Running For Hope
Dona Sikoembang
Pernah ada suatu masa ketika gue
menggemari novel inspiratif. Masa ketika otak gue masih bisa diajak berpikir
serius, hahaha. Ketika gue membaca bukunya Andrea Hirata, The Secret, A Long
Way Gone, dan novel inspiratif lainnya. Masa ketika gue menyadari di balik
nasib gue yang medioker, I’m lucky.
Beberapa tahun berselang, gue
mulai melupakan buku-buku seperti itu dan kembali ke preferensi gue semula—romance, chiklit, fantasy, and something
like that. Masa ketika gue membaca buku bukan hanya untuk memberi asupan
gizi bagi otak, tapi juga menyenangkan hati. Dan gue penggemar buku-buku ringan
yang seringkali membuat gue dipandang sebelah mata ini.
Namun sekarang gue kembali membaca
buku inspiratif ini. The only reason is
this is my friend’s book. Dona Sikoembang, penulisnya adalah teman SMA gue—anehnya
waktu SMA kita nggak akrab. Mungkin sesekali saling bertegur sapa tapi nggak
pernah konkow-kongkow bareng. Beberapa bulan lalu Dona menghubungi gue via
inbox Facebook tentang naskahnya yang akhirnya diterbitkan oleh Bentang Pustaka.
Yeai, happy for you girl. Yang lebih
bikin happy, buku Dona terbit
barengan dengan buku gue, Mendekap Rasa *promo colongan*.
Running For Hope. I loooove that cover. Warna lembut
dengan gambar lemari penuh buku, benar-benar menggambarkan isi buku. Running For
Hope menceritakan tentang Amonna Permata, si pecinta pendidikan yang begitu
mendambakan bisa kuliah di UI tapi karena keterbatasan ekonomi, Monna harus
merelakan mimpinya. Dia bekerja apa saja demi membantu perekonomian keluarga. Di
awal-awal kita disuguhkan dengan Monna yang masih berkeras mewujudkan impiannya
sampai akhirnya dia tiba di satu titik bernama titik realitas. Titik yang tidak
akan membawanya ke UI dan memutuskan untuk menjalani hidupnya day by day. Monna pun berpindah-pindah
kerjaan hingga akhirnya dia settle
dan bisa memperbaiki perekonomian keluarga. Menyadari dirinya yang dikalahkan
oleh realitas, Monna memaksa dan mendukung adiknya Upi untuk terus maju hingga
akhirnya Upi kuliah di IPB. Monna juga membiayai beberapa anak kurang mampu di
kampungnya untuk terus bersekolah.
Mengikuti perjalanan kisah Monna
memang membuat miris. But, sorry, Don.
Monna dan keluarganya terlalu hitam putih. Sesekali keegoisan Monna keluar dan
membuat dia kuat tapi ini hanya ada di awal-awal. Gue sempat berpikir sikap ini
akan terus ada sampai akhir karena tentunya akan semakin menguatkan karakter
Monna. Keluarga Monna juga terlalu putih, pasrahan, dengan beberapa tokoh yang
ditemui Monna dan membuatnya semakin melihat realita juga dituliskan sangat ‘hitam’.
Seperti halnya novel perjalanan, ada banyak tokoh datang dan pergi selintas
lalu dan memberi satu titik di hidup si tokoh utama.
Cara Dona menulis begitu lembut. Mungkin
karena gue orang Minang jadi bisa langsung merasakan kedekatan dengan isi
cerita. Terlebih dari bahasa-bahasanya. Gue sempat bertanya-tanya, desa kecil
mana sih yang dipakai sama Dona? Secara dia menyebutkan Bukittinggi, tentunya
gue pasti tahu dong. Delapan belas tahun bo gue tinggal di sana, masa iya nggak
tahu. Nyatanya gue nggak tahu. Dengan deskripsi sedemikian rupa, gue gagal
menebaknya. Dan sebagai orang asli sana gue malu nggak mengenal kampung gue
sendiri. Baru ketika menjelang akhir Dona menyebut namanya gue berteriak ‘got it’ hahaha. Dona memiliki gaya
menulis dengan deskripsi mendayu-dayu dan diksinya menarik banget. Ada banyak
kata yang gue catat, jaga-jaga bisa aja next
time gue tiru hehehe.
Gue jadi bertanya-tanya. Dona mengutip
ucapan guru Fisika tentang Teori Relativitas. Siapakah guru yang dimaksud? Secara
gue bersekolah di SMA yang sama, tentu dong gue kenal gurunya? Tapi secara
selama SMA gue nggak tertarik sama Fisika jadi nggak ingat apa-apa kecuali
mobil VW Kodok lucu dan eksentrik punya guru Fisika gue kelas 3 hahaha. Selain itu,
Monna digambarkan bekerja sebagai penyiar. Man,
radio is my life, now and then. Waktu SMA, gue ketemu banyak teman di
radio. Jadi, radio apakah yang dimaksud sama Dona di novel ini? *moga-moga cuma
radio rekaan ya karena dua radio yang gue kenal bersih sih sih hahaha*
Mengenai karakter Monna. Ada dua
hal yang gue nggak sreg. Sejak awal gue digiring kalau Monna ini suka baca. Oke,
mungkin itu cuma kesukaan aja. But in the
end ternyata Monna jadi penulis. Kenapa nggak diselipin gitu ya Monna ini
emang suka nulis sejak awal? Karena tiba-tiba dia ditelepon salah satu teman
SMA lalu dia teringat hobi menulisnya dulu. Menurut gue ya, ketika berada di low point, seseorang cenderung akan
melakukan hobinya. Apalagi hobi yang bisa digunakan untuk menyambung hidup. Okay, it’s my opinion cuma gue merasa di
akhir kegiatan menulis yang membuka gerbang Monna ke kesuksesan terlalu
tiba-tiba. I need a hint di
awal-awal.
Kedua, endingnya cepat banget. Setelah
sejak awal diajak menelusuri kehidupan Monna yang berliku dan mengalir lembut
tiba-tiba di akhir langsung di ajak selesai gitu aja. Terlalu cepat sehingga
ada banyak pertanyaan. Memang sih ada dijelasin, tapi dikit banget. Gue berharap
semoga ada penjelasan dari Monna yang jadi penggiat pendidikan di kampungnya
jadi seorang motivator handal. Itu nggak memuaskan karena cuma menempati porsi
sehalaman. Satu lagi, hubungan Monna dan Timur. Sampai bab akhir, mereka masih
mengawang-awang. Lalu di akhir ternyata udah menikah dan punya anak—memang sih
ceritanya beberapa tahun kemudian. Tapi, ini cepat banget. I need to know about the
process.
Ketika Dona bilang akan ada sekuel,
gue berpikir, semoga pertanyaan gue yang nggak puas karena Dona terlalu cepat
mengakhiri ceritanya bisa dijawab.
So, apakah beneran akan ada sekuel? Mari kita tanya Dona J but sebagai karya debut, overall
it’s okay. Karena Dona gue kembali membaca novel inspiratif semacam ini.
PS: Ini Tarusan Kamang, salah satu lokasi yang diceritakan di sini dan gagal gue tebak *dan ternyata gue juga belum pernah ke sini. Aaakkk panorama alam tersembunyi yang nggak gue tahu dan bikin gue malu luar biasa*
Foto by Kompasiana
0 Comments:
Post a Comment