Dy Lunaly
NY Over Heels. Buku ini bercerita
tentang kehidupan seorang cewek 20 tahun bernama Zee yang diterima magang di
Casablanca, a ready-to-wear clothing line
yang—katanya—paling hip di New York. Jadilah, Zee yang lulusan akademi fashion di Indonesia pergi ke New York
untuk magang, sekaligus menghabiskan waktu sebelum kuliah di Parsons. Selama magang,
Zee punya banyak pengalaman yang absofashionlutely–kangen
pake istilah ini, hihi—awesome. Dia bertemu
dengan idolanya, the ultimate creative
director from Casablanca, Natasha Fay, juga desainer dan stylist yang selama ini cuma dilihatnya
dari katalog di web Casablanca, George, Janna, Michael, dan Debbie. Bahkan Debbie
ini jadi roommate-nya Zee. Oh, don’t forget about good looking guy
named Joseph David Millier, a photographer from Casablanca. Dan dimulailah
cerita keseharian Zee sebagai an intern
girl at Casablanca.
Oke, jujur ini novel pertama Dy yang
gue baca—sebenarnya takjub sama proses menulis Dy yang cepat banget. Setahu gue
baru beberapa bulan lalu Dy nerbitin novel. Judulnya Remember Dhaka. Penasaran sih
sama Remember Dhaka ini, tapi begitu tahu Dy ngeluarin novel baru, NY Over
Heels, gue jadi lebih penasaran sama novel barunya ini.
Gue memasang ekspektasi tinggi sama
novel ini. Karena dua hal. Satu. It’s
about fashion. If you know me, si I’m sure why I soooooo curious about this
novel. Dua, settingnya New York. Yup,
New York is my biggest dream—who doesn’t, right? Thanks to Bentang Pustaka
dan #kuisminggu sehingga gue menang novel ini.
So,
NY Over Heels? Oh, gue berharap menemukan Lauren Weisberger Indonesia
setelah menyelesaikan novel ini.
Ceritanya sendiri cukup bagus. Sangat
remaja. Menceritakan keseharian Zee yang gue yakin mampu membuat siapa saja
meneteskan air liur karena iri. Siapa yang nggak iri coba bisa magang di New
York—membayangkan bisa kerja di Condé Nast Building
atau Hearst Tower?
Ada dua hal yang
jadi concern gue di novel ini—tahu kan
kalau ekspektasi gue tinggi banget? Pertama, tokoh. Mary sue. I never like Mary Sue. Memang sih novel itu fiksi tapi tetap
aja kan harus ada sisi human-nya? Mary Sue itu nggak ada human-human-nya. Zee
itu terlalu beruntung. Cantik, baik, tajir, ditaksir cowok ganteng, bisa magang
di Casablanca, rancangannya dipilih sama A-list
actress, ditawari jadi junior designer, lulus tes Parsons, punya keluarga
supportif. Nggak ada cacatnya. Udah gitu Zee juga sabar. Dooh! Bukan hanya Zee,
Josh juga nggak ada cela. Sepasang manusia tanpa cela saling cinta tanpa
halangan berarti, it’s a fantasy. Sampai
akhir gue berharap sepasang manusia ini ada celanya, tapi yang ada malah
keberuntungan-keberuntungan yang selalu menerpa Zee. Dooh! Mungkin ya untuk
teenlit, remaja menginginkan tokoh mary sue ini, tapi sebagai pembaca, gue
berharap tokoh-tokoh yang gue baca masih ada sisi human-nya. Tokoh lain,
seperti Natasha Fay juga menjadi concern
gue. Thanks to Anna Wintour yang
sudah membuat paradigma kalau atasan tertinggi di dunia fashion—entah itu
fashion design, fashion magazine, fashion business, anything—harus bersifat
dingin, cantik, style oke, dan galak. So, Natasha Fay masih ada
nyerempet-nyerempet Anna Wintour—juga Miranda Priestly.
Kedua, ceritanya
kurang drama jadi satu novel hasilnya ya serba nanggung. Di awal, gue berharap there is something with Janna. Gue merasa
Janna ini punya potensi untuk membuat Zee terlihat sedikit human tapi ternyata?
Di tengah-tengah, Dy malah membuang Janna entah kemana. Gue mencari-cari Janna
tapi ini cewek entah sedang nyemplung di mana. Menjelang akhir dia muncul lagi
tapi kehadirannya semakin memperkuat betapa baiknya Zee, betapa semuanya bisa
berjalan lancar tanpa ada kesulitan bagi Zee. IMHO, sikap Janna dengan ego
tingginya juga larangan pacaran di sesama karyawan Casablanca serta hubungan
Zee-Josh, gue berharap Janna lebih berperan sehingga dramanya lebih oke. Kehidupan
Zee bisa sedikit bergejolak dan nggak lempeng begini terus.
Kebetulan. Ini faktor
yang paling nggak banget di sebuah fiksi. Di novel ini, kebetulan papa Zee
adalah rekan bisnis papa Josh terasa gengges. Gue nggak melihat ada indikasi
khusus hubungan ini ada selain mempermulus hubungan Zee dan Josh. Tanpa ada ini
pun hubungan mereka sudah lebih mulus dibanding jalan tol. Dan kemunculan
seorang cewek yang hanya berupa nama, Jesse, dan membuat Zee cemburu lalu
menghindari Josh terasa maksa. Seolah-olah Dy ingin menciptakan drama antara
Zee-Josh tapi tetap saja nanggung. Dan kemunculannya telat. Dooh! Ya gue masih
berharap Janna berperan besar karena dia punya potensi sebagai ‘biang kerok’.
Setting New York. Terlepas dari New York
adalah idaman setiap orang, gue penasaran kenapa Dy memilih NY. NY is tooooooo mainstream untuk cerita
ber-setting fashion. Sex and The City,
The Devil Wears Prada, Lipstick Jungle, Gossip Girls, Everyone Worth Knowing,
it’s all about New York and fashion. Dan gue nggak merasa there is something special with New York
di novel ini. Memang sih NY itu one of
fashion capital, but it’s too mainstream. Jika one day gue menulis novel tentang fashion—still in my dream—Ny is a big no no. Masih ada fashion
capital lain kayak Milan, London, Paris. Bahkan, bocoran dari salah satu teman
gue dari grup majalah yang suka meliput fashion
week sana, pasar Indonesia tidak terlalu berkiblat ke New York—makanya mereka
jarang meliput NYFW. Intinya, kenapa New York terlalu mainstream, itu karena tanpa bisa dicegah, pikiran akan langsung
tertuju ke cerita-cerita yang basic-nya
fashion dan ber-setting New York.
Oh ya, dalam
novel ini gue menemukan dua adegan yang oh-so-The-Devil-Wears-Prada banget. Pertama,
waktu Natasha menyuruh Zee datang ke rumahnya memeriksa paket dengan catatan
Zee si anak baru. Otak gue langsung tertuju ke part Miranda menyuruh Andy
datang membawa The Book ke rumahnya. Andy yang terbengong-bengong di rumah
Miranda juga persis seperti Zee. Kedua, the
intern girl, yang posisinya secara kasar bisa diartikan sebagai bawahan
paling bawah, disuruh sebagai penyedia kopi. Ini juga yang dilakukan Andy. Ini juga
ada di Style, ketika Lee Seo Jung disuruh membeli kopi oleh Park Ki Ja. Mungkin
Dy nggak ada maksud untuk nyama-nyamain, cuma ya gue aja yang langsung ke sana
pikirannya.
Overall, I like this novel. Cukup ringan
jadi bisa dibaca santai sepulang kerja. Hectic-nya
Casablanca dapet banget—make me want to
watch The September Issue again—juga New Yorknya. Sebagai seseorang yang
belum pernah ke New York, penggambarannya sudah pas meski setting yang ditonjolkan adalah setting
yang sebenarnya sudah nggak asing lagi.
Satu lagi concern gue, kenapa nggak disebut aja
sih nama-nama penting itu? Ini bikin gue gregetan. Contohnya ketika Zee nemenin
Josh belanja di salah satu luxury brand
dari Itali. Berkali-kali disebut brand ini-brand ini. Kenapa nggak sebut
langsung? Gucci-kah? Prada? Armani? Valentino? Salvatore Ferragamo? Roberto Cavalli?
Fendi? Etro? Atau apa? Dari pada ‘brand ini’ dua suku kata mending langsung
sebut. Biar lebih jelas. Toh luxury brand
dari Itali banyak. Satu lagi, nama fotografer kesukaan Josh. Cuma disebut
fotografer itu. Kenapa nggak sebut nama? Annie Leibovitz-kah? Patrick Demarchelier?
Mario Testino? Steven Meisel? Peter Lindbergh? Atau siapa?
Ketika gue
membaca novel luar, kemunculan nama-nama tokoh asli ini bikin gue merasa makin
dekat dengan tokoh-tokoh itu. Sekarang gue lagi baca Last Night At Chateau
Marmont. Weisberger dengan luwes menyebut Sony Music, Jay Leno Show, Tonight Show,
Last Night, juga artis-artis lain yang keberadaannya terkait dengan tokoh
utama. Hal ini yang nggak pernah gue temuin di novel Indonesia. Hiks. *malah
curcol*
Karena novel ini
bertema fashion, jadi sudah pasti
banyak istilah fashion bertebaran di
sini. Hati-hati lidahnya patah, hihihi. I’m
not a fashionista—kalau istilah ngeledek gue sama teman-teman, we are fashion-nista—tapi gue pede
dengan pengetahuan fashion gue. Nah,
gue aja yang sempat keseleo menyebut outfit
di sini, maka kalian yang not into
fashion, berhati-hatilah.
Terakhir. Ketika Dy
menulis kerjasama Casablanca dengan Harold’s, department store from London, gue selalu menyebut Harrods. Duh Dy,
nama udah mirip gini, kenapa nggak Harrods aja? Atau at least cari nama lain yang jauh dari nama asli. Gue ngerasa
terganggu aja dengan kemunculan Harold’s karena bikin gue gregetan. Why Harold’s, not Harrods?
*Ini serius. Nggak
ada hukum nggak boleh kan mencatut nama asli di novel? Toh nggak
dijelek-jelekin gini. Gue gatel soalnya mau mencatut nama Elle, Marie Claire,
Amica, Dewi, Clara, L’officiel, Surface and
others di draft gue. Juga nama perusahaan nyata lainnya. Karena gue suka
dan membuat cerita terasa lebih real. Anybody
yang tahu jawabannya, please answer mu
questions.*
Penutup, good job, Dy. Ditunggu novel fashion lainnya—tentunya tidak di New
York lagi ya.
Nice review!
ReplyDeleteApalagi novelnya pas sama passion Iiph...
Kalau atasan di bidang fashion nggak kayak Anna Wintour ada di Glee Season 4, yang diperanin Jessica Sarah Parker (namanya lupa ...)
yang ini atasannya nggak pedean banget gitu.
Udah dapat buku ini beberapa hari lalu.
Bukunya ada di meja sekarang, tapi belum minat baca, nih.
Takut lidahku keseleo, hahaha