelat yang bagus dan ngomongnya Inggris banget. Ganteng banget juga. Pasti, deh, cocok jadi Etienne—dengan syarat Doug harus dibikin pendek.
(Doug ini yang jadi Romeo di film Romeo & Juliet yang akan tayang 6 September 2013 ini)

Sedangkan Anna, entah kenapa, sejak awal baca gue ngebayangin ini cewek kayak Emma Roberts. Tahu-tahu aja gitu kebayang Emma. Memang, sih, Emma Amerika banget, tapi, kan, masih banyak artis lain yang Amerika banget juga. Tapi, gue ngerasa pembawaan Anna ini Emma banget—gue keingat Emma di The Art of Getting By.

Dan menurut, gue Doug dan Emma cocok, kok, hehe.
I love Etienne. Sekarang, I have a crush to Doug. Jadi, cocok, kan?

Siapapun yang baca review ini, gue saranin buat baca buku ini. Worth it banget, kok. Like, seriously!
SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

2 comments

  1. Abis searching tentang review Anna and the French Kiss yang indonesian-side-nya dan dianter kesini sama google.

    Sudah akhir 2014 dan malah aku baru baca hahaha, belum selesai sih, lebih tepatnya baru mulai. Hahah telat banget ya? Aku yang baru baca aja udah jatuh cinta sama karakter St. Clair yang supel sama orang baru ditambah yang katanya Anna ganteng dan kata Josh semua cewek pasti suka sama dia.

    Aku baca review kamu semangat banget jadi pengen cepet2 tau akhirnya, beneran semenarik itu nggasih? X))

    ReplyDelete
  2. Baru mau baca sekarang, 2022 ya ampun!

    ReplyDelete

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig