Baby Proof
Emily Giffin
(Btw, gue selalu suka cover-covernya buku Emily. Simpel dan manis)
(Cover terjemahannya juga bagus. Ada dua cover. Jika halaman cover pertama dibuka, bagian cewek itu bolong dan di halaman kedua ada gambar cewek hamil. Nggak kayak cover novel terjemahan umumnya)
Claudia Parr sudah yakin dirinya
akan melajang selamanya karena keinginannya yang nggak masuk akal: nggak mau
punya bayi. Dia bibi yang baik, cool,
keren, tapi dia yakin dia bukanlah ibu yang baik. Namun semuanya berubah ketika
di suatu kencan buta yang dirancang temannya, Annie dan Ray, Claudia berkenalan
dengan Benjamin Davenport. Claudia yang jatuh cinta memilih untuk jujur dengan
keinginannya. Ternyata, Ben juga berpendapat sama.
No baby.
Mereka menikah, hidup bahagia
tanpa tangisan bayi. Namun, ketika sahabat mereka, Annie dan Ray mulai
memutuskan untuk memiliki anak, Ben berubah pikiran.
Dia ingin menjadi seorang ayah.
Awalnya Claudia merasa itu hanya
keinginan sesaat saja. Selama ini Ben suka berubah-ubah keinginan dan ketika
keinginannya sudah didapat, dia akan segera lupa. Claudia yakin Ben akan segera
melewati fase ini. Namun, dia salah.
Kali ini, Ben benar-benar serius
dengan keinginannya.
Akhirnya, pertengkaran pertama
mereka terjadi. Dan perceraian tidak terelakkan.
Di saat Claudia merasa hidupnya
benar-benar hampa, Claudia tahu bahwa Ben sudah melanjutkan hidupnya saat dia
melihat Ben dengan perempuan lain yang lebih muda—yang diyakini Claudia siap
menjadi ibu dari anak-anak Ben—bernama Tucker Janssen. Claudia merasa semakin
terpuruk.
Untunglah ada Richard Margo yang
membuat Claudia keluar dari kesedihannya dan melanjutkan kehidupannya. Hebatnya,
Richard bukan hanya anti baby, tapi
juga anti komitmen sehingga Claudia enjoy
menjalani hubungan no string attached
ini.
Namun, tetap saja masih ada yang
mengganjal bagi Claudia.
Ini pengalaman pertama gue membaca
buku Emily Giffin setelah sebelumnya berkenalan dengan karyanya lewat film
Something Borrowed. I love that film,
tipikal romcom ringan favorit gue dengan cowok eye candy—I love Dex. I remember the line: Dex. Sex. It’s a rhyme *lol*—dan
gue yakin akan meyakini tulisan Emily Giffin—gue khawatir kesukaan gue pada
Lauren Weisberger akan bergeser jika membaca buku Emily Giffin. Sama seperti
Lauren, Emily juga mengangkat cerita khas chicklit.
Lovable hero and heroine. Fabulous sidekick. Cheesy conflict. Urban lifestyle.
Branded things. Semua formula chicklit ada di novel ini.
Ada beberapa poin yang seharusnya
membuat gue engage dengan cerita ini.
1.
Tokoh utama bernama Benjamin Davenport. Ben. For now, Ben stands for Benedict Cumberbatch.
Ben berusia 35 tahun, hampir seumuran Kak Ben. Let it flow, santai, lucu, dan unyu emesh-emesh, bikin gue mau
nggak mau selalu keingetan Kak Ben tiap baca part Ben. Dan yang pasti, Ben ini
sayang banget sama anak-anak. Filf alert.
Oh satu lagi. Benjamin Davenport is an
architect. Ketika kesukaan gue kepada arsitek sudah mulai menurun dan
bangkit lagi gara-gara Hamish, gue suka karakter Ben ini.
2.
Tokoh cowok lain, Richard Margo. Ketika nama
Richard muncul, gue bertanya-tanya: gue lagi baca novel Emily Giffin kan, bukan
fanfiction karangan gue? Haha. Richard, direktur publisis di Elgin Books,
kantor penerbitan tempat Claudia bekerja. Rahang persegi, mata biru, dengan
pinggiran rambut agak ke belakang, dan suara yang berat dan dalam. Oh, Richard
ini 48 tahun. Nggak jauh beda sama oom Richard Armitage. That’s why gue sempat mengira ini buku fanfiction karangan gue atau
paling nggak, Emily juga suka sama oom Richard dan Kak Ben haha. Richard, meski
udah 40an, masih digambarin seksi dan kuat. Banyak adegan X-ratednya. Dan gue
selalu kebayang oom Richard dengan senyum mesem-mesem manjanya. Aihhhh…. (dan
Richard Margo bisa kasih dua kali orgasme dalam satu sesi. What about oom Richard? Hihi)
3.
Hal lain yang bikin gue bertanya-tanya kenapa
ini seperti fanfiction karena nama tokoh-tokohnya related banget sama gue. Tokoh utama, Claudia. Gue pernah makai
nama Claudia di novel bikinan gue dan dia ada hubungannya juga dengan Richard
(Richard gue awal 50an tapi single
juga kayak Richard Margo). Tokoh lainnya: Michael (Mendekap Rasa) dan Amber
(anak Michael-Carissa) juga ada Lucas (nama salah satu tokoh cowok di draft
gue). Jadi, selama membaca gue cuma bisa ketawa-ketawa aja karena kebetulan
ini.
4.
Pekerjaan Claudia sebagai senior editor. Emily menjabarkan
lengkap banget pola kerja editor dan penerbitan di US. Keren. Kebetulan salah
satu tokoh yang lagi gue garap juga bekerja sebagai editor. Mau nggak mau gue
ngebayangin Claudia kayak tokoh gue. Dan Emily banyak memuat judul-judul novel
keren dan film romcom yang juga kesukaan gue.
That’s why gue dekat banget sama novel ini.
Terlepas dari semua poin di atas,
gue mengalami kesulitan untuk menyukai novel ini sejak di awal. Gue baca
terjemahan dan sayangnya BANYAK TYPO. Tapi, terjemahannya bagus dan gue yakin
cara menulis Emily memang seperti ini. Dan gue nggak begitu suka gaya penulisan
ini. Jadi, yang bikin gue bertahan sampai akhir bukan cara penulisannya, tapi
tokoh-tokohnya.
Tapi, gue tetap akan coba baca yang
versi asli sebagai perbandingan. Ibarat jatuh cinta, tulisan Emily akan
terlihat menarik setelah kencan ke sekian, bukan tipikal love at the first sight.
Konfliknya sendiri? Well, idenya bagus. Bikin gue ingat sama
The Nine Lessons karya Kevin Alan Milne. Bedanya, di sana tokoh cowoknya yang
nggak mau punya anak. latar belakangnya pun sama dengan Claudia: keadaan
keluarga mereka, tepatnya orangtua, yang memaksa mereka berpikiran begitu. Namun
di buku ini, gue menyesalkan keputusan Claudia dan Ben yang gampang banget
minta cerai. Dan Claudia lama banget untuk menyadari kalau dia masih mencintai
Ben. Sayangnya, cerita berangkat dari POV orang pertama, yaitu Claudia, jadi
kita nggak tahu pergolakan emosi Ben gimana. Gue penasaran dengan Ben.
Ada satu adegan yang gue suka. Di pembaptisan
anak Annie dan Ray dan Ben jadi ayah baptisnya. Claudia membawa Richard karena
yakin Ben akan membawa Tucker tapi nyatanya Ben datang sendiri. Saat Ben
membacakan doa untuk Ray Jr, gue sampai berkaca-kaca. Gue pikir itu akan
menjadi titik balik Claudia, nyatanya nggak.
Gue suka dengan ironi yang
dihadirkan Emily. Claudia, temannya, Jess, dan kakaknya Daphne dan Maura. Empat
sekawan penuh ironi. Claudia nggak mau punya anak sedangkan Daphne dan suaminya
Tony bertahun-tahun mengusahakan punya anak tapi Daphne mandul. Jess yang
menjalin hubungan dengan Trey, pria beristri, berkebalikan dengan Maura yang
punya suami Scott tukang selingkuh. Jadi, selain tahu kisah Claudia, kita juga
akan menyimak kisah Jess, Maura, dan Daphne.
Dan,
seperti halnya chicklit pada umumnya, happy
ending for all of them.
Overall, gue suka buku ini meski baru menyukai di tengah-tengah,
tapi gue nggak terlalu suka cara menulisnya Emily. Tapi gue kapok baca terjemahan
dengan typo di mana-mana dan tata bahasa yang kacau. Kalau next gue ingin baca lagi buku-buku Emily, gue akan baca bahasa
Inggris-nya aja.
Dan pada akhirnya, cinta akan
mengalahkan segalanya dan kesempatan kedua itu selalu ada, tergantung seberapa
jeli kita melihatnya.
0 Comments:
Post a Comment