Dear Friend With Love
Nurilla Iryani
Dear Friend With Love. dari
judulnya aja udah ketebak ceritanya kayak apa. Yup, tentang Karin yang selama
delapan tahun cinta mati sama sahabatnya sendiri, Rama, tapi harus tabah
menjadi tempat curhat Rama tentang cewek-cewek yang dipacarinya. Sampai ketika
Rama akhirnya melamar pacarnya bernama Astrid—dipanggil Cicit—dan Karin
memutuskan untuk move on alias it’s enough sama cinta sepihaknya. Karin
pun dimakcomblangin sama nyokapnya dengan Adam, anak teman baik si Ibu yang
juga cinta monyet Karin waktu SMA. Karin tidak menyangka jika cowok cupu yang
dulu suka dikejar-kejarnya sambil menggondol Tupai di US sana sudah menjelma
jadi cowok seganteng Rio Dewanto. Sementara itu, Rama sendiri mulai
mempertanyakan hubungannya dengan Cicit. Di saat dia seharusnya senang
mempersiapkan pernikahan, yang ada malah stress dan tertekan. Apalagi waktu
Cicit member ultimatum untuk nggak ketemu Karin. Saat itu Rama sadar bahwa he can live without Cicit but he can’t live
without Karin. Di saat Rama sudah menyadari perasaannya yang sebenarnya,
Karin malah memutuskan untuk…
Oke, it’s enough. Meski gue rasa itu sudah spoiler banget. Yup,
memang agak susah sih menghindari spoiler karena dari awal ceritanya sudah
ketebak. Friendship turns into lover
ini memang tema klasik yang sampai kapanpun nggak bakalan pernah basi. Terbukti
dengan banyaknya novel bertema sama yang sudah edar di pasaran, tapi
masiiiiiiihhh aja ada yang bikin tema klasik ini.
Sejujurnya gue penasaran sama
novel ini karena twit-twitnya Ika Natassa. Alhamdulillah banget menang IRRC
Februari hehe. gue baca novel ini sejam kelar. Serius. Tengah malam insomnia
baca ini sejam langsung udahan. Ceritanya yang ringan, nggak bertele-tele,
bahasa yang lugas dan kocak, sukses bikin gue ketawa-ketawa mesem semalaman. Gue
pernah bilang kalau gue suka banget sama gaya penulisan yang lugas. And this is it. Nurilla Iryani muncul
dengan kelugasan yang pas banget di otak gue.
Membaca novel ini membuat gue
teringat langsung tiga buku bertema sama: Antologi Rasa (Ika Natassa), Pillow
Talk (Christian Simamora), dan Philophobia (Tessa Intanya). Narsis-narsisnya
tokoh Rama tuh ngingetin gue sama Harris meski makin ke belakang narsis dan
sikap gajenya Rama bikin jijay. Obrolan-obrolan bodoh Rama-Karin tuh ngingetin
gue sama Anjani dan Alandra di Philophobia. Sedangkan galaunya Rama yang sudah punya
pacar tapi masih inget Karin dan gimana susahnya memendam perasaan sama sahabat
sendiri kurang lebih ngingetin gue sama Jo-Emmi. Jadi, mengingat ketiga novel
tersebut adalah novel favorit gue, apakah Dear Friend With Love—yang notabene
menggabungkan ketiga novel tersebut—menjadi novel favorit gue?
Sayangnya, gue cuma terhibur, tapi
nggak menjadikan favorit. Kenapa? Karena ceritanya singkat bangeeeettttt. Sumpah,
gue masih pengen tahu lebih banyak tentang Karin-Rama ini. Gregetnya nanggung
karena begitu mencapai puncak, diputus gitu aja. Dooh! Tega banget sih
penulisnya nulis sedikit banget gini. Coba lebih panjang, pasti lebih enak.
Overall, I love this novel. Bahasa Inggrisnya nggak bikin
mengerutkan kening kok. Ditambah penulis menulis menggunakan POV 1 dari dua
tokoh. Masih agak terlihat sih kemiripan diantara dua tokoh ini. Coba lebih
panjang, mungkin lebih bisa dieksplor karakternya jadi lebih terasa
perbedaannya.
Once more, gue surprise
sama endingnya. Realistis. I like it.
Ditunggu next novelnya ya, Nurilla
Iryani.
wah bacaan yang bagus tuh buat pencinta novel
ReplyDelete