Sepotong Kue Keju
Oleh: Ifnur Hikmah
If I got down on my knees and I pleaded with you. If I crossed a
million oceans just to be with you. Would you ever let me down?*
“Cicipi dulu.”
Petikan gitar beserta senandung
ringan itu berhenti seiring dengan ucapanku. Mataku tertuju ke sepotong kue
keju yang kubuat sepanjang pagi, sebelum menyeret langkahku ke danau ini. Hanya
sebuah danau buatan, dibentuk untuk mempercantik keberadaan kampus tempatku
mengajar di daerah Depok.
“Thanks. Pasti enak seperti biasa.” Dion, yang sejak tadi sibuk
memetik gitar dan bernyanyi, mengalihkan perhatiannya dari gitar ke kue
buatanku. Dalam hitungan detik, kue itu sudah berpindah dari tangan ke mulut.
Dion tersenyum lebar, sedikitpun
tidak peduli dengan butiran keju yang terselip di sela-sela giginya. Dia pun
mencomot kue kedua dari dalam kotak kecil yang kubawa.
“Enak?”
Pria itu mengangguk antusias.
Rambut ikalnya bergerak-gerak seiring anggukannya.
“Kue buatanmu selalu enak. Apapun
itu,” ucapnya sedikit tidak jelas karena dia berbicara sambil mengunyah.
Tak pelak, tindakannya itu
membuatku tertawa. Kelakuannya persis anak kecil, sama sekali tidak menunjukkan
tingkah pria berusia awal 30an.
“Jadi, apa tujuanmu mengajakku ke
sini? Mencicipi kue buatanmu? Kamu kan bisa memberikannya di kelas. Lumayan, untuk
mengganjal perut saat kuliah,” seru Dion yang telah beralih ke potongan ketiga.
Dion benar. Jika hanya untuk
memberikan kue ini, tidak perlu mengajaknya ke pinggir danau. Toh malam ini
kita akan bertemu. Di kelas Statistik. Aku sebagai dosen, dan Dion sebagai
mahasiswa. Di kelas itulah aku pertama kali bertemu Dion. Ketika aku ditunjuk
untuk pertama kalinya mengajar di program master dan mendapati ada mahasiswa
yang menarik perhatianku. Bukan hanya di kelas, tapi juga di luar kelas.
Berawal dari kebaikan hatinya
mengawalku melintasi pedestrian di tengah hutan agar sampai ke stasiun kereta,
kami pun mulai sering melewati waktu bersama. Terlebih di sore hari. Menatap
pantulan matahari terbenam di air danau di belakang Fakultas Sastra sambil
tidur-tiduran di atas hamparan rumput lalu kemudian saling bergandeng tangan
menuju kelas statistik.
Memori yang indah. Dan seperti
halnya kebahagiaan, tentu tidak akan bertahan lama. Akan datang masanya, entah
aku atau dia, yang akan mengakhiri. Nyatanya, waktu menunjukku untuk segera
mengakhiri romansa ini.
Itulah yang mendorongku
mengajaknya bertemu. Berbekal kue keju bikinanku dan keteguhan hati yang tidak
seberapa.
Tanganku bergerak refleks
membentuk sulur-sulur abstrak di sepanjang lengannya. Sekedar mengulur waktu
sebelum menjatuhkan bom yang kupendam sejak tadi.
“La, are you okay?”
Aku mengangguk.
“Serious?”
Sekali lagi aku mengangguk.
Nyatanya, aku tidaklah baik-baik saja. Aku tidak sanggup, Dion.
“Wajahmu berkata sebaliknya.”
Perkataan Dion menyentakku. Kuangkat
wajah dan memberanikan diri untuk menatap matanya. Mata coklat itu menyiratkan
kekhawatiran, juga tanda tanya besar.
“What’s wrong?”
“I have to go.”
Dahi Dion berkerut. “Masih sore.
Baru jam lima. Kelas kita kan jam tujuh? Masih ada waktu untuk melihat sunset. Lihat, sore ini cerah. Pasti
pantulan matahari di air danau ini akan terlihat indah,” beber Dion.
Aku tersenyum kecut. Bukan pergi
itu yang kumaksud.
“Maksudku, aku harus pergi dari
hidupmu. Kita nggak bisa nerusin ini.”
Sepotong kue keju terlepas dari
tangan Dion. Terjatuh pasrah ke atas hamparan rumput. Mata Dion memerangkapku.
Membuatku tergagap dan lidahku kelu. Hilang semua alasan yang sudah
kupersiapkan sejak lama.
“You must be kidding me,” desisnya.
Sekuat tenaga aku menggelengkan
kepala.
“Why?”
“Kita tidak mungkin selamanya
bersembunyi seperti ini, Dion. Aku ini perempuan, ingin merasakan dicintai dan
mencintai sepenuh hati, tanpa halangan apapun. Namun denganmu, apa yang
kudapatkan? Selalu jadi yang nomor dua. Keberadaanku di hidupmu selalu
disembunyikan. Aku nggak mau terus-terusan kayak gini.” Sekuat tenaga aku
menyembunyikan air mata, tapi akhirnya pertahananku goyah ketika isi hati yang
kupendam selama ini tercurahkan.
Dion mengusap wajahnya dengan
kedua telapak tangan. Tampak pias sekaligus pasrah. “Ini yang kutakutkan.”
“Apa?”
“Kamu menyerah dan memutuskan
untuk pergi.”
“Kamu sudah menduga ini akan
terjadi?” Sejumput emosi mulai menguasaiku.
Dion kembali memakuku dengan
tatapannya sebelum akhirnya mengangguk. “Karena itulah aku selalu berusaha
keras membuatmu bahagia, membuatmu untuk tidak pernah berpikir bahwa kamu
selalu nomor dua karena di hatiku hanya ada kamu.”
“Di hidupmu sudah lebih dulu hadir
istrimu, sebelum aku.”
“I don’t love her. Aku menikahinya karena perjodohan yang diatur
orang tuaku, jauh sebelum aku dan Mia lahir.”
Mia. Hatiku masih menggoreskan
rasa sakit setiap kali mendengar nama itu. Karena Mia bisa menunjukkan ke mata
dunia bahwa dia memiliki Dion, sementara aku tidak. Padahal, aku juga mencintai
Dion dan Dion juga mencintaiku.
Cinta yang tidak berpihak kepada
kami.
“Dijodohkan atau tidak, yang
kutahu hanyalah kamu suami Mia dan aku hanya akan menjadi simpananmu,
selamanya. Tidak, Dion, I need to move
on. Looking for a new love. Seseorang yang mencintaiku dan menjadikanku
nomor satu tanpa harus bersembunyi dari apapun.”
“Jangan egois…”
“Kamu yang egois jika memaksa kita
untuk bertahan,” potongku, “perpisahan ini memang menyakitkan tapi akan lebih
banyak yang tersakiti jika kita terus bersama.”
Aku bangkit berdiri. Lebih baik
aku cepat-cepat pergi dari sini, agar aku bisa menangisi patah hati ini
sepuas-puasnya. Kutatap kue keju yang tinggal sepotong. Kue terakhir yang
kubuat untuk Dion atas nama cinta. Mungkin juga, kue terakhir yang kubuat karena
kue ini hanya mengingatkanku kepada Dion. Juga, kuedarkan pandangan ke
sepanjang danau. Merekam setiap detik yang kulalui bersama Dion untuk nanti
kukenang setiap kali aku dilanda rindu.
“Maafkan aku, Dion. Goodbye.”
Aku berbalik, seiring dengan air
mata yang menetes turun.
Sayup, telingaku menangkap denting
gitar beserta senandung pelan. Aku berbalik. Tidak jauh di belakangku, kulihat
punggung Dion yang terkulai layu. Dia kembali memainkan gitarnya, dan
bernyanyi.
If I climbed the highest mountain just to hold you tight. If I said
that I would love you every single night. Would you ever let me down?*
Maaf Dion. Aku terpaksa
melepaskanmu. Demi kita.
*) Shakin' Steven - Because I Love You
0 Comments:
Post a Comment