[book review] Mrs. MisMarriage by Noelle Chua

1 comment
Mrs. MisMarriage
Noelle Chua




Audrey Lee is a perfect woman who has it all. He has a husband who love her, a semi-detached home, a live-in maid, a money, everything. But Audrey always feel that there is something in her marriage. Audrey is not a kind of marriage woman. She loves Paul Chang, her husband, but she feels strange when she call Paul as her husband. Di saat mereka, sebagai pasangan newlywed, harusnya bermesraan, Audrey malah merasa semakin jauh dengan suaminya. Mereka tidak berbicara dan Paul sibuk dengan pekerjaannya.
Audrey merupakan Singaporean Girl yang juga kandidat doktor di Harvard. Namun ketika Paul melamarnya, dia terpaksa mengorbankan pendidikannya dan pulang kampung ke Singapura, eventough she never want to comeback to her hometown. She wants to live outside Singapore.
Di saat Audrey memikirkan perkawinannya, dia harus dihadapkan pada kenyataan bahwa Paul sering terlibat chatting dengan Indie Girl, a girl named India. Audrey curiga. Dan tanpa disengaja, Audrey juga terlibat sesuatu yang nantinya disesalinya.
In this day and age, being in love with someone and being married to someone, they are two different things.
This is my first Asian Lit. Ketika membeli novel ini, gue nggak nyangka jika novel ini ditulis oleh penulis Singapura dan berlatar di Singapura. It surprises me. Melihat review di Goodreads yang positif, gue jadi tertarik membaca buku ini. And I love it.
Mrs. MisMarriage is a light reading. Tentang Audrey yang anti menikah tiba-tiba menjawab iya saat Paul melamarnya. I love her quote.
When someone you love asks you to marry you, no matter what you think or know or feel, you step right up to that insanity, you look itin the eye and you act. When something like that happens, you would do just like I did. You know you would. You would say, “Yes.”
She’s right. Ketika selama ini lo memikirkan something, boleh saja banyak what if berkeliaran di kepala lo. But by the time lo benar-benar menghadapi situasi itu, your hearts know the answer. Just like what Audrey did.
Novel ini terasa begitu mengalir. Khas chicklit. Dengan beberapa bahasa slang ala Singapura dan dialog Singlish, kadang novel ini terasa lucu. My boss is Singaporean and I think Audrey is just like her, Petrina Leong, haha. Membaca novel ini sesuai sama gambaran Singapore yang selama ini kita tangkap. Tentang MRT, HDB, dan keseharian mereka. Sayang, budaya kiasu yang Singapura banget kurang dibahas di novel ini. mungkin karena novel ini berangkat dari kehidupan Audrey, an expat wife. Meski dia berada di negaranya, dia terasa terasing karena lingkungannya berbeda dengan kehidupan Singapura yang dulu dirasakannya. Audrey feels it. Lagian gimana mau gambarin budaya kiasu? Lha Audrey sendiri nggak kerja.
Jangan khawatir untuk takut menikah karena membaca buku ini. Justru bagus karena pernyataan “being in love with someone is different with being married to someone”, juga kehidupan perkawinan yang bisa membuat ada jarak di antara suami dan istri jika salah satu pihak memilih untuk tidak jujur itu benar banget.
I love the ending meski akhirnya Audrey kembali jadi woman who has it all. Sweet tapi nggak lebay haha. Karakter minornya juga porsinya pas meski karakter minor ini cukup banyak. Indonesia juga disebut-sebut. Selain Bali dan Bintan, porsi Indonesia yaitu para caregiver di keluarga ekspat. Miris.
After all, I enjoy my first experience. Can’t hardly wait to read another Asian Lit. Any recommendation?


SHARE:
1 Comments

[book review] Revenge Wears Prada - Lauren Weisberger

Leave a Comment
Revenge Wears Prada: The Devil Returns
Lauren Weisberger



The Devil is back.
After ten years, Lauren Weisberger bring back the devil and Andy and let us know about her life ten years later after fuck-up-moment at Paris. Revenge Wears Prada.
Cerita dimulai dengan hari pernikahan Andy bersama Maxwell Harrison, putra Robert and Barbara Harrison, pewaris Harrison Media Holding yang ternama itu. Mantan playboy yang akhirnya bertekuk lutut di depan Andy. Namun suatu kejadian beberapa saat membuat Andy mulai meragukan pernikahannya.
Sepuluh tahun setelah lepas dari Runway dan Miranda Priestly, Andy bekerja sebagai penulis di website wedding Happily After After. Namun pertemuan tidak sengaja dengan Emily Charlton—yup, Miranda’s first assistant—di sebuah cooking class mengubah hidup Andy. Emily yang dipecat Miranda akhirnya menjadi junior fashion stylist di Harper’s Bazaar. Emily dan Andy kemudian akrab dan jadi BFF. Emily mengusulkan membuat majalah sendiri. The Plunge. Glossy magazine about wedding. Karena The Plunge-lah Andy berkenalan dengan Maxwell yang menjadi investor utama. Kebetulan Harrison Media Holding agak-agak goncang gitu deh jadi Max, setelah ayahnya meninggal, harus mengembalikan kestabilan perusahaannya.
Revenge Wears Prada bercerita tentang kehidupan Andy. Being career woman and wife and mommy. Semuanya terasa sempurna sampai suatu hari Elias-Clark menghubungi mereka dan menawarkan akuisisi untuk The Plunge. Emily excited karena nama besar Elias-Clark tentu bermanfaat untuk The Plunge. Max mendukung Emily karena jelas ini sebuah tawaran yang menarik. Namun Andy ragu karena tidak ingin kembali ke Elias-Clark karena sekarang posisi Miranda Priestly adalah director editorial yang membawahi semua majalah di Elias-Clark, termasuk The Plunge.
Finally gue menyelesaikan buku ini. Fresh from the oven. Masih jelas ketika gue teriak norak di Periplus Plaza Senayan waktu melihat buku ini versi paperback karena sehari sebelumnya yang baru ada masih edisi hardcover. Pertimbangan duit yang seadanya membuat gue lebih memilih edisi paperback.
Namun ketika buku ini dibuka, alamak font-nya kecil-kecil banget. Gue sampai jereng. Hasilnya gue cuma bisa baca buku ini selama di jalan dari dan ke kantor karena penerangan kamar yang remang-remang. Makanya selesainya agak lama, empat hari.
So, bukunya gimana? First of all, yang ada di bayangan gue ceritanya adalah Andy bekerja di New York Times sesuai keinginannya lalu bekerjasama dengan Emily membentuk The Plunge lalu Andy masih terlibat hubungan dengan Christian Collinsworth but in the end she realize that she still loves Alex and they will married. Tapi dugaan gue salah. No more New York Times. No more Christian and Alex. Andy found her new love.
Seperti biasa, gue takjub dengan gaya bercerita Lauren Weisberger. Ini yang membuat gue bertahan baca buku dia meski karakter heroine-nya hampir sama semua di setiap buku.
Andrea Sachs. Di The Devil Wears Prada, Andy punya bakat jadi gengges. Terlebih sejak diperankan oleh Anne Hathaway, bakat genggesnya makin terasah. Di Revenge Wears Prada, Andy jadi super super super gengges. Gue nggak suka kebiasaannya menunda-nunda masalah sampai Emily harus selalu ngalah. Ini yang namanya produk ivy league? Kok jadi cemen gini? Bukan hanya Emily, Andy yang suka nyimpen kecurigaan dari Max. Bahkan nggak ngasih tahu Max dia hamil? Ohmigod. Super gengges.
Emily Charlton. Karakter Emily kelihatan banget berkembangnya. Dari Emily pemuja Miranda lalu beralih jadi Emily pembenci Miranda dan Emily yang akhirnya balik memuja Miranda.
Maxwell. Ohmigod I am drooling. Alex plus Christian nggak ada apa-apanya dibanding Max. kekurangan Max Cuma punya ibu tipikal nyonya-nyonya sosialita bersasak tinggi. Ketika Max berinteraksi dengan anaknya, ohmigod, FILF alert.
Miranda Pristly. Still the devil. Miranda yang mendapat promosi jadi director editorial Elias-Clark selain masih jadi editor in chief Runway bikin gue berpikir: ini Miranda benar-benar mau nyaingin Anna Wintour ya? Bahkan posisi mereka sekarang sama haha.
Lauren juga berbaik hati memberitahu kelanjutan tokoh-tokoh minor di buku sebelumnya seperti Jill dan Lily. Jill happily married with Kyle and her sons. Lily tinggal di Colorado untuk rehab dan menata hidupnya lalu menikah dengan Bodhi dan punya dua anak.
Konflik di buku ini lebih berasa ketika Elias-Clark ingin mengakuisisi. Pertama-tama gue support Emily. Come on, Elias-Clark gitu, masa ditolak? Gue ngebayangin by the time gue bikin majalah sama teman-teman lalu anggaplah MRA atau Kompas Gramedia mau mengakuisisi majalah gue, ya jelaslah gue terima. Tawaran yang too good to be true dan once in a lifetime banget. Wajar jika Emily pengin banget. Saat itu gue benci banget sama Andy.
Lalu ketika gue semakin memasuki pikiran Andy, gue jadi mendukung dia. Emily malah jadi labil karena dia yang begitu membenci Miranda akhirnya amlah ngebet banget mau kerja bareng Miranda lagi. gue setuju dengan pemikiran Andy. Tupai nggak akan mau jatuh di lobang yang sama dua kali kan?
Dan Max. memang sih pengkhianatan max berat banget tapi bukan berarti karena itu Andy boleh minta… forget it, takut spoiler. Tapi Max egois sih dengan keputusannya itu.
Ngomong-ngomong soal bikin majalah, gue jadi ingat obrolan bego-bego jaman kuliah sama teman-teman gue (Icha dan Ayu) bahwa someday, maybe ten years later, kita akan punya majalah sendiri. Sampai sekarang impian ini masih ada. Gue dan Icha masih berkutat di majalah meski Ayu berpaling ke corporate.
Gue suka sama ceritanya meski ini bukan cerita Lauren favorit gue. Tapi… gue nggak suka sama endingnya. Terlalu too good to be true. Kalaupun memang endingnya mau begitu, menurut gue terlalu cepat.

Overall, terlepas dari review negatif di Goodreads, Lauren Weisberger is one of my favourite.
SHARE:
0 Comments

[Indonesian Romance Reading Challenge] #25 Bangkok: The Journal - Moemoe Rizal

Leave a Comment
Bangkok: The Journal
Moemoe Rizal



Bangkok: The Journal mengajak pembaca bersama-sama Edvan mengelilingi Bangkok mencari lembaran kalender tahun 1980 yang dititipkan oleh ibunya kepada orang-orang yang dia percayai. Bukan sembarang kalender karena di balik lembaran kalender usang itu ada catatan ibunya. Cerita ketika ibunya berada di Bangkok dan jatuh cinta pada ayahnya.
Selama sepuluh tahun Edvan hidup sendiri, bersama keangkuhannya, dan kebenciannya kepada ibu dan adiknya, Edvin. Edvan sukses. Kaya. Ganteng. Arsitek terkenal di Singapura. Ogah untuk pulang karena gengsi. Tapi pesan dari Edvin mengubah segalanya.
Ibunya meninggal.
Edvan pulang.
Bertemu Edvin yang sudah berubah jadi Edvina.
Dulu Edvan pergi karena bersitegang dengan ibunya mengenai wasiat ayahnya. Sekarang Edvan mendapatkan wasiat dari ibunya berupa lembaran kalender berisi cerita ibunya tahun 1980. Edvan harus mencari enam lembaran lainnya di Bangkok.
Sounds impossible, isn’t it?
Edvan juga merasa begitu. Bisa saja dia mengabaikan pesan terakhir itu, memesan tiket ke Singapura dan melanjutkan hidupnya. Edvin juga sudah memberinya opsi itu. Namun sisi hati terdalamnya membuatnya menyadari bahwa dia merindukan ibunya dan menyayangi beliau sehingga dia pun menerima tantangan ini.
Bersama kakak beradik Charm dan Max, Edvan mengelilingi Bangkok dan mendapatkan hal yang lebih berharga ketimbang warisan. Cinta dan keluarga.
Ini pengalaman pertama membaca buku Moemoe Rizal. Pengalaman pertama membaca serial Setiap Tempat Punya Cerita yang dikeluarkan Gagas Media dan Bukune. Buku ini berangkat dari sudut pandang Edvan dan feel cowoknya dapet banget. Good job, Moe.
I love drama. I love romance. I love travelling. Ketiganya terangkum dalam serial ini. Kece.
First though: Moemoe’s writing style’s is engaging. Niat awalnya cuma mau baca dikit pas tidur-tidur ayam begitu pulang kerja. Tahu-tahu nggak bisa berhenti sampai gue membalik halaman terakhir jam 02.00 dini hari. Untung besoknya Sabtu. Niat untuk berhenti di tengah-tengah dan lanjutin besok jadi nggak terlaksana karena cara Moemoe bercerita benar-benar engaging banget.
Karena ini buku STPC pertama yang gue baca, gue nggak punya perbandingan dengan seri lain soal deskripsi tempat. Moemoe deskripsinya juara. Bukan cuma deskripsi tempat yang benar-benar detail, kebiasaan orang Bangkok juga detail. Cuma satu yang bikin lidah gue keseleo, kutipan dalam bahasa Thai. Alamak, itu bahasa kan susah dibaca. Jadi, gue skip aja hehe.
Gue sempat pesimis awalnya karena seri ini menggabungkan cerita dengan travelling. Biasanya, jika dua hal ini digabungkan, ada salah satu yang keteteran. Good job, Moe, semuanya pas. Nggak ada yang keteteran. Travelling-nya pas. Romance-nya pas. Drama family-nya pas. I love it.
Inti cerita ini menurut gue adalah drama family. Bahwa sejauh manapun lo pergi dan nggak mengakui homesick, sisi hati terdalam lo mengakui itu. gue nangis waktu baca Edvan nelepon Edvin saat dia di bandara Khan Koen. Sendirian dan ingat waktu kecil kenekadannya bikin dia ke Surabaya sendirian tapi malah nyasar ke Yogya. Tapi ada orangtuanya yang menjemputnya. Sekarang orangtuanya udah nggak ada tapi tiba-tiba aja Edvan nelepon Edvin. Mesk dia nggak mau ngaku, narasi Edvan di bagian ini bikin haru.
Banyak adegan yang bikin haru. Gue lebih suka cerita Edvan-Edvin ketimbang Edvan-Charm.
Tokoh-tokohnya kuat banget. Edvan yang narsis, Charm yang menyenangkan tapi misterius, Max yang riang-bodoh-kekanak-kanakan, dan Edvin yang ramah dan centil. I love all of them.Interaksi antar tokoh bisa bikin ketawa. Bahkan tokoh-tokoh minor yang selewat muncul selama pencarian Edvan pun nendang banget. Terutama si kecil Kanok dan Monyakul. Gue juga nangis waktu adegan Kanok-Monyakul ngobrol sama Edvan ini.
Satu hal yang gue acungi jempol adalah keberanian Moemoe mengangkat isu transgender. Iya sih, di Bangkok ini nggak heran lagi. Namun, menghadirkan sosok utama Edvin yang berubah menjadi Edvina, itu cukup berani. And I love it. (Edvina reminds me of someone. My senior at campuss).
Oh ya yang cukup bikin gue shock. Charmn ceritanya kuliah di Indonesia. Komunikasi UI. Mengingat umur Charmn 26, berarti dia masuk kuliah angkatan 2005, dua tahun di atas gue. Tapi nggak ada tuh seingat gue senior gue dari Thailand #eaaa *lol*.
Membaca cerita ini, gue selalu terbayang Loong aka Theradej Wongpuapan, aktor Thai yang main di Bangkok Traffic Love Story. Film Thai pertama yang gue suka, sampai sekarang. Baca Bangkok bikin gue kangen nonton film itu, nggak terhitung udah berapa sering gue nontonnya hihi.
Namun, ada yang mengganggu keasyikan gue membaca buku ini. Font yang digunakan pas bagian jurnal ibu Edvan sukses bikin gue jereng. Apalagi penerangan kamar yang remang-remang, makin minus deh mata gue haha.
Once again, ketidakkonsistenan. Gue nggak tahu apa ini luput dari editan apa gimana. Jadi, di awal-awal Edvan belum bisa menerima keadaan Edvin. Dia masih menyangkalnya. Baru menjelang akhir Edvan mau memanggil Edvina. Tapi… di awal-awal beberapa kali disebut Edvina padahal saat itu Edvan belum menerimanya. Kalau dilihat sih sepertinya itu kesalahan editan aja alias bisa sih dibilang typo. Well, kurang teliti lebih tepatnya. Kedua, di bagian jurnal ibu Edvan, kadang dia menyebut dirinya aku, kadang saya. Well, gue ngerasa terganggu aja.
Ketiga, Charm (nama aslinya bukan ini tapi berhubung buku gue lagi jauh dan nama aslinya susah banget, jadilah gue nggak nulis di sini hihi). Gue udah bisa menebak kalau Charmn ini sebenarnya *uhuk* ya gitulah. Maksudnya buat twist tapi kebaca dengan jelas ke arah sana. Ketika Charm berbohong tentang keadaannya dengan menyebut tunangan, reaksi gue cuma ‘come on? Tunangan? It’s so ordinary. Udah biasa. Ketebak banget. Toh udah banyak yang memakai formula ini’.
Tapi, hal itu nggak mengurangi kesukaan gue sama buku ini. Malah gue mau baca buku Moemoe Rizal yang lainnya. Kangen juga baca buku dari penulis cowok dengan gaya yang cowok banget.
Oh ya, Edvan ini ceritanya kan arsitek. Ini juga two thumbs up buat Moemoe karena benar-benar berhasil menampilkan arsitek yang sebenarnya. Ketika Edvan mengomentari sebuah bangunan dengan bahasa-bahasa arsitek—kolom—gue ingat si Mas Arsitek satu itu dan keingetan waktu ngobrol sama dia dengan gaya yang kurang lebih sama seperti Edvan. Ketika Edvan narsis, ya well, bukankah arsitek selalu merasa dirinya dewa? Hihi.
Well, salam dari Bang Kachao

SHARE:
0 Comments

[Indonesian Reading Romance Challenge] #24 I For You by Orizuka

Leave a Comment
I For You
Orizuka


Princessa Setiawan and Benjamin Andrews. Sepasang pangeran dan putri yang selalu bersama. Kaya, good looking, Benji yang penuh pengertian, Cessa yang naïf dan lugu, dan untunglah mereka tidak terlalu pintar malah cenderung bodoh dengan peringkat bawah di kelas meski hal itu nggak membuat mereka terlihat normal, masih too good to be true. Setelah selama ini home schooling, Cessa membujuk ayahnya untuk masuk ke sekolah umum hanya karena ingin merasakan hidup normal seperti yang dia lihat di film Disney. Akhirnya keinginannya dikabulkan dan Benji ikut sekolah. Mereka dinobatkan sebagai pasangan fenomenal satu sekolah.
Then they met Surya and Bulan, kakak adik miskin yang sekolah karena beasiswa. Surya si jenius dan Bulan si atlet panahan. Takdir mereka bertemu and the rest of the story. Hingga sebuah kenyataan membuat mereka harus saling mengucap goodbye.
So, this is the first experience. Orizuka udah nerbitin banyak buku dan berhubung buku-bukunya ala-ala Korea gitu, jadilah gue males bacanya meski banyak review bagus untuk buku-bukunya Orizuka. But now I read her book for the first time. Minjem pula. I For You. Semata karena buku ini tanpa Korea-Koreaan. Baiklah.
Gue selesai baca buku ini dalam tiga jam. Ceritanya yang ringan dan bahasa Orizuka yang sedikit mendayu-dayu bikin gue nggak betah dan ujung-ujungnya banyak skip. Tapi masih ngerti sih ceritanya kayak apa. Salut gue acungin karena Orizuka mengangkat penyakit yang belum pernah (atau seenggaknya ini pertama kalinya gue nemuin penyakit ini di novel Indonesia) sehingga menambah pengetahuan banget. Von Willebrand Disease. Penjelasannya pas banget, dan cara pengobatannya juga menambah pengetahuan banget.
Once more, di awal gue berharap Benji memberontak ketika dia sadar dia memiliki hidup sendiri, bukan hanya sebagai pangeran penolong untuk Cessa. Ada bagian ketika gue pengin banget Benji memberontak, ketika Cessa nggak mau sekolah dan Benji jatuh cinta sama Bulan. Tapi… ketika akhirnya malah Cessa yang melepas Benji, semakin membuat Benji terlihat too good to be true.
But afterall, this is a light book. Cuma, not my cup of tea aja tapi nggak menutup kemungkinan gue akan baca buku Orizuka lainnya.

For Benji, see you ten years to go yah. Ketika kamu udah gede dan jadi arsitek. Semoga kamu seganteng Hamish, hihi.
SHARE:
0 Comments

[book review] The Devil Wears Prada by Lauren Weisberger

1 comment
The Devil Wears Prada
Lauren Weisberger



Beware of the devil.
Ten years ago, every girl in the world wants to be like Andrea Sachs, got a job at the most prestigious fashion magazine in the world, Runway. A job who million girls would die for. Being a second assistant of Miranda Priestly, editor in chief of Runway, the fashion guru, the most powerful woman in publishing industry, and also The Devil.
Andrea Sachs, 23 years old, a fresh graduate who wants to be a writer at The New Yorker or something like that finally landed at Runway, being a second assistant. Shes’n not into fashion. She didn’t understand every single thing about fashion. She did it because every people at Runway promise her that this is the best chance to improve herself, a job who million girls would die for, and after that, Andy get the opportunity to take a job wherever she wants.
Sounds promising, isn’t it?
Until she met the Devil, the ultimate Miranda Priestly.
And the rest of the history. One year experience full of ups and downs until Andy finally realizes that she becomes a mini-Miranda.
I’m pretty sure all of you know that story.
Setelah sukses dengan novel pertamanya ini, Lauren Weisberger menempatkan dirinya sebagai salah satu penulis chicklit paling berpengaruh saat ini. Title The #1 New York Times Best Selling selalu melekat di setiap bukunya (finally, I have all of that, including Revenge Wears Prada, the sequel). Belum lagi kesuksesan ini berlanjut setelah diangkat jadi film.
First of all—for thousands times—I want to say that I looooove LW. She always fulfill my needs to a story about urban woman and her life. Gue pernah baca terjemahannya tapi ketika gue membaca versi Inggris buku LW—waktu itu Chasing Harry Winston—I fall for her. I love her detail. Her writing style. Lugas, deksriptif, witty and real. Ini yang nggak gue dapet di terjemahan jadi ketika gue baca The Devil Wears Prada di bahasa aslinya, I have a good experience.
Oke, gue akui gue baca ini sebagai antisipasi terbitnya Revenge Wears Prda awal Juni 2013 ini.
Okay, back to the book. Ceritanya sudah hafal pasti ya. Tapi… berkaca ke filmnya, alurnya beda banget. Rempongnya kerjaan Andy—dan sebagian besar nggak penting—lebih terasa. Cara Lauren menggambarkan Miranda itu benar-benar sempurna—dan setelah MP, hampir setiap tokoh berpengaruh di majalah fashion mengikut dia. Memang sih tokoh utamanya Andy, tapi gue lebih suka sama MP. Dan Meryl Strepp benar-benar perfect sebagai the ultimate MP.
Ketika gue membaca buku LW yang lain, heroine-nya hampir sama semua. A lil bit polos dan baik, dan punya fabulous sidekick—formula LW—dan nggak mandiri, I mean selalu butuh nasihat orang terdekatnya even untuk masalah sepele sekalipun.
Saat membaca buku ini, gue mencoba untuk mengabaikan alur di film dan mendapati banyak banget perbedaan. Sama Christian Colinsworth cuma sebatas flirting, nggak seintens di film. Lily di film nggak terlalu intens, dan perannya banyak digabung ke dalam sosok Emily. Film lebih drama karena memang dibutuhkan ya. Dan nggak ada tuh ending Miranda nge-kick Nigel demi mengamankan posisinya dan membuat Andy sadar kalau dia akan menjadi mini-Miranda. Di buku, kesadaran itu timbul lebih ke konflik diri Andy, ketika Andy sadar dirinya udah banyak banget berubah dan ketika dia melihat Miranda, she realizes that she doesn’t want to be like her boss.
Fuck you, Miranda. Go fuck yourself.
Yess, this is Andy’s statemen line yang membuatnya jadi bulan-bulanan Page Six setelah pemecatan di Paris.
You remind me of myself when I was your age.                                                                           
This is Miranda’s line who make Andy think about her life.
Afterall, I love this story meski favorit gue tetap Chasing Harry Winstone. And now, I’m ready to read Revenge Wears Prada, fresh from the oven, and still about Andy and her life. When Andy realize that she’s going to be like Miranda. Being The Devil.

Dan ucapan Miranda sepuluh tahun lalu itu cukup terbukti. Aaakkk… nggak sabar.

PS: Dan The Ultimate MP sebagai penggambaran The Ultimate AW semakin menjadi-jadi hihi
SHARE:
1 Comments

[book review] Any Man Of Mine by Rachel Gibson

Leave a Comment
Any Man Of Mine
Rachel Gibson

 (Nggak suka sama cover ini karena Sam berambut hitam, harusnya pirang, dan Autumn berambut cokelat harusnya merah)

Warning: Jika dalam keadaan jomblo akut, silakan berpikir seribu kali lipat sebelum membaca buku ini.
Autumn Haven, 30 tahun, single mother, yang sukses dengan bisnis wedding organizer miliknya. Karena sebuah kebodohan hampir enam tahun lalu di Las Vegas, the sin city, Autumn jatuh cinta sama Samuel LeClaire, pemain hockey terkenal, dan menikah. Namun besoknya, Sam meninggalkannya di kamar hotel. Tanpa penjelasan. Hanya selembar wedding certificate. Beberapa minggu kemudian hanya lawyer Sam yang menghubunginya dengan tujuan mengurus perceraian.
Dan Autumn hamil.
Sam memang bertanggungjawab sih dengan masih membiayai Conner, anak mereka. Sam tetap dengan kehidupannya yang glamour dan suka gonta ganti pacar. Autumn sendiri terus bekerja keras demi kehidupannya dan Conner dan sejak hamil sampai sekarang nggak pernah pacaran lagi.
Lalu mereka bertemu lagi ketika Conner berumur lima tahun di salah satu pernikahan teman Sam yang di-handle Autumn.
Sam mulai menunjukkan gejala ingin menghabiskan waktu sebagai ayah yang baik. Autumn mulai menyadari bahwa dia masih mencintai Sam. Bahkan lebih. Cinta yang lebih dewasa.
*hela napas dulu*
Any Man of Mine. Novel Rachel Gibson pertama yang gue baca. Gue sering melihat novel Gibson tiap kali ke Periplus atau Kinokuniya dan suka dengan covernya yang manis. Setelah sekian lama penasaran, akhirnya gue punya juga satu buku dia dan baca.
And I loooooveeee it.
She’s a lil bit like Nora Roberts with a taste of Lauren Weisberger. Nah loh. Maksudnya, romantisme yang dihadirkannya seperti Nora Roberts tapi gaya berceritanya lugas dan detail dengan lebih mengutamakan perasaan tokoh-tokohnya, just like Lauren Weisberger. This is a light book. Gue selesai baca dalam waktu kurang dari lima jam. Selain karena ceritanya yang bagus, cara bercerita Rachel begitu engaging. Terlebih interaksi Sam dan Conner. Ohmigod! FILF alert.
Why I love imported book is idenya yang kaya. Las Vegas as a sin city benar-benar digambarkan penuh dosa. Club and wine and alcohol and dance and man and woman. At the bed, hanging at the wall, at the couch, poolside, at the pool even at the limo around the city. Ohmigod. Panas bo, haha.
Dannn… adegan seks-nya bisa digambarkan dengan manis. Like Nora Roberts. Nggak jijik seperti 50 something dan kawan-kawan itu, hihi.
Samuel LeClaire. A Canadian. Hockey player. Yang benar-benar sadar dengan uangnya yang banyak dan kerja kerasnya selama di pertandingan, dia harus bersenang-senang. Namun ada turning point ketika bersenang-senang versi Sam bukan lagi party and woman but having a great time with his son. Dan Autumn.
Sam has a high cheekbone. Dan ada satu kalimat di sini: He wanted to eat her up. This sentence reminds me of Benedict Cumberbatch and his kind of kissing. And of course, his cheekbone. Oh, his blue eyes and golden hair too.
 Sayangnya Kak Ben badannya nggak segede badan Sam. Pemain hockey kan badannya gede banget, hihi. Tapi gue masih ngebayangin Kak Ben selama membaca buku ini.

Autumn sendiri digambarkan berambut merah alami dank arena lagi nonton Game of Throne, mau nggak mau ngebayangin Rose Leslie sebagai Autumn, hihi. *kadang Autumn as gengges as Ygritte juga sih hihi*

Gue suka interaksi antar tokoh yang dihasilkan.

Sebagai percobaan pertama, gue puas dengan Rachel Gibson dan masih mencari novelnya yang lain, termasuk novel yang menuai banyak review dan menjadi bacaan wajib seorang hopeless romantic; Sex, Lies, and Online Dating.
SHARE:
0 Comments

#Kadountukblogger #UnforgotTEN @GagasMedia

Leave a Comment
#Kadountukblogger #UnforgotTEN @GagasMedia

What do you think about a book?

For me, book is my soul. I have been a voracious reader. Since I was a kid, i read everything. I remember when my mom gave a book to me. And I'm falling in love with words.

Dulu, gue baca ya cuma baca aja, nggak ada niat untuk ngereview or something. Just enjoying the book. Gue pernah merasakan masa-masa susah mendapatkan buku karena tinggal di kota kecil yang untuk ngedapetin buku mesti menempuh perjalanan darat selama dua jam. Jadi, jangan harap bisa langsung melahap buku new release.

But now I can find every book that I want. Anything. Dan ketika akses untuk mendapatkan buku itu semakin gampang, minat baca gue semakin menjadi-jadi. It's okay when I'm laying in my bed for several days with books. Just me and book. That's kind of heaven for me.

Setelah aktif ngeblog, gue mulai sering membuat review. I just want to share. Nggak peduli buku itu memuaskan atau nggak , I just want to share. Because sharing is part of love. I just want anyone out there, who have a difficulties to find a great book, can get a mini-perspective from me. I read anything but  for now I prefer romance chicklit and sometimes I read fantasy--if I want to escape from reality hehe.

Gagasmedia. I know Gagasmedia since I was in Senior High School. Kambing Jantan was the first Gagasmedia's book who I've read. And then Cintapuccino and I love it. Then came Always Layla who make me cry all day long. When I was in college and I think that romance is my cup of tea, Gagasmedia provide me with a loooootttt of romance. Pillow Talk, Baby Proposal, Dia, Rain Affair, After Office Hour, Alpha Wife and many more. I know Christian Simamora, Dahlian, Ollie, Clara Canceriana, WIndry Ramadhina and many more from Gagasmedia's book.

What I love from Gagasmedia? As a hopeless romantic person, i always feel hungry to eat more and more and more about romance. Dan siapa yang bisa menolak kalau Gagasmedia itu gudangnya cerita romance? Bukan hanya roman, sebuah buku juga bisa mengajak pembacanya melanglang buana. Travel literature. Gue bisa mengunjungi sebuah negara hanya bermodalkan buku. Being coach traveller.

And when romance and travelling become one, all I can say is I AM VERY HAPPY. Two thumbs up for Setiap Tempat Punya Cerita. So, from romance to travel literature, Gagasmedia fullfil my needs. I'm looking forward to more surprises from Gagasmedia *ide-idenya out of the box banget*

Di tahun 2013 ini, minat baca gue sedang gila-gilanya. Gue punya target membaca 100 buku Indonesia asli dan 50 buku berbahasa Inggris *sounds ambisius? Well, I don't care* and i share my review in this blog. Because of that, I 'pursue' Gagasmedia to choose me as one of 30 bloggers to receive a ten packs of books. It was my pleasure. I'll read all of them and write the review.

Here's 10 Things I Love About Reading and Reviewing and Why I Deserve to be a Winner
1. Book is my way to keep me alive.
When I feel bored or tired or anything, reading is my way to make me feel still alive *lebay*. But seriously, kalau bosan atau stuck or anything, gue bisa lari ke dunia yang diciptakan oleh buku yang gue baca. And it's fun.

2. Book is my friend to accompany me.
As a commuter, I spent a lot of my time at train or public transportation. It sucks. Traffic or waiting at train station are wasting my time and I hate to do nothing. So, I need a book. Gue bisa menyelesaikan satu novel hanya dalam perjalanan ke dan dari kantor di atas kereta. Dan ketika baca, I forget anything. Gue lupa akan capek karena berdesak-desakan di kereta atau lupa akan bosan karena macet. That's why I always keep a book in my bag.

3. Books make me happy.
Satu buku bikin gue senang, apalagi sepuluh? Ohmigod.

4. Book is my kind of share
Ada banyak informasi terdapat di buku, bahkan buku yang katanya nggak banget pun menyimpan banyak informasi. Ketika ngereview, gue juga memunculkan informasi-informasi itu sehingga bukan cuma gue yang makin pinter, orang lain juga, hehe.

5. (Don't) judge a book by it's cover
Classic. Siapa yang bisa menolak cover buku Gagasmedia yang selalu juara? Seringkali gue membeli buku karena tergiur oleh cover-nya. Kalau ternyata isinya nggak sesuai selera, ya nevermind.

6. Books make me travel without moving
Couch travelling versi gue. Mau ke Paris, silakan cari buku dengan setting Paris. New York, Milan, London, Singapore, Bali, Yogya, Hong Kong, Tokyo, Seoul, even Westeros and Middle-earth, I can go there. With my books.

7. Books make me feel full of love
I am hopeless romantic person and I am proud of that. Buku membuat gue jatuh cinta, bukan hanya karena ceritanya, tetapi juga karena tokoh-tokohnya, terutama pria. Christian Simamora, Dahlian, Windry Ramadhina dan Nina Ardianti memuaskan dahaga gue akan pria-pria slurpee nan lovable.

8. Reading and Reviewing helps author to write better.
I see form author's perspective. I am a writer and I've learned a lot from books I've read. Mulai dari hal simpel seperti tata bahasa dan tanda baca, sampai ke hal yang lebih kompleks seperti pengembangan karakter atau deskripsi atau narasi atau dialog yang memikit. Anything. Dengan review, gue juga bisa membantu si penulis untuk melihat titik kelemahannya dan memperbaikinya in his/her next book.

9. Book is a kind of saving
Book is an investment. Gue punya buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck cetakan tahun 1939 yang diturunkan di keluarga mama. Itu warisan berharga buat gue. And I do it now. Koleksi buku gue yang kelak bisa dibaca oleh anak gue.

10. Book is my teacher
Bukan hanya pengalaman yang bisa menjadi guru, buku pun begitu. Gue bisa belajar banyak hal. Entah itu kehidupan di zaman perang, kehidupan perempuan di New York, dating rules, sex and relationship, money, pengembangan diri, anything.

I hope I'll be one of the luckiest bloggers.

And here's my wishlist.

Restart by Nina Ardianti
I never read Nina's book before but I read her blog. I am falling in love with her writing style. Dan buku ini punya review bagus. Everybody talks about it. Gue rasa itu cukup jadi alasan why I want to read this book.

Notasi by Morra Quatro
I read Rorgiven and I love it. Notasi is Morra's new book. The story is about Indonesia at 1998. Reformasi. Juga tentang berdirinya radio besar di Yogya, Swaragama. Cerita cinta berbalut sejarah? Can't wait to read this book.

Paris by Prisca Primasari
I read Eclairs and Kastil Es dan Air Mancur Yang Berdansa I have no doubt about her. Enough said.

Roma by Robin Wijaya
Everyone said that Paris is the most romantic place in the world but for me, It's Roma. When love and fashion and football become one, haha. Gue mau tahu seperti apa Robin menceritakan romantisme Roma.

Fly To The Sky by Nina Ardianti and Moemoe Rizal
Gagasduet is one of surprise from Gagasmedia. Menurut review, buku ini banyak dianggap sebagai Gagasduet terbaik, so I want to read this.

Refrain by Winna Efendi
Perjumpaan pertama dengan Winna, melalui Ai, belum membuat gue jatuh cinta. Lalu ada Remember When and I love it. Berhubung Refrain The Movie akan segera tayang, I want to read this book before watch the movie.

Camar Biru by Nilam Suri
I love the cover. Enough said.

Always, Laila by Andi Eriawan
Gue pernah punya buku ini dan membacanya ketika SMA dan gue masih ingat kesedihan yang gue alami ketika membaca buku ini. Namun buku gue hilang dan ketika Gagasmedia menerbitkan ulang buku ini, I am so happy. Gue akan membaca ulang buku ini meski yakin gue akan nangis lagi.

Separate Beds by LaVyrle Spencer
I love Then Came Heaven dan sayang sekali gue belum sempat baca buku ini. I love Spencer so I will love this book.

Melbourne by Winna Efendi
Jarang-jarang yang mengambil setting Australia sebagai latar cerita. Gue tertarik karena Winna mengambil Melbourne yang masih jarang diangkat. I just want to know about Melbourne dan romantisme kota itu.
SHARE:
0 Comments

[Indonesian Romance Reading Challenge] #23 Cintapuccino by Icha Rahmanti

Leave a Comment
Cintapuccino
Icha Rahmanti



Have you ever have your Nimo? You know, an obsession?
I did. Once in my life, and lucky me, I’m not a crazy girl like Rahmi who have an obsession about Nimo.
Aphradita Arrahmi, sudah punya prince charming yang siap mengajaknya menikah sehingga nggak usah khawatir dengan quarter life crisis yang wajar dialami cewek-cewek twenty something, tetapi out of nowhere bertemu lagi dengan Nimo, Dimas Geronimo, obsesinya sejak SMA yang nggak pernah kesampaian dan selama sepuluh tahun Nimo mengabaikannya sampai Rahmi menderita penyakit Nimo kronis. An egocentric heartless jerk yang nggak pernah menganggap Rahmi ada. Yang selalu menggoda Rahmi and then… ngilang.
Dan satu pertemuan tidak sengaja merembet kemana-mana. Nimo yang—again—out of nowhere muncul di Barbietch, distro milik Rahmi dan mengajaknya nikah padahal posisi Rahmi adalah calon istri Danang Raka Soediro. Dan Rahmi kembali dihantui dengan pertanda-pertanda akan Nimo dan membuatnya bimbang.
Nggak usah diceritainlah ya ringkasannya gimana. I bet buku yang dicap sebagai Chicklit asli buatan Indonesia pertama ini udah pernah dibaca—almost—semua orang.
Gue pernah membaca buku ini dulu, waktu SMA—my bad. That’s why gue kayak cewek dewasa sebelum umurnya in special area *you know what I mean* karena gue pernah, tanpa sengaja, baca Harlequin waktu SMP hihi—dan out of nowhere juga, just like Nimo, ketemu lagi buku ini dan baca ulang.
Second experience.
I remember when first time I knew this story, I looooveeee Nimo. Dengan segala tingkah playboynya. Dengan segala keegoisannya. Dengan segala ketidakpeduliannya. But in my teenage side, cowok unreachable bastard egocentric heartless but in other hand, he’s so perfect—ganteng, kaya, pintar, alim and the next Mas Boy banget—ini menempati urutan pertama cowok idaman. Seriously. Mungkin ini titik awal gue mendamba seorang badboy. Waktu itu, gue melihat Raka sebagai cowok datar tanpa tantangan.
Am I just a cliché?
Rasanya begitu. In my defense now, I was stupid and naïve back then. Karena cowok unreachable bengal badboy wannabe but in other way masih punya sisi charming hanya ada di khayalan. Nyatanya, at my age, cowok kayak Raka-lah yang menempati urutan pertama. You know, kenyamanan dan jaminan masa depan *meski deposit ribuan dollar-nya Nimo masih bikin mata jadi ijo*.
Back to the book. Dulu gue baca cuma karena terbawa euphoria. Gue ingat banget waktu itu lebih suka Dealova atau Fairish atau Vibe-ku karena lebih dekat dengan usia gue saat itu. But now, I can relate to the story. Bukan karena sebentar lagi gue memasuki masa quarter life crisis and being totally single—loh, kok curhat?—karena di usia gue sekarang cerita ini lebih berasa real.
Having an obsession. Kegilaan zaman SMA. I did it. Ketika gue suka nongkrong di teras depan kelas hanya karena pengin lihat Didi—yess, I said it out loud right now—main basket, rela ganti angkot dua kali dan tentu aja ngurangin jatah uang jajan demi seangkot sama Didi dan menghabiskan lima menit penuh dag dig dug dengan CCP—bahasa gue bo jadulnya—atau ketika gue rajin shalat Dzuhur ke mushalla karena si Didi yang anak rohis tentunya rajin shalat—Mak, masa-masa gue masih bener—atau menguntit dia yang dengan pacarnya—Vina. Yess, gue masih ingat—jalan bareng, maksudnya dia nganterin Vina pulang. Gue seperti Rahmi yang menahan napas waktu menelepon dia dan langsung dimatiin begitu diangkat atau pura-pura salah sambung, gue yang nanya every little thing about him ke abang sepupu gue yang segank sama dia. Parahnya, with my besties—Feni, Hilza, dan Ega—buat acara bodoh-bodohan demi mencari tahu who is the best diantara kecengan kita tanpa sekalipun mereka tahu.
What a stupid things we’ve done, right?
But, nggak kayak Rahmi yang bela-belain kuliah di jurusan yang sama dengan Nimo, gue nggak kayak gitu. Karena gue merasa otak IPA gue sangat pas-pasan demi kuliah di Geologi and my tengil side nggak melihat masa depan yang jelas dengan kuliah di sana *tapi gue tetap berharap masuk Unpad demi bareng Didi dan ketika akhirnya dua tahun kemudian, keinginan masuk UI lebih mendominasi dan membuat gue lupa sama sekali. And we’ve done. Selesai sampai di sana.
Till a few months ago. Ketika tanpa sengaja gue ketemu dia lagi waktu gue jalan sama abang sepupu gue yang juga teman segank dia waktu SMA. I am single. He is totally single. But what? Nothing. Gue cuma ketawa-ketawa bodoh mengingat kebegoan zaman dulu and believe me, dia juga ketawa bodoh karena nggak nyangka sama semua cerita gue.
Oke, end of story. Back to Cintapuccino again.
Dulu dan sekarang, I like this story. Ringan. Khas chicklit. Dulu gue kasihan sama Raka but in the end Rahmi sama Nimo, ya gue senang dong. But now, gue bisa melihat dari pemikiran yang lebih dewasa—ciyee—and I think nggak ada orang yang lebih egois dibanding mereka bertiga. Rahmi, Nimo, dan Raka. Rahmi, the lucky bastard. Dia bisa bilang sayang sama Raka dan nggak mau pisah tapi masih nyimpan obsesi sama Nimo. Dia nggak mau pisah sama Raka karena Nimo unreachable. The legend. The same old Nimo. Dan Nimo, out of nowhere tiba-tiba muncul ngaku cinta sama Rahmi. Where have you been, Nimo. After ten years ya ngabaiin orang then bisa-bisanya ngomong cinta? Nggak make sense. So does Raka. Cemen, pengecut, sok idealis, pasrahan. Kalau memang cinta, Y U NO FIGHT FOR RAHMI? Sekarang gue gemes sama Raka.
About Raka. There is something about him who make me feel like him. Idealisnya. Gue merasa balik ke zaman otak gue masih benar. About Aceh something. I mean, conflict area. Di masa-masa awal gue kuliah, ketika gue masih asyik melahap buku memoir jurnalis di daerah konflik. I want to be like them. That’s why gue memilih jurusan Komunikasi. Gue ingin menulis sesuatu, mengunjungi daerah berbahaya cuma sebagai pembuktian bahwa gue bisa dan gue bukan lagi daddy’s little girl yang dipantau 24 jam dan kalau pulang malam dikit langsung dikhawatirin. But back then, gue mikir kalau it’s so not me. Ketika akhirnya mata gue dibukakan bahwa pergi ke daerah konflik bukan satu-satunya cara pembuktian diri. Ketika gue sadar gue nggak akan bisa dan sanggup sebagai wartawan yang sebenarnya. Jiwa gue nggak di sana. That’s why gue menolak panggilan interview Tempo dan Media Indonesia karena gue merasa—in case—gue diterima, gue nggak akan menjalaninya dengan senang hati. Terlepas dari pekerjaan gue sekarang yang nggak oke-oke banget juga, this is better than gue jadi—in case—diterima di Tempo dkk. Seenggaknya erejaan sekarang lebih mendekati gue.
Mengutip ucapan Leo Tolstoy yang dikutip Raka: Bekerja sebagai syarat mutlak dan tidak dapat dihindari dari kehidupan, karena bekerja adalah sumber kesejahteraan yang nyata.
And about Rahmi. Jika gue jadi dia, dengan tabungan ribuan dollar, gue akan bertingkah sama: cabut dari kerjaan yang memuakkan. Sayangnya, tabungan gue zero rupiah *sigh*.
Dan endingnya, gue merasa terlalu dipaksakan. Nggak realistis. Raka yang tiba-tiba ke UK dan Nimo muncul lagi. Bukan berarti Rahmi nunggu Raka itu realistis ya. Jika in the end Rahmi sama Nimo, it’s okay, tapi gue berharap dimulai dari titik nol, nggak sampai mereka nikah. Terlalu cepat. Tapi, gue tetap nggak suka Rahmi sama Nimo. Gue setuju sama--lupa siapa yang nasihatin Rahmi--perasaan obsesi itu cuma penasaran karena Rahmi nggak pernah punya something romantic sama Nimo dan dia cuma mengangan-angankan. Ketika udah dapat momen itu, ya udah. That's why, i prefer Rahmi with Raka, terlepas dari sikap cemen Raka.
About Icha’s writing. I looooveeeee it. Fresh. Mengalir. Dan apa adanya. Ini buku pertama dan satu-satunya Icha yang gue baca dan gue mau baca Beauty Case tapi belum ketemu hehe. tapi, please, editingnya. Diksinya masih banyak banget yang nggak sesuai EYD. Sekedar. Nafas. Apa lagi itu yang gue temuin. Dan nggak konsiste, macam pemakaian gue dan aku dalam satu kalimat. Untuk buku sebagus ini, gue berharap Gagas nerbitin ulang—gue senang Gagas nerbitin ulang Always Layla—dengan catatan diedit ulang.

Afterall, buku ini masih dan akan tetap memuaskan.

Intermezzo: kesukaan gue sama Nimo sedikit berkurang karena selalu kebayang Miller dengan logat Malaysia-nya dan kesukaan gue sama Raka bertambah karena selalu terbayang Aditya Herpavi. Ohmigod, Aditya Herpavi selalu bikin drooling.
SHARE:
0 Comments

[book review] A Bend In The Road by Nicholas Sparks

Leave a Comment
A Bend In The Road
Nicholas Sparks

(Nggak ketemu cover Indonesia dan gue lebih suka cover asli. Tikungan itu jadi inti cerita. Madame Moore's Lane, tempat semua bermula dan tempat semua harus berakhir tapi tidak berakhir.)

Love. Family. Forgiveness.
Another great story from Nicholas Sparks. Buku lama tahun 2001.
Miles Ryan, deputi sheriff di New Bern merasa gagal, baik sebagai seorang suami maupun sebagai seorang sheriff yang notabene adalah penegak hukum, ketika istrinya, Missy Ryan, meninggal akibat tabrak lari. Meninggalkan Miles dan putra mereka, Jonah, yang saat itu berumur lima tahun. Selama dua tahun diisi Miles dalam kehancuran juga penyelidikan tentang pelaku tabrak lari yang memisahkannya dengan Missy. Miles hidup dalam dendam.
Sarah Andrews, setahun setelah perceraiannya, menata hidupnya di New Bern dan meninggalkan semua masa lalunya di Baltimore. Sarah bekerja sebagai guru SD di New Bern dan kebetulan menjadi guru Jonah.
Pertemuan keduanya diawali dengan kekhawatiran Sarah tentang Jonah yang sangat ketinggalan dalam pelajarannya. Selama ini, karena New Bern adalah kota kecil dan semua orang saling mengenal, guru-guru merasa kasihan kepada Jonah akibat kematian Missy sehingga tidak pernah ditekan dalam belajar dan diberi tugas. Sarah ingin memperbaiki itu sehingga dia memanggil Miles ke sekolah. Mereka membuat kesepakatan bahwa Jonah mendapat tambahan pelajaran di sekolah tiga kali seminggu.
Jonah pun akrab dengan Sarah. Miles juga. Lama-lama mereka saling tertarik. Ketika Miles sudah yakin dia bisa menerima cinta baru dan Sarah juga, di saat mereka sudah saling terbuka satu sama lain, sebuah kenyataan muncul dan menjadi penghalang.
Ketika berkas kematian Missy dibuka lagi.
Ijinin gue menghela napas dulu.
Setelah sekian lama nggak baca novel Nicholas Sparks, gue baca lagi. Buku lama beliau, A Bend In The Road. Seperti biasa, gue kembali menemukan tiga formula wajib yang selalu ada di buku-buku Nicholas Sparks: CINTA, KELUARGA, DAN TUHAN. Entah ketiga unsur ini memiliki porsi sama besar atau salah satunya sangat minim. Di buku ini, unsur Tuhan sangat minim dan yang kentara adalah keluarga.
Buku ini bisa dibilang terbagi dalam dua bagian. Satu berupa buku harian yang di pertengahan baru diketahui siapa yang menulisnya, yaitu si pelaku tabrak lari. Bagian lain menceritakan tentang hubungan Miles dan Sarah. Gue bertanya-tanya, siapa pelaku tabrakan ini dan ketika memunculkan sebuah nama, gue nggak yakin but yeah, tebakan gue benar *nangis*.
Gue terharu di beberapa tempat dan tokoh yang paling gue suka adalah Jonah, anak lelaki tujuh tahun yang lucu juga menimbulkan simpati. Rasa-rasanya, gue ingin memeluk Jonah. Setiap interaksi dia dengan Miles sukses bikin berkaca-kaca *dan gue juga berkaca-kaca ketika menulis review ini karena teringat Jonah*. Miles is a filf, seorang ayah yang baik, yang meski emosi, dia tetap bisa berpikir jernih. Dan satu-satunya yang membuatnya mampu berpikir jernih adalah Jonah. Begitupun di keputusan terakhirnya, ketika dia berhadap-hadapan dengan si pelaku tabrak lari. Dia mengambil keputusan itu demi pertumbuhan Jonah. Jonah yang polos dan lugu, pertanyaan-pertanyaannya membuat gue nangis.
“Aku tak suka kertas-kertas itu.”
“Kenapa?”
“Karena,” kata Jonah, “kertas-kertas itu membuat Dad sedih.”
“Tidak.”
“Ya, betul,” kata Jonah, “Dan kertas-kertas itu juga membuatku sedih.”
“Karena kau kangen Mommy?”
“Bukan,” kata Jonah, sambil menggelengkan kepalanya, “karena Dad jadi lupa padaku.”
Ini sebagian interaksi mereka yang bikin gue tercekat.
Di awal-awal, Sparks sudah menggiring pembaca untuk mengikuti Miles dan Sarah yang jatuh cinta. Gue suka chemistry mereka, juga sikap kikuk Miles. Memang sih dia sudah 32 tahun, tapi dia baru jatuh cinta sekali, bersama Missy, kekasihnya sejak remaja, dan tidak pernah pacaran di usia dewasanya. Pertanyaan tentang kipas angin itu benar-benar lucu. Namun, ada kalanya di balik cerita manis itu gue menangis karena Jonah dan Miles. Lalu, di saat semuanya sepertinya akan berakhir bahagia, rahasia kecil yang menghantui Miles terkuak.
Kematian Missy.
Lalu keadaan berubah menegangkan. Memang sih hanya tiga hari, tapi tiga hari ini memenuhi setengah ke belakang isi buku. Peralihan sudut pandang makin membuat cerita semakin tegang dan ketika rahasia itu terkuak, gue bertanya-tanya, apa yang akan dilakukan Miles?
Memaafkan.
The power of forgiveness. Karena cinta yang tulus itu memaafkan.
Dan gue nyesek di akhir cerita karena haru. Dan ya, Nicholas Sparks, gue nggak bisa nggak menyukai tulisan beliau—meski setelah Dear John, beberapa cerita nggak sekuat buku-buku lama beliau.
Satu hal lagi yang nggak hilang dari Nicholas Sparks: setting kota kecil. New Bern. Di buku lain, New Bern sering diangkat. Karena memang beliau tinggal di New Bern, North Carolina. Kesederhanaan warga kota kecil benar-benar menyenangkan untuk dibaca. Dan gue penasaran dengan New Bern.
Berhubung nove-novel beliau yang romantis dan selalu mengedepankan keluarga, gue berani bertaruh beliau tipe family man dan sangat sayang sama keluarganya. Terbukti dari tokoh-tokohnya yang memakai nama anak-anaknya. Miles Ryan di novel ini diambil dari nama dua orang anaknya, Miles dan Ryan. Anaknya yang lain, Landon, dipakai di A Walk To Remember. Savannah muncul di Dear John. Hanya Lexie yang belum gue tahu dipakai di buku apa. Cathy, istrinya, juga jadi nama kecil Catherine di Message In A Bottle. What a perfect life he has, right?
Gue heran, kenapa A Bend In The Road nggak difilmin ya? Padahal bagus loh. Tapi, kalau ditanya tentang buku favorit gue, jawaban gue so far belum berubah, Message In A Bottle. Ini buku dan film sama-sama bagus, sama-sama menyentuh, sama-sama heartwarming, dan ini buku pertama yang mengajarkan gue tentang ending yang realistis.

Always love Nicholas Sparks. Dan gue masih mengumpulkan semua buku beliau, baik Inggris atau terjemahan.

This is New Bern
Dan jika boleh mengusulkan siapa yang jadi Miles Ryan, gue mau Oom Richard Armitage aja yang jadi Miles. Family man, tangguh sebagai sherif, penyayang, dan juga kebapakan. Memang sih lebih tua sepuluh tahun but who cares?


SHARE:
0 Comments

[book review] Sam's Letter To Jennifer by James Patterson

Leave a Comment
Sam's Letter To Jennifer
James Patterson

(Nggak nemu gambar cover versi Indonesia)

Another book from James Patterson.
Sam’s Letter To Jennifer dimulai dengan seorang perempuan bernama Jennifer yang masih berduka setelah satu tahun ditinggal mati suaminya, Danny. Jen dihibur oleh sahabat baik yang juga neneknya, Sam. Lalu cerita berlanjut ke Sam koma karena terjatuh dan Jenni pulang ke Lake Geneva, Wisconsin, untuk menemui neneknya. Dia dikejutkan oleh sebundel surat yang ditulis oleh neneknya. Surat yang sengaja ditulis Sam untuk mengungkapkan rahasia kehidupannya yang dulu, juga mengajak Jen untuk tidak pernah menutup diri dari cinta.
Jen selalu suka setiap kali pulang ke Lake Geneva yang disebut sebagai BPOE (best place on earth). Nggak disangka dia di sana bertemu Brendan Keller, temannya selama liburan musim panas di Lake Geneva waktu kecil. Brendan yang aneh, riang, suka berenang subuh-subuh dan terlihat tanpa beban. Jen pun sering menghabiskan waktu dengan Brendan.
And she fall in love with Brendan.
Tapi bukan James Patterson namanya kalau bukan menyelipkan rahasia dan kejutan di halaman berikutnya.
Setelah nangis kejer di Suzanne’s Diary For Nicholas, gue berharap hal yang sama di buku ini. Tetapi ekspektasi gue terlalu tinggi. Gue cuma berkaca-kaca, nggak sampai nangis kayak di Suzanne.
But this is a great story. Sejak membaca surat Sam, gue pasti menebak rahasia apa yang ingin diungkapkannya? Sam berkata bahwa dia tidak pernah mencintai Charles, suaminya, dan di usia 40-an malah mencintai pria lain. Dia menyebutnya Doc dan Jen mengenalnya. Gue pun mengumpulkan tiga nama—John Varley, Henry, dan Shep—sebagai tersangka. Sempat dimain-mainkan tebakan gue di tengah-tengah, in the end tebakan pertama gue benar. Good point.
Inti surat Sam adalah, jangan pernah pesimis tentang cinta. Jangan pernah menutup diri untuk cinta. Karena cinta akan selalu ada.
Cinta tidak akan pernah mati.
Dan Jen membuktikannya. Dia jatuh cinta lagi. Kepada Brendan Keller. Tetapi, Brendan malah mengidap kanker.
Gue surprise begitu membaca nama penyakit Brendan. Why? Karena di outline terbaru gue juga membahas penyakit yang sama. It surprises me. Tapi setelah dibaca ternyata Brendan mengabaikan treatment dan memilih operasi. He survives. Tapi tokoh gue? Entahlah. *nangis*.
Meski nggak sebagus Suzanne—menurut gue—gue cukup puas dengan buku ini. terutama cliffhanger di akhir bab benar-benar bikin gue sesak napas. No wonder sih ya secara James Patterson kan penulis thriller dan detektif.
Satu lagi. Setelah membuat gue jatuh cinta dengan Martha Vineyard di Suzanne’s Diary For Nicholas, sekarang gue jatuh cinta sama Lake Geneva dan mau punya rumah di pinggir danau kayak Sam dan punya dermaga sendiri. Pasti romantis baca buku sore-sore di dermaga bareng the love ones, hihi.

Last but not least, always remember that love will find you. Love is never die.

Ini dia Lake Geneva yang bikin mupeng.

SHARE:
0 Comments
Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home
BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig