Jangan Kemana-mana, Di Hatiku Saja

2 comments
Jangan Kemana-Mana, Di Hatiku Saja
(Hari Kesebelas #13HariNgeblogFF)

Baca cerita sebelumnya di sini.


Bagaimanapun kerasnya aku melupakan ucapan Renata, aku selalu gagal. Di saat mataku sibuk memelototi motif polkadot berwarna pastel di dinding Alba Fattoria, benakku masih saja mendengungkan ucapan Renata kemaren.
“Jangan terlalu berharap banyak dari Lendra. Dia nggak akan pernah berkomitmen.”
Aku menghela napas. Diam-diam aku melirik Lendra yang sibuk di balik Macbook-nya. Rambut keriting sebahu itu terlihat acak-acakan. Berpadu celana jins gelap, biker jacket, dan kaos hitam, penampilannya semakin memperkuat kesan berantakan. Jangan lupakan rokok yang selalu terselip di bibirnya.
Penampilan Lendra sangat sesuai denan prinsipnya. Free. Bebas. Tanpa ikatan.
Mengingat hal itu membuatku semakin tergolek lesu. Ucapan Renata bisa saja benar. Kalau aku menilai Lendra dari penampilannya, serta keengganannya menerima kemapanan dalam hal pekerjaan tetap, bukan hal yang mustahil jika menyangkut perasaan pun, dia menghendaki kebebasan.
Sebuah hubungan berlatar kebebasan. Tanpa ikatan yang jelas.
Aku menghemburkan napas keras. Bukan hal inilah yang kuinginkan, tetapi aku juga tidak bisa menolak pesonanya. He’s too good to be true. Sukar ditolak.
“Kenapa sih wajahnya ditekuk gitu?” Tanya Lendra seraya menututp Macbook-nya.
“Udahan kerjanya?” Bukannya menjawab, aku malah balik bertanya.
Lendra menghirup rokok yang tinggal separo lalu menghembuskan asapnya perlahan-lahan. Demi Tuhan, dia pria pertama di hidupku yang terlihat sangat seksi ketika merokok. Lendra terlihat sangat maskulin tapi tetap tidak kehilangan sisi manis yang terpancar dari balk senyumnya.
Sepertinya harapanku sudah semakin tinggi. Bukannya meredup seiring peringatan Renata.
“Kamu suntuk gitu karena aku cuekin?”
“A little bit.”
Lendra tertawa. Suara tawa yang terdengar sangat nyaman diterima, bukan tawa ngakak yang memekakkan telinga seperti yang biasa kudengar setiap kali bersama Ale.
“Trus, penyebab lainnya?”
“Renata,” jawabku singkat.
Kontan saja wajah dihadapanku mengernyit heran. Lendra mencondongkan tubuhnya dan menatapku serius. Semenjak bertemu Renata kemaren, berkali-kali Lendra bertanya tentang apa yang diinginkan Renata dariku. Namun aku tidak menggubrisnya karena pikiranku sepenuhnya tertuju kepada Ale. Sekarang, di saat pusingku sedikit mereda setelah kembali berhubungan dengan Ale, mau tidak mau aku kembali dihantui oleh ucapan Renata.
“Dia ngomong apa sih sebenarnya?”
Alih-alih menjawab, aku malah ikut mencondongkan tubuhku di atas meja sehingga mempersempit jarak yang ada di antara kami. “Kenapa sih kamu nggak mau kerja tetap?”
“Jadi, Renata mempermasalahkan pekerjaanku? Dari dulu dia memang selalu protes.”
“Bukan Renata, tapi aku. Aku penasaran aja. Ale mati-matian kerja keras agar dia bisa mempertahankan pekerjaannya sehingga menjamin pemasukan tetap setiap bulan. Aku juga begitu,” cecarku.
“Kalian hanya orang-orang yang suka bermain aman.”
Pernyataan itu menohokku. Lendra benar. Satu-satunya alasan aku bertahan di pekerjaanku—selain aku menyukainya—hanyalah agar aku tidak perlu pusing memikirkan besok makan apa. Namun di luar sana ada banyak orang yang bertahan dengan alasan yang sama sekalipun dia tidak menyukai pekerjaannya.
“Aku menyukai banyak hal dan aku nggak mau stuck ngerjain satu hal aja lalu mengabaikan kesukaanku yang lain. Bagiku begini lebih menyenangkan. Aku bisa melakukan banyak hal tanpa ada yang bisa melarang. Kebebasan itu mahal, Tiz, dan nggak ada yang bisa membayarnya.”
Aku tersenyum kecut. Sekali seumur hidup, aku pernah membayangkan memiliki pola hidup seperti itu. Bebas, tanpa ikatan, dan tidak ada yang berhak melarangku. But I’m not a risk taker. Aku hanya ingin bermain aman.
“Memang sih nggak semua orang bisa menerimanya,” lanjut Lendra sambil mematikan rokoknya.
“Apa itu karena kamu takut berkomitmen?”
Lendra tertawa kencang sampai-sampai bahunya terguncang. Untung Alba Fattoria tidak terlalu ramai sehingga tidak ada yang terganggu mendengarnya.
“Sepertinya Renata sudah benar-benar memengaruhimu.”
“Lendra, jawab aku,” pintaku.
Tawa itu sudah berhenti, namun Lendra belum sepenuhnya menghilangkan raut geli di wajahnya. “Kalau aku nggak berkomitmen, aku nggak bakal survive, Tiz.”
Aku manyun karena jawaban itu terdengar tidak memuaskan.
Melihat wajahku yang kembali cemberut, Lendra menghilangkan ekspresi geli itu dan kembali menatapku serius, seperti semula. “Aku nggak takut berkomitmen. Ketika aku deal dengan satu klien, aku akan memegang janji itu dan nggak akan mengecewakannya. Mentang-mentang aku bekerja serabutan, bukan berarti aku asal-asalan.”
Mungkin Lendra benar. Aku hanya tidak bisa mengenyahkan ucapan Renata. Ini hanya pancingan karena yang ingin kuketahui bukanlah ini. Aku hanya ingin tahu isi hatinya dan cara pandangnya tentang sebuah hubungan. Tentu saja aku berharap Renata salah.
“Mengapa kamu masih sendiri?” cecarku.
“Cuti sementara dari sakit hati. Kurasa aku sudah pernah memberitahumu.”
Oh ya, tentu saja. Dia pernah memberitahuku, juga membuatku sadar bahwa kita memiliki kesamaan. Patah hati dan menjadi orang ketiga—sesuatu yang sempat kuangankan bisa mendekatkanku dengannya.
“Kenapa nggak melamar Renata?”
“Nggak mau.”
Jawaban enteng itu membuatku berpikir bahwa ucapan Renata tidak salah. Tidak terlihat gejolak apapun di wajahnya ketika Lendra menyatakan penolakannya, seakan-akan yang dia tolak hanyalah ajakan minum kopi.
“Kenapa nggak mau?”
“Empat tahun memang waktu yang lama. Hanya saja aku merasa nggak ingin bareng dia selamanya. Aku masih ingin mencari, Tiz.”
Pengakuan itu kembali menohokku. Pernyataan yang menyebutkan bahwa dia belum siap untuk singgah dan menetap di satu hati.
“Lalu, bagaimana denganku?”
Lendra mengembangkan senyuman lebar di wajahnya. Senyuman yang tentu saja menarik perhatian siapapun yang melihatnya—termasuk aku.
“Kamu menjadi bagian dalam pencarian itu, TIz.”
Jujur, aku tidak tahu apa maksudnya. Namun aku tersadar, aku hanya berharap terlalu tinggi tanpa pernah mau melihat realita bahwa Lendra tidak menggantungkan harapan yang sama denganku. Seakan-akan nantinya aku hanya akan bertepuk sebelah tangan.
Pahit terasa mengaliri hatiku ketika kenyataan itu menyentakku. Ingin rasanya menyalahkan Ale yang tidak ada di sampingku untuk mengingatkanku.
“Dan kita nggak pernah tahu berapa lama pencarian itu berlangsng,” lanjut Lendra.
Aku mengangkat wajah. Kucoba untuk menahan Lendra dalam penglihatanku. Bukan hal yang susah karena dia juga balas menatapku lekat-lekat.
“Kalau begitu, jangan kemana-mana. Jangan mencari-cari lagi. Tetaplah di sini, di hatiku saja,” ujarku lirih dengan segenap keberanianku.
Lendra tersenyum tipis. Dia bersandar ke sandaran sofa sehingga posturnya terlihat santai. Satu tangannya terulur mengambil sebatang rokok dan menyalakan lighter.
“Kita lihat saja nanti. Apakah kamu sanggup menahanku untuk nggak mencari kemana-mana lagi.”

Bonus: Ini foto Lendra lagi ngerokok
Sumber: tumblr yg lupa mana linknya, hihihi
(Demi Tuhan, ini cowok ya ngerokok aja seksi banget. Kayaknya dia mau gimana atau mau ngapain aja selalu seksi. Pesan satu yang kayak gini :) )

SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

2 comments

  1. hmm.. cowok yang enggan (atau takut?) berkomitmen, kegantengannya menurun 200% di mata saya...

    ReplyDelete

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig