Menanti Lamaran

1 comment
Menanti Lamaran
(Hari Kesembilan #13HariNgeblogFF)

Baca cerita sebelumnya di sini


“Hai.”
Hampir saja aku menjatuhkan seisi rak karena tepukan tiba-tiba itu. Aku berbalik dan mendapati seorang perempuan berambut panjang tersenyum di hadapanku. Aku tidak mengenal siapa perempuan ini.
Aku menatap berkeliling. Mencari-cari orang lain yang berada di dekatku. Mungkin saja perempuan ini salah orang. Namun di lorong ini hanya ada kita berdua, dan dia jelas-jelas tersenyum padaku.
“Lo ngomong sama gue?”
Perempuan itu tertawa kecil—jenis tawa murid poluper ketika menggosipkan cowok idola di sekolah, lirih dan dibuat semanja mungkin.
“Ya jelas elo. Kan nggak ada orang lain lagi di sini.”
Dahiku berkerut, mencoba mencerna di mana kira-kira aku pernah bertemu dengannya. Ada dorongan di hatiku yang menyebutkan kami pernah bertemu sebelumnya tapi aku tidak tahu di mana.
“Gue Renata.” Dia mengulurkan tangannya.
Renata? Nama yang tidak terlalu familiar tapi juga tidak terasa asing.
“Laeticia,” balasku gugup seraya menyambut uluran tangannya.
“Oh, jadi nama lo Laeticia. Selama ini gue menyebut lo ‘gadis di buku sketsa Lendra’.”
Lendra? Seperti lampu yang tiba-tiba menyala di saat gelap, sedikit titik terang muncul di benakku ketika dia menyebutkan nama Lendra. Aku menyipitkan mata, memutar kembali ingatanku ke beberapa saat yang lalu. Benar saja, ini perempuan yang bertemu Lendra tengah malam di Starbucks Sarinah.
“Jadi, sudah sejauh mana hubungan lo dengan Lendra?” Dia bertanya enteng. Satu tangannya terulur mengambil sebuah buku di rak yang ada di belakangku.
Ini pertama kalinya kami berbicara tapi dia sudah seenaknya menanyakan hal yang bersifat pribadi. Bahkan Ale, sahabatku satu-satunya, tidak pernah menanyakan perkembangan hubunganku dengan Lendra.
Oke, saat ini Ale jadi pengecualian. Kami tidak lagi berhubungan meski seringkali aku merasa gatal untuk menghubunginya. Namun, setelah dua kali pesanku tidak berbalas, aku berhenti menghubungi Ale. Lebih baik menunggu, sampai suasana hatinya kembali membaik dan dia menghubungiku. Aku tidak berani berharap hubungan kami bisa kembali seperti dulu, tapi semoga saja. Karena aku tahu aku tak kan sanggup hidup tanpa Ale.
“Hati-hati ya sama dia. Jangan berharap banyak.”
Renata pindah ke sampingku. Tangannya masih sibuk mengambil buku, membaca back cover sekilas, lalu meletakkan buku itu kembali ke tempatnya. Ucapannya terdengar lembut tapi entah kenapa, aku merasa terintimidasi. Mungkin karena cara dia melihatku yang terkesan menelanjangiku lalu mencemooh. Entahlah, aku tidak nyaman lama-lama berada di dekatnya.
Aku tidak menjawab, malah berpindah ke rak lain. Suasana Aksara siang ini cukup sepi sehingga ke manapun aku menghindar, Renata dengan mudahnya menemukanku.
“Lendra memang mempesona sehingga nggak heran banyak yang mengejar-ngejar dia.”
Jadi maksudnya aku mengejar-ngejar Lendra? Seenaknya saja dia menarik kesimpulan itu.
Aku membalikkan tubuh dan menatap Renata yang pura-pura menekuni buku David Levithan di tangannya. “Dengar ya. Kalau lo masih bermasalah sama Lendra, sekarang dia ada di sebelah.” Aku menunjuk ke arah Canteen. “Lo bisa menemui dia di sana dan nggak ngikutin gue.”
“I know.” Renata mengucap santai. Dia menimbang-nimbang buku di tangannya sambil menatapku dengan tatapan meremehkan. Membuatku panas. “Gue nggak ada urusan sama Lendra. Gue cuma mau ngingetin lo aja. Dengar, gue sama Lendra udah kenal lama. Kita pacaran empat tahun dan selama itu, hubungan ini nggak bisa dibawa kemana-mana.”
Aku mendengus. “Dia cuma selingkuhan lo.”
Alih-alih marah, Renata malah tertawa. “Gue dijodohkan tapi gue berprinsip, sebelum gue menikah dengan pria pilihan keluarga gue, gue akan mencari cinta gue sendiri. Dan itu Lendra. Jika saja Lendra bisa memberikan masa depan yang jelas untuk gue, gue akan menolak perjodohan itu. Tapi empat tahun berjalan sia-sia. Gue selalu menunggu kapan dia akan melamar gue tapi yang gue tunggu-tunggu nggak pernah datang. Sampai akhirnya gue menyerah.”
Aku terdiam, pura-pura menekuni back cover novel di tanganku sementara Renata terus mencerocos di sebelahku.
“Dia tahu soal perjodohan itu, juga tentang niat gue yang akan melawan keluarga gue jika dia melamar gue. Hasilnya? Dia nggak pernah datang melamar gue.”
Renata terdengar sangat emosional. Dia tidak bisa lagi mengontrol emosinya. Hilang sudah Renata yang tadi mengintimidasi dan bisa bersikap tenang karena sekarang dia nyaris berteriak, membuat beberapa pasang mata menoleh ke arah kami.
“Dia yang mutusin gue. Alasannya karena dia nggak akan pernah berkomitmen. Sampai kapanpun karena dia sangat menyukai kebebasannya.”
Ucapan Renata memakuku. Anti komitmen?
Aku memang baru mengenal Lendra, tidak seperti Renata yang sudah lama mengenalnya. Sekarang baru kusadari bahwa aku tidak tahu apa-apa tentang Lendra tapi sudah jatuh cinta padanya. Bodoh.
“Jadi, sebelum terlambat, gue cuma mau ngingetin lo. Sebelum lo mulai berharap banyak.”
Renata menyodorkan buku yang dipegangnya ke atahku lalu berjalan pergi. Aku menatap kepergiannya dengan penuh tanda tanya. Ingin rasanya memanggil dia kembali, lalu mengajaknya mengobrol dan membeberkan siapa sebenarnya Lendra. Namun, lidahku mendadak kelu. Aku malah melangkah menuju kasir, menyodorkan buku yang diberikan Renata dan membayarnya tanpa peduli buku apa itu.
Aku langsung menghampiri Lendra yang menunggu di Canteen dengan perasaan berkecamuk. Dia melirikku dari atas cangkir kopi yang sedang diminumnya, sementara aku berdiri terpaku di sisi meja.
Siapa pria yang ada di hadapanku ini?
Karena nyatanya, sebelum Renata memperingatkanku, aku sudah mengangankan banyak hal tentangnya.
“Udah belanjanya?”
Aku meletakkan belanjaanku di atas meja tanpa suara.
Lendra mengambil belanjaanku dan mengeluarkan isinya. Sebuah novel berjudul Everyday karangan David Levithan. “Novel? Bukannya kamu bilang mau beli majalah?”
Aku tidak menjawab, malah sibuk menelusuri sosok di hadapanku sambil menerka-nerka seperti apa dia sebenarnya. Namun, aku tidak mendapatkan jawaban apa-apa.
“Aku melihat kamu ngobrol dengan Renata. Dengar…” Lendra menggenggam kedua tanganku di atas meja. Sejenak, rasa hangat mengaliri jemariku dan merambat hingga ke hatiku. “Apapun yang dia bilang, itu hanya omongan perempuan cemburu yang nggak bisa dipercaya.”
Aku menghembuskan napas berat. Kegamangan ini terasa menyesakkan.
“Kamu percaya aku, kan?”
Aku hanya mengangkat bahu. Entahlah. Di saat seperti ini, aku merasa benar-benar membutuhkan Ale.
SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

1 comment

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig