[Indonesian Romance Reading Challenge] #23 Cintapuccino by Icha Rahmanti

Leave a Comment
Cintapuccino
Icha Rahmanti



Have you ever have your Nimo? You know, an obsession?
I did. Once in my life, and lucky me, I’m not a crazy girl like Rahmi who have an obsession about Nimo.
Aphradita Arrahmi, sudah punya prince charming yang siap mengajaknya menikah sehingga nggak usah khawatir dengan quarter life crisis yang wajar dialami cewek-cewek twenty something, tetapi out of nowhere bertemu lagi dengan Nimo, Dimas Geronimo, obsesinya sejak SMA yang nggak pernah kesampaian dan selama sepuluh tahun Nimo mengabaikannya sampai Rahmi menderita penyakit Nimo kronis. An egocentric heartless jerk yang nggak pernah menganggap Rahmi ada. Yang selalu menggoda Rahmi and then… ngilang.
Dan satu pertemuan tidak sengaja merembet kemana-mana. Nimo yang—again—out of nowhere muncul di Barbietch, distro milik Rahmi dan mengajaknya nikah padahal posisi Rahmi adalah calon istri Danang Raka Soediro. Dan Rahmi kembali dihantui dengan pertanda-pertanda akan Nimo dan membuatnya bimbang.
Nggak usah diceritainlah ya ringkasannya gimana. I bet buku yang dicap sebagai Chicklit asli buatan Indonesia pertama ini udah pernah dibaca—almost—semua orang.
Gue pernah membaca buku ini dulu, waktu SMA—my bad. That’s why gue kayak cewek dewasa sebelum umurnya in special area *you know what I mean* karena gue pernah, tanpa sengaja, baca Harlequin waktu SMP hihi—dan out of nowhere juga, just like Nimo, ketemu lagi buku ini dan baca ulang.
Second experience.
I remember when first time I knew this story, I looooveeee Nimo. Dengan segala tingkah playboynya. Dengan segala keegoisannya. Dengan segala ketidakpeduliannya. But in my teenage side, cowok unreachable bastard egocentric heartless but in other hand, he’s so perfect—ganteng, kaya, pintar, alim and the next Mas Boy banget—ini menempati urutan pertama cowok idaman. Seriously. Mungkin ini titik awal gue mendamba seorang badboy. Waktu itu, gue melihat Raka sebagai cowok datar tanpa tantangan.
Am I just a cliché?
Rasanya begitu. In my defense now, I was stupid and naïve back then. Karena cowok unreachable bengal badboy wannabe but in other way masih punya sisi charming hanya ada di khayalan. Nyatanya, at my age, cowok kayak Raka-lah yang menempati urutan pertama. You know, kenyamanan dan jaminan masa depan *meski deposit ribuan dollar-nya Nimo masih bikin mata jadi ijo*.
Back to the book. Dulu gue baca cuma karena terbawa euphoria. Gue ingat banget waktu itu lebih suka Dealova atau Fairish atau Vibe-ku karena lebih dekat dengan usia gue saat itu. But now, I can relate to the story. Bukan karena sebentar lagi gue memasuki masa quarter life crisis and being totally single—loh, kok curhat?—karena di usia gue sekarang cerita ini lebih berasa real.
Having an obsession. Kegilaan zaman SMA. I did it. Ketika gue suka nongkrong di teras depan kelas hanya karena pengin lihat Didi—yess, I said it out loud right now—main basket, rela ganti angkot dua kali dan tentu aja ngurangin jatah uang jajan demi seangkot sama Didi dan menghabiskan lima menit penuh dag dig dug dengan CCP—bahasa gue bo jadulnya—atau ketika gue rajin shalat Dzuhur ke mushalla karena si Didi yang anak rohis tentunya rajin shalat—Mak, masa-masa gue masih bener—atau menguntit dia yang dengan pacarnya—Vina. Yess, gue masih ingat—jalan bareng, maksudnya dia nganterin Vina pulang. Gue seperti Rahmi yang menahan napas waktu menelepon dia dan langsung dimatiin begitu diangkat atau pura-pura salah sambung, gue yang nanya every little thing about him ke abang sepupu gue yang segank sama dia. Parahnya, with my besties—Feni, Hilza, dan Ega—buat acara bodoh-bodohan demi mencari tahu who is the best diantara kecengan kita tanpa sekalipun mereka tahu.
What a stupid things we’ve done, right?
But, nggak kayak Rahmi yang bela-belain kuliah di jurusan yang sama dengan Nimo, gue nggak kayak gitu. Karena gue merasa otak IPA gue sangat pas-pasan demi kuliah di Geologi and my tengil side nggak melihat masa depan yang jelas dengan kuliah di sana *tapi gue tetap berharap masuk Unpad demi bareng Didi dan ketika akhirnya dua tahun kemudian, keinginan masuk UI lebih mendominasi dan membuat gue lupa sama sekali. And we’ve done. Selesai sampai di sana.
Till a few months ago. Ketika tanpa sengaja gue ketemu dia lagi waktu gue jalan sama abang sepupu gue yang juga teman segank dia waktu SMA. I am single. He is totally single. But what? Nothing. Gue cuma ketawa-ketawa bodoh mengingat kebegoan zaman dulu and believe me, dia juga ketawa bodoh karena nggak nyangka sama semua cerita gue.
Oke, end of story. Back to Cintapuccino again.
Dulu dan sekarang, I like this story. Ringan. Khas chicklit. Dulu gue kasihan sama Raka but in the end Rahmi sama Nimo, ya gue senang dong. But now, gue bisa melihat dari pemikiran yang lebih dewasa—ciyee—and I think nggak ada orang yang lebih egois dibanding mereka bertiga. Rahmi, Nimo, dan Raka. Rahmi, the lucky bastard. Dia bisa bilang sayang sama Raka dan nggak mau pisah tapi masih nyimpan obsesi sama Nimo. Dia nggak mau pisah sama Raka karena Nimo unreachable. The legend. The same old Nimo. Dan Nimo, out of nowhere tiba-tiba muncul ngaku cinta sama Rahmi. Where have you been, Nimo. After ten years ya ngabaiin orang then bisa-bisanya ngomong cinta? Nggak make sense. So does Raka. Cemen, pengecut, sok idealis, pasrahan. Kalau memang cinta, Y U NO FIGHT FOR RAHMI? Sekarang gue gemes sama Raka.
About Raka. There is something about him who make me feel like him. Idealisnya. Gue merasa balik ke zaman otak gue masih benar. About Aceh something. I mean, conflict area. Di masa-masa awal gue kuliah, ketika gue masih asyik melahap buku memoir jurnalis di daerah konflik. I want to be like them. That’s why gue memilih jurusan Komunikasi. Gue ingin menulis sesuatu, mengunjungi daerah berbahaya cuma sebagai pembuktian bahwa gue bisa dan gue bukan lagi daddy’s little girl yang dipantau 24 jam dan kalau pulang malam dikit langsung dikhawatirin. But back then, gue mikir kalau it’s so not me. Ketika akhirnya mata gue dibukakan bahwa pergi ke daerah konflik bukan satu-satunya cara pembuktian diri. Ketika gue sadar gue nggak akan bisa dan sanggup sebagai wartawan yang sebenarnya. Jiwa gue nggak di sana. That’s why gue menolak panggilan interview Tempo dan Media Indonesia karena gue merasa—in case—gue diterima, gue nggak akan menjalaninya dengan senang hati. Terlepas dari pekerjaan gue sekarang yang nggak oke-oke banget juga, this is better than gue jadi—in case—diterima di Tempo dkk. Seenggaknya erejaan sekarang lebih mendekati gue.
Mengutip ucapan Leo Tolstoy yang dikutip Raka: Bekerja sebagai syarat mutlak dan tidak dapat dihindari dari kehidupan, karena bekerja adalah sumber kesejahteraan yang nyata.
And about Rahmi. Jika gue jadi dia, dengan tabungan ribuan dollar, gue akan bertingkah sama: cabut dari kerjaan yang memuakkan. Sayangnya, tabungan gue zero rupiah *sigh*.
Dan endingnya, gue merasa terlalu dipaksakan. Nggak realistis. Raka yang tiba-tiba ke UK dan Nimo muncul lagi. Bukan berarti Rahmi nunggu Raka itu realistis ya. Jika in the end Rahmi sama Nimo, it’s okay, tapi gue berharap dimulai dari titik nol, nggak sampai mereka nikah. Terlalu cepat. Tapi, gue tetap nggak suka Rahmi sama Nimo. Gue setuju sama--lupa siapa yang nasihatin Rahmi--perasaan obsesi itu cuma penasaran karena Rahmi nggak pernah punya something romantic sama Nimo dan dia cuma mengangan-angankan. Ketika udah dapat momen itu, ya udah. That's why, i prefer Rahmi with Raka, terlepas dari sikap cemen Raka.
About Icha’s writing. I looooveeeee it. Fresh. Mengalir. Dan apa adanya. Ini buku pertama dan satu-satunya Icha yang gue baca dan gue mau baca Beauty Case tapi belum ketemu hehe. tapi, please, editingnya. Diksinya masih banyak banget yang nggak sesuai EYD. Sekedar. Nafas. Apa lagi itu yang gue temuin. Dan nggak konsiste, macam pemakaian gue dan aku dalam satu kalimat. Untuk buku sebagus ini, gue berharap Gagas nerbitin ulang—gue senang Gagas nerbitin ulang Always Layla—dengan catatan diedit ulang.

Afterall, buku ini masih dan akan tetap memuaskan.

Intermezzo: kesukaan gue sama Nimo sedikit berkurang karena selalu kebayang Miller dengan logat Malaysia-nya dan kesukaan gue sama Raka bertambah karena selalu terbayang Aditya Herpavi. Ohmigod, Aditya Herpavi selalu bikin drooling.
SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 Comments:

Post a Comment

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig