Fade In Fade Out
Wiwien Wintarto
Tell me, what pop into your mind when you heard about sinetron? Me:
cheesy, nggak logis, sumber hina dina, kumpulan mata melotot dan ngedumel
sendiri, artis remaja yang disulap jadi tua and
so on and so son.
Sinetron menjadi premis utama
novel ini. Fade In Fade Out bercerita tentang Seto, seorang editor di Tabloid
Abege—tabloid lokal di Semarang—yang sering menghina sinetron dalam setiap
reviewnya. Sampai sinopsis dia yang berjudul Keluarga Kancil diterima oleh
sebuah PH kecil. Dengan penuh tekad baja dan idealisme tinggi, Seto berangkat
ke Jakarta demi mengubah pola persinetronan tanah air. Seakan belum cukup, sinopsis
dia yang lain—berjudul Kafe Lima—juga diminati oleh PH besar. Kali ini, si PH
besar itu—SineStar—malah merombak Kafe Lima jadi seperti sinetron yang ada
sekarang. Seto gambling, take it or leave
it? Selain itu, dia juga bingung karena merasa jatuh cinta sama Farah si
anak konglomerat bos Magelang FC atau melanjutkan rencana perjodohan yang
diatur oleg keluarganya dengan Dana, assistant creative director Winner
Publishing.
Top of all, ketika membaca novel ini gue serasa kembali digiring ke
ruang kelas kuliah. Dengan Bang Ade Armando atau Mbak Nina Armando bercerita
panjang lebar tentang kondisi pertelevisian Indonesia. Gue serasa bukan lagi
baca novel, melainkan ada di kelas Sistem Komunikasi Indonesia. Time flies. Rasanya baru kemaren gue
masih mengangguk-angguk paham atas penjelasan Bang Ade tentang dunia televisi
Indonesia. Sekarang? Gue udah kerja aja bo.
Ketika membaca novel ini, mau
nggak mau gue ikut ngakak dengan komentar Seto. Well, komentarnya benar banget. Tentang sinetron sekarang yang
makin nggak banget. Mau sok-sokan idealis mbok ya susah karena bawaan PH ya rating melulu *rating. Pembahasan penting selama empat tahun kuliah hahaha* Seto
yang dengan penuh idealisme mau membuat sinetron seperti halnya Dawson Creek, Party Of Five, Friends, and
others hanya bisa gigit jari saat skenarionya diobrak abrik. Ya mau gimana
lagi? Saat ini memang keadaan pertelevisian nggak ramah sama mereka yang
idealis. Ketika kuliah pun gue sering membahas hal ini—termasuk beberapa paper yang pernah gue kerjain. Nyatanya,
saat kerja? Terjebak kapitalis. Realistis. Sigh!
Overall, ceritanya seru—terlepas dari bayangan akan masa kuliah
yang selalu melintas di benak gue. Tapi… ini buku Wiwien Wintarto pertama yang
gue baca dan gue menyadari tokoh Farah ada kaitannya dengan novel sebelumnya,
The Sweetest Kickoff. Arghh gue belum baca. There is a hole in this novel yang gue rasa bisa gue temukan di The
Sweetest Kickoff. Jadi nyesel kan selama ini selalu menunda-nunda baca TSK?
Pokoknya habis ini harus baca TSK.
I love Mas Wiwien writing style. Berasa real. Membaca biografi singkat di belakang novel, nggak heran sih. Secara
Mas Wiwien memang seornag wartawan yang pernah terjun ke dunia sinetron.
Satu lagi dan ini yang paling
penting. Ketika baca novel luar—tarohlah Lauren Weisberger karena gue baru
selesai baca novel dia juga—penulisnya dengan santai mencatut nama tokoh asli,
seperti artis-artis yang ada. Sedangkan di novel Indonesia gue jarang
menemukannya. But I found it here. Yup,
hal yang bikin novel ini lebih real
adalah kehadiran tokoh-tokoh nyata macam Dana yang kenal sama Ricky Harun,
Zainal Abidin Domba yang mau main di keluarga Kancil, ayah Farah yang pejabat
Partai Demokrat dan pendukung SBY, lagi meeting
dengan petinggi PSSI dan Menpora. Aaakkkk….
I like it. Ketika di novel Lauren, gue mempelajari, jika kehadirannya hanya
sekadar pemanis dan nggak member efek negatif kepada si tokoh, so be it. Ketika seorang artis memegang
peranan penting—seperti artis Layla Lawson di Last Night at Chateau Marmont
yang kerjanya mengganggu Julian—dibuat nama bikinan. Kalau cuma selintas lalu,
yowislah, pake nama asli. Di sini juga begitu. Surprise bo. Terus ya nama stasiun televisinya juga disebut yang
beneran ada macam RCTI, SCTV, Indosiar deelel. Giliran kantor advertising Dana, mengingat porsinya
banyak, ya dibuat sendiri. Finally ada
juga novel yang kayak gini.
Satu yang bikin gue gregetan,
perubahan sikap tokoh Farah. Memang sih cukup dijelasin alasan dia berubah tapi
ya gue merasa masih belum cukup. Berdasarkan info yang gue dapat, katanya Farah
lumayan banyak nongol di The Sweetest Kickoff. Yuk mari mencari novel itu buat
mengurangi penasaran. Terus yang lucu, penggambaran tokoh Dana. Gue selalu
yakin kalau orang beneran tajir melintir itu nggak sombong malah bisa dibilang
humble karena bagi dia duitnya ya udah, nothing
special. Yang norak itu si tajir nanggung. Di novel ini juga gitu. Farah si
tajir melintir biasa aja, justru Dana si tajir nanggung yang norak dan show off. Hahaha.
At last, yang bikin gue ngakak adalah nama PH, NE dan SineStar. Merasa
familiar? Gini deh, nama PH terbesar yang menguasai televisi saat ini apa?
SinemArt dan MD Entertainment. SinemArt jadi SineStar. MD jadi NE (abjad
setelah M ya N. setelah D ya E). Kreatif hahaha.
So far I enjoy this novel. Buat mahasiswa Komunikasi, baca deh. Dijamin
kalian akan kangen kuliah. Karena gue kangen duduk di kelas Sistem Komunikasi
Indonesia atau Psikologi Komunikasi atau Komunikasi Global atau Kapita Selekta
Jurnalisme atau Manajemen Media Massa deelel untuk membahas masalah sistem komunikasi
kita bersama dosen-dosen gue yang keren-keren dan pintar-pintar itu, terutama
Ade Armando—and yup, bahan kuliah tentang kejatuhan TVRI, Bhakti Investama, dan
system pertelevisian dulu dan sekarang masih nyantol di otak gue hihihi.
PS: Gue suka covernya. Setelah lihat siapa yang bikin, ternyata eMTe, pantesss bagus. Setelah dilihat-lihat lagi, iya sih penggambaran Seto dan Farah mirip ilustrasi eMTe di majalah yang selama ini gue lihat.
that's right. NE dan sinestars, haha...!
ReplyDeletePengen baca, kayaknya lucu ni novel
ReplyDelete