Sepotong Kue Keju

Leave a Comment
NB: Cerita kedua dari #15HariNgeblogFF dengan judul pemberian Mas @momo_DM dan ketentuan setting danau. Mengambil tempat danau di belakang kampus FIB UI :)

Sepotong Kue Keju
Oleh: Ifnur Hikmah



If I got down on my knees and I pleaded with you. If I crossed a million oceans just to be with you. Would you ever let me down?*
“Cicipi dulu.”
Petikan gitar beserta senandung ringan itu berhenti seiring dengan ucapanku. Mataku tertuju ke sepotong kue keju yang kubuat sepanjang pagi, sebelum menyeret langkahku ke danau ini. Hanya sebuah danau buatan, dibentuk untuk mempercantik keberadaan kampus tempatku mengajar di daerah Depok.
Thanks. Pasti enak seperti biasa.” Dion, yang sejak tadi sibuk memetik gitar dan bernyanyi, mengalihkan perhatiannya dari gitar ke kue buatanku. Dalam hitungan detik, kue itu sudah berpindah dari tangan ke mulut.
Dion tersenyum lebar, sedikitpun tidak peduli dengan butiran keju yang terselip di sela-sela giginya. Dia pun mencomot kue kedua dari dalam kotak kecil yang kubawa.
“Enak?”
Pria itu mengangguk antusias. Rambut ikalnya bergerak-gerak seiring anggukannya.
“Kue buatanmu selalu enak. Apapun itu,” ucapnya sedikit tidak jelas karena dia berbicara sambil mengunyah.
Tak pelak, tindakannya itu membuatku tertawa. Kelakuannya persis anak kecil, sama sekali tidak menunjukkan tingkah pria berusia awal 30an.
“Jadi, apa tujuanmu mengajakku ke sini? Mencicipi kue buatanmu? Kamu kan bisa memberikannya di kelas. Lumayan, untuk mengganjal perut saat kuliah,” seru Dion yang telah beralih ke potongan ketiga.
Dion benar. Jika hanya untuk memberikan kue ini, tidak perlu mengajaknya ke pinggir danau. Toh malam ini kita akan bertemu. Di kelas Statistik. Aku sebagai dosen, dan Dion sebagai mahasiswa. Di kelas itulah aku pertama kali bertemu Dion. Ketika aku ditunjuk untuk pertama kalinya mengajar di program master dan mendapati ada mahasiswa yang menarik perhatianku. Bukan hanya di kelas, tapi juga di luar kelas.
Berawal dari kebaikan hatinya mengawalku melintasi pedestrian di tengah hutan agar sampai ke stasiun kereta, kami pun mulai sering melewati waktu bersama. Terlebih di sore hari. Menatap pantulan matahari terbenam di air danau di belakang Fakultas Sastra sambil tidur-tiduran di atas hamparan rumput lalu kemudian saling bergandeng tangan menuju kelas statistik.
Memori yang indah. Dan seperti halnya kebahagiaan, tentu tidak akan bertahan lama. Akan datang masanya, entah aku atau dia, yang akan mengakhiri. Nyatanya, waktu menunjukku untuk segera mengakhiri romansa ini.
Itulah yang mendorongku mengajaknya bertemu. Berbekal kue keju bikinanku dan keteguhan hati yang tidak seberapa.
Tanganku bergerak refleks membentuk sulur-sulur abstrak di sepanjang lengannya. Sekedar mengulur waktu sebelum menjatuhkan bom yang kupendam sejak tadi.
“La, are you okay?”
Aku mengangguk.
“Serious?”
Sekali lagi aku mengangguk. Nyatanya, aku tidaklah baik-baik saja. Aku tidak sanggup, Dion.
“Wajahmu berkata sebaliknya.”
Perkataan Dion menyentakku. Kuangkat wajah dan memberanikan diri untuk menatap matanya. Mata coklat itu menyiratkan kekhawatiran, juga tanda tanya besar.
“What’s wrong?”
“I have to go.”
Dahi Dion berkerut. “Masih sore. Baru jam lima. Kelas kita kan jam tujuh? Masih ada waktu untuk melihat sunset. Lihat, sore ini cerah. Pasti pantulan matahari di air danau ini akan terlihat indah,” beber Dion.
Aku tersenyum kecut. Bukan pergi itu yang kumaksud.
“Maksudku, aku harus pergi dari hidupmu. Kita nggak bisa nerusin ini.”
Sepotong kue keju terlepas dari tangan Dion. Terjatuh pasrah ke atas hamparan rumput. Mata Dion memerangkapku. Membuatku tergagap dan lidahku kelu. Hilang semua alasan yang sudah kupersiapkan sejak lama.
“You must be kidding me,” desisnya.
Sekuat tenaga aku menggelengkan kepala.
“Why?”
“Kita tidak mungkin selamanya bersembunyi seperti ini, Dion. Aku ini perempuan, ingin merasakan dicintai dan mencintai sepenuh hati, tanpa halangan apapun. Namun denganmu, apa yang kudapatkan? Selalu jadi yang nomor dua. Keberadaanku di hidupmu selalu disembunyikan. Aku nggak mau terus-terusan kayak gini.” Sekuat tenaga aku menyembunyikan air mata, tapi akhirnya pertahananku goyah ketika isi hati yang kupendam selama ini tercurahkan.
Dion mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Tampak pias sekaligus pasrah. “Ini yang kutakutkan.”
“Apa?”
“Kamu menyerah dan memutuskan untuk pergi.”
“Kamu sudah menduga ini akan terjadi?” Sejumput emosi mulai menguasaiku.
Dion kembali memakuku dengan tatapannya sebelum akhirnya mengangguk. “Karena itulah aku selalu berusaha keras membuatmu bahagia, membuatmu untuk tidak pernah berpikir bahwa kamu selalu nomor dua karena di hatiku hanya ada kamu.”
“Di hidupmu sudah lebih dulu hadir istrimu, sebelum aku.”
I don’t love her. Aku menikahinya karena perjodohan yang diatur orang tuaku, jauh sebelum aku dan Mia lahir.”
Mia. Hatiku masih menggoreskan rasa sakit setiap kali mendengar nama itu. Karena Mia bisa menunjukkan ke mata dunia bahwa dia memiliki Dion, sementara aku tidak. Padahal, aku juga mencintai Dion dan Dion juga mencintaiku.
Cinta yang tidak berpihak kepada kami.
“Dijodohkan atau tidak, yang kutahu hanyalah kamu suami Mia dan aku hanya akan menjadi simpananmu, selamanya. Tidak, Dion, I need to move on. Looking for a new love. Seseorang yang mencintaiku dan menjadikanku nomor satu tanpa harus bersembunyi dari apapun.”
“Jangan egois…”
“Kamu yang egois jika memaksa kita untuk bertahan,” potongku, “perpisahan ini memang menyakitkan tapi akan lebih banyak yang tersakiti jika kita terus bersama.”
Aku bangkit berdiri. Lebih baik aku cepat-cepat pergi dari sini, agar aku bisa menangisi patah hati ini sepuas-puasnya. Kutatap kue keju yang tinggal sepotong. Kue terakhir yang kubuat untuk Dion atas nama cinta. Mungkin juga, kue terakhir yang kubuat karena kue ini hanya mengingatkanku kepada Dion. Juga, kuedarkan pandangan ke sepanjang danau. Merekam setiap detik yang kulalui bersama Dion untuk nanti kukenang setiap kali aku dilanda rindu.
“Maafkan aku, Dion. Goodbye.
Aku berbalik, seiring dengan air mata yang menetes turun.
Sayup, telingaku menangkap denting gitar beserta senandung pelan. Aku berbalik. Tidak jauh di belakangku, kulihat punggung Dion yang terkulai layu. Dia kembali memainkan gitarnya, dan bernyanyi.
If I climbed the highest mountain just to hold you tight. If I said that I would love you every single night. Would you ever let me down?*
Maaf Dion. Aku terpaksa melepaskanmu. Demi kita.


*) Shakin' Steven - Because I Love You
SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 Comments:

Post a Comment

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig