London: Angel
Windry Ramadhina
Gilang, yang tanpa sadar mencintai sahabatnya sejak kecil, enam
tahun atau mungkin lebih, memuruskan berbuat nekad sekaligus gila: menyusul
Ning ke London, kota tempat sahabatnya itu sekarang tinggal dan bekerja,
sebagai kurator di Tate Modern.
Tapi, kedatangan yang mulanya ditujukan untuk kejutan itu berubah
bencana karena ketika Gilang sampai di depan rumah bercat biru di Colville
Place, Ning enggak ada. Gilang pun pergi ke Windmill Street, ke sebuah
penginapan bernama Madge, tempatnya menginap. Dia hanya punya waktu lima hari
di London, dan Gilang harus memanfaatkan waktu yang singkat itu untuk
memberitahu Ning tentang perasaannya.
Selama lima hari, Gilang enggak hanya bertemu Ning. Dia belajar
banyak dari orang di sekitarnya. Cowok dengan senyum menyebalkan mirip tokoh di
balik topeng Guy Fawkes yang dia sebut V, juga istrinya, pelayan campuran
Inggris-India, Ed, Madam Ellis yang berhati dingin dan berwajah masam, si pria
kikuk pemilik toko buku, Lowesly, pematung mirip Ethan Hawke yang dia sebut
Finn, cewek Indonesia maniak buku yang ngejar sampai ke semua tokok buku di London
edisi pertama Wuthering Heights, dan, yang enggak diduga-duga, gadis cantik
berambut cokelat ikal dengan mata biru, gadis yang kecantikannya terlalu
sempurna untuk jadi manusia, yang selalu datang ketika hujan dan pergi ketika
hujan reda dan meninggalkan sebuah payung merah. Dia panggil, Goldilocks.
London: Angel. Windry mengajak kita berkeliling kota klasik yang
anggun itu dengan sebuah paying merah.
I love England. I love The Beatles, OASIS, Arsenal, David and Victoria
Beckham, Sting, JRR Tolkien, Theo Walcott, Benedict Cumberbatch, Richard
Armitage, Aidan Turner, Arctic Monkey, Alex Turner, Alexa Chung, Jake Bugg, Sherlock
Holmes, Douglas Booth, One Direction, English Premier League, Lady Di. Intinya,
London adalah salah satu kota kesukaan gue meski masih ada di angan-angan aja
bisa ke sana.
Gue juga menggemari tulisan Windry Ramadhina.
Mendapati Windry dan London jadi satu? Double attack.
I love this book. Meski nasibnya sama kayak
Montase, alias enggak bisa menggusur Memori dari the best book from Windry di otak gue, at least buku ini page
turner banget. Cara nulisnya Windry—as
usual—juara. Gue enggak usaha ngebahas isi ceritalah, ya. Semua yang kenal
tulisan Windry pasti tahu kalau cerita biasa di tangan Windry bisa jadi luar
biasa. Bab awal langsung disuguhi bromance yang kental banget dan bikin gue
ngakak. Then, we go to London.
Karakterisasi? Duh, Windry, sih, udah juara soal karakterisasi. Enggak
ada sifat menonjol yang bikin Gilang ini wah banget. Dia biasa aja kayak cowok
kebanyakan. Membumi. Mungkin ini yang bikin Gilang jadi lovable. Gue suka karakternya yang pecinta buku dan banyak tahu
tentang buku. pengin, deh, bisa ngobrol langsung sama Gilang. Pasti, deh, kita
enggak akan kehabisan bahan obrolan, hehe *pede jaya*. Sifat gampang teralihkannya
Gilang juga bikin dia keliatan makin membumi. Toh kita semua kayak gitu, kan? Gampang
banget kedistract dan lupa sama tujuan awal.
Sifat inilah yang membawa Gilang juga kedistract sama Goldilocks
di saat seharusnya dia mencari atau bersama Ning. Karena dari awal diceritain
sifat ini, semuanya realistis.
Dan, sama seperti Montase, kali ini Windry juga jadi cowok. Menurut
gue, Windry lebih luwes ketika jadi Gilang ketimbang Rayyi.
Deskripsinya udah pas menurut gue. Gue enggak tahu, apa karena
deskripsi Windry yang benar-benar pas atau ketika baca gue dengerin Jake Bugg
dan sesekali menatap poster Benedict Cumberbatch dan Martin Freeman, juga
karena gue abis jalan dan masih make baju bergambar bendera Inggris, makanya feel London-nya dapet banget. Tapi, gue
acungi jempol deskripsi tempatnya. Detail dan enggak ngebosenin. Meski ceritanya
cuma lima hari, tapi padet banget. Enggak cuma tentang Gilang, tapi juga
tentang orang lain di sekitar Gilang.
Dan, ya, gue pengin naik London Eye bareng Kak Ben sambil dengerin
iPod dengan headset di telinga masing-masing. Lagunya, Wonderwall (Oasis), atau
Here, There, and Everywhere (The Beatles), atau Country Song (Jake Bugg)
*ngayal*.
Sebenarnya, gue masih butuh penjelasan tentang Goldilocks. Tapi…
secara kisah Gilang sudah ditutup dengan manis, gue enggak mau mikirin si
Goldilocks ini, hihi.
Satu lagi yang agak mengganjal, Gilang bisa move on secepat itu. Emang, sih, dia minta waktu, dan ketika bertemu
Ayu pun belum tentu dia bisa barengan Ayu. Tapi, seenggaknya dia mencoba untuk
terus maju. Tapi, setelah dipikir-pikir, enggak apa-apa juga kayak gitu. Gue,
sih, mikirnya kita enggak tahu apakah Gilang beneran move on atau masih mencoba. Gue rasa adegan penutup cukup realistis.
Gilang mencoba untuk terus maju. And the
rest of history? Tanyakan saja pada Windry gimana nasib Gilang sepulang
dari London, hihi.
Ada satu hal yang pengin gue tanyain. Gue curiga Windry ini Ringers
juga. Secara ada adegan becandaan bawa-bawa Isengard dan Helm’s Deep, juga
ketika Gilang nyamain London kayak Mordor dan dia mirip Frodo yang enggak bisa
lagi ngebayangin yang indah-indah di Shire, juga ada goblin dan orc. Bisa juga,
sih, karena ini London dan Tolkien, kan, dari Inggris. Tapi, kalau Windry
beneran Ringers juga, gabung di Eorlingas yuk, Kak #eaaaa.
Ini seri STPC kedua yang gue baca—masih utang tujuh STPC lagi—dan perbandingan
gue cuma Bangkok. Sorry to say, I love
Bangkok than London.
Tapi, overall, gue puas,
kok, dengan buku ini. Saran gue, ketika baca, lengkapi diri dengan nuansa
Inggris lain seperti yang gue lakuin. Lebih syahdu, hihi.
0 Comments:
Post a Comment