Notasi
Morra Quatro
Notasi merupakan
buku pertama yang dibaca oleh Reight Book Club untuk dibaca bulan Juli. Apa itu
Reight? Silakan lihat di sini.
Notasi:
Rasanya, sudah lama sekali sejak aku dan dia
melihat pelangi di langit utara Pogung.
Namun, kembali ke kota ini, seperti menyeruakkan
semua ingatan tentangnya; tentang janji yang terucap seiring jemari kami
bertautan.
Segera setelah semuanya berakhir, aku pasti akan
menghubungimu lagi.
Itulah yang dikatakannya sebelum dia pergi.
Dan aku mendekap erat-erat kata-kata itu,
menanti dalam harap.
Namun, yang datang padaku hanyalah surat-surat
tanpa alamat darinya.
Kini, di tempat yang sama, aku mengurai kembali
kenangan-kenangan itu….
Ini buku
kedua Morra yang gue baca setelah Forgiven bertahun lalu yang bikin gue jatuh
cinta pada gaya menulis Morra. Ada dua hal utama yang bikin gue langsung
menetapkan buku ini sebagai must have
read. Pertama, setting reformasi
dan demonstrasi besar-besaran tahun 1998. Ketika kejadian itu terjadi, gue cuma
bocah sembilan tahun di Bukittinggi sana yang enggak tahu apa-apa dan cuma
menonton tv. Tapi gue tahu semua keluarga gue khawatir karena abang sepupu gue
yang lagi kuliah di UI ikut turun ke jalan. Bertahun kemudian, gue mendengar
sendiri cerita kengerian di jembatan Semanggi, enggak hanya dari abang gue,
tapi juga dari bos gue waktu magang di humas FISIP, Mas Raymon. Ketika belajar
sejarah pun, gue enggak pernah enggak nangis ketika membaca nama Elang. Ada masa
di mana gue begitu menyukai sejarah—sampai sekarang insya Allah masih meski
enggak terlalu—dan reformasi merupakan salah satu yang paling gue suka. Udah banyak
yang mengangkat peristiwa ini ke dalam cerita dan gue penasaran gimana Morra
mengemasnya ke dalam sebuah novel pop.
Kedua,
radio. Semua yang kenal gue tentu tahu betapa sukanya gue sama radio. Bisa dibilang,
Marconi itu idola gue karena udah nemuin radio. Waktu kecil, tv di rumah gue
kurang bagus jadi gue males nonton tv. Ujung-ujungnya pergi ke radio. Ketika remaja,
gue semakin dekat dengan radio dan punya banyak teman dari radio. Sekarang pun
masih, meski enggak pakai radio lagi, melainkan streaming. Tapi, gue yakin sampai kapan pun radio akan selalu
menyertai gue.
Dan ketika
kedua hal ini digabung jadi satu, gue makin semangat membaca buku Morra. Ditambah
dengan Forgiven yang bikin gue berdecak kagum.
1.
First impression
Kesan pertama gue: two thumbs up for cover. Gambar radio itu bikin gue inget radio
butut papa yang meski udah rusak masih enggak mau dibuang, hihi. Ada yang bikin
gue penasaran, kenapa harus ada kuda mainan? Well, setelah dibaca, gue ngerti makna kehadiran kuda itu. Cover
yang cantik bukan hal aneh lagi buat Gagas Media. Kapan sih cover novel Gagas
biasa-biasa aja?
2.
How did you
experience the book?
Terhitung udah bertahun-tahun gue baca
Forgiven jadi gue agak lupa dengan cara menulis Morra. Tapi gue ingat banget
gue menyukainya sejak dari awal. Gue berharap bisa ngerasain pengalaman yang
sama seperti waktu baca Forgiven.
Nyatanya, beda banget. Bagian awal terlalu
deskriptif. Detail sedetail-detailnya, seakan-akan di depan kita tuh ada peta
UGM lengkap. Bagus sih, cuma gue kurang sreg. Gue suka cerita yang sejak awal
kita tuh udah diajak terjun langsung ke dalam kasusnya, jadi ketika opening lama banget, gue jadi sedikit turn off.
Tapi gue yakin Morra enggak akan ngecewain. Gue
bertahan dan yup, I’m right. Perlahan-lahan
gue menikmatinya dan mencintai buku ini. Ketika suasana demonstrasi digambarin
dengan detail, gue enggak complain karena Morra berhasil menggambarkan
kegetiran, kemarahan, dan kesedihan di masa itu.
3.
Characters
I love Nino. Di balik sikap tenang dan
misteriusnya, Nino mampu membius pembaca. Nino enggak perlu banyak omong untuk
bikin orang menyukainya.
Nalia is gengges. Entahlah, gue enggak suka
sama dia. Ketika Nalia bilang dia kekasih Nino, gue cuma bisa menanggapi dengan
rolling eyes. Come on, satu ciuman
bukan berarti lo udah jadi pacarnya Nino ya, Nalia.
Satu lagi, gue selalu kebolak baca namanya
Nalia jadi Naila.
Tokoh lain seperti Faris, Ve, Farel, Zee,
Tengku, Lin Lin, dan lain-lain porsinya udah cukup pas meski gue penasaran
dengan Ve dan Nino hihi.
4.
Plot
Morra juara dalam bikin plot meski di awal
gue agak tersendat karena terlalu lama. Chemistry
antara Nino dan Nalia terbangun dengan soft
tapi ya itu tadi, gue ngerasanya begitu lama. Dari awal sampai akhir Morra
menuliskan ceritanya dengan tempo yang lama. Buat yang suka grasa grusu, well, ini agak menantang nyelesainnya,
hehe.
5.
POV
Morra gunain POV orang pertama. Terberkatilah
Morra yang berbaik hati memberi tahu kita sekelumit kehidupan Nino setelah
pisah dari Nalia melalui surat-suratnya. Gue suka bagian surat ini. Cuma,
narasi Morra enggak terlalu sreg buat gue. Gue enggak ngerti kenapa gue enggak
terlalu suka gaya bercerita Morra yang kayak gini.
6.
Main
Idea/Theme
Seperti yang gue bilang di opening di atas, gue suka main idea yang ditawarkan. Reformasi dan
radio. Dua hal ini cukup bikin gue harus baca buku ini. Kisah cinta enggak
terlalu menonjol menurut gue meski katanya ini kisah cinta. Gue lebih suka
kisah demonstrasi dan reformasi, juga peran penting radio di sana.
7.
Quotes
Berhubung gue baca novel ini pas lagi di
jalan dari dan ke kantor, gue enggak terlalu nandain kalimat yang quoteable. Tapi gue mencatat satu yang
gue suka. Kalimat Tan Malaka di opening
bagian 1. Kalimat ini bikin gue ingat biografi Tan Malaka yang disuruh bokap
baca tapi gue anggurin sampai sekarang, hehe.
“Padi tumbuh
tidak bersisik.”
Seperti Nino yang tenang tapi menggigit. Seperti
padi yang tahu-tahu udah gede aja.
8.
Ending
Gue penyuka ending realistis. Bagi gue, enggak ada sad ending dan happy ending.
Yang ada cuma ending realistis dan ending maksa atau mengada-ada. Notasi,
untungnya, memilih ending realistis. Seperti
Forgiven yang realistis juga.
Selain masalah
tempo, hal paling mengganggu ketika baca buku ini adalah typo. Bo, itu ya spasi
antarkata suka kelewat dan banyaaaakkkkk banget. Gue sampai pengin jedotin
kepala ke dinding saking banyaknya. Moga next
time cetakan selanjutnya dibenerin ini ya. Ganggu, sumpah.
Overall, I love this book meksi gue masih lebih memuja William Hakim
dan Forgiven. Tapi, jika ada novel Morra selanjutnya, gue akan tetap baca
karena pertemuan pertama gue dengan Morra, melalui Forgiven, itu enggak akan
bisa gue lupain.
PS: Ada satu
hal yang pengin gue tanyain kalau bisa ngobrol sama Morra: itu peran Eross
Chandra di novel ini beneran enggak sih? Eross memang dari Yogya sih. Selain itu,
gue juga pengin nanya, apa Morra sendiri juga ikut demonstrasi sehingga bisa ngegambarin
sedetail ini. Soal Swaragama, mungkin nanti berpuluh tahun kemudian ada yang
baca buku ini karena butuh referensi soal sejarah berdirinya radio tersebut. Oh,
belajar sejarah reformasi juga bisa.
0 Comments:
Post a Comment