Keenan, Kekasih Keenam
Oleh: Ifnur Hikmah
“When Keenan Goes Mainstream.”
Aku hanya tertawa menggapi ucapan
Nadia. Kulambaikan tangan dari tempatku duduk, di atas sebuah meriam tua yang
terletak di hadapan gedung balai kota di kawasan kota tua, Jakarta. Nadia berlalu
di hadapanku, dengan sepeda ontel sewaannya.
Keenan. Nama itu sudah menjadi
buah bibir sekarang.
Semuanya berawal dari kesuksesan
film Perahu Kertas yang diadaptasi dari novel berjudul sama milik Dee. Salah satu
tokohnya bernama Keenan. Pelukis tampan berdarah Belanda. Nadia-lah yang
pertama kali memperkenalkanku pada nama itu. Aku yang tidak suka membaca dan
tidak terlalu mengikuti perkembangan film Indonesia jelas masih asing dengan
nama itu.
Namun aku tidak merasa asing
dengan nama Keenan.
Keenan. Keenan Narawangsa. Laki-laki
Jawa tulen yang pernah singgah ke kehidupanku, dulu. Aku yang tidak pernah bisa
hidup sendiri selalu mencari kehadiran pacar baru setiap kali putus cinta. Inilah
yang mempertemukanku dengan Keenan.
Setelah putus dari pacar kelimaku,
Rully, aku kalang kabut mencari pacar baru. Hanya saja tidak ada yang menarik
perhatianku di fakultas ekonomi, fakultas tempatku menuntut ilmu. Aku pun
melebarkan sayap ke fakultas lain. Namun usahaku tidak berjalan mulus.
Ketika sedang menyaksikan
pertunjukan musik jazz di pelataran parkir kampusku, aku bertemu Keenan. Dia ikut
terdorong bersama massa yang memaksa maju ke depan panggung agar dapat
menikmati penampilan band SORE tanpa
halangan. Aksi dorong mendorong terjadi. Aku hampir terjatuh kalau saja tidak ada yang mencekal lenganku. Aku berbalik
dan langsung terpana begitu melihat seorang pria tampan menyangga tubuhku. Dia tersenyum.
Hangat dan akrab. Dan aku pun tidak peduli jika saat itu aku sudah terpisah
dengan teman-temanku.
Kami berkenalan. Lalu dekat. Begitu
saja.
Namun Keenan berbeda dengan
pacar-pacarku yang dulu. Jika mantan-mantan pacarku tidak pernah menolak
ajakanku, Keenan selalu mengajakku adu argumen terlebih dahulu. Bahkan untuk
sekedar memutuskan perkara sederhana seperti mau makan dimana atau nonton film
apa. Tak jarang kelakuannya membuatku gondok. Tapi aku bertahan lama dengannya.
Hampir tiga tahun. Rekor terlama yang pernah kujalani saat pacaran.
Kehangatan yang diberikannya, surprise kecil yang biasa diberikannya,
kesediaannya mendengarkan celotehan tidak pentingku, kerelaannya menjadi
tempatku berbagi imajinasi, bahkan imajinasi paling absurd sekalipun, membuatku
benar-benar takluk di hadapannya. Kurasa, aku sudah jatuh cinta.
Namun seperti hal indah lainnya,
kebersamaanku dengan Keenan juga terpaksa diakhiri. Dia lulus satu tahun lebih
dulu dariku. Setelah itu, dia memberitahu bahwa dia melanjutkan kuliah di
Belanda. Aku tertegun. Bagaimana dengan hubungan ini?
Hanya ada dua opsi: long distance atau putus.
Lalu kami mengambil jalan kedua. Putus.
Selepas dari Keenan, aku kembali
ke tabiat awal. Suka berganti pasangan. Bedanya, kali ini aku selalu membanding-bandingkan
setiap pacarku dengan Keenan. Sialnya, tak ada yang menandingi Keenan.
Sekarang, di usiaku yang sudah
menginjak 25 tahun, aku berhenti membandingkan pria manapun dengan Keenan. Aku memutuskan
untuk move on. Susah memang, tapi aku
yakin aku bisa. Satu-satunya hal yang membuatku yakin adalah, aku tidak tahu
dimana Keenan. Apakah dia masih di Belanda atau telah pulang ke Indonesia atau
malah terdampar di negara lain, aku tidak tahu. Dan aku juga tidak mau mencari
tahu.
“Hei, ngelamun.”
Tanpa kusadari, Nadia sudah duduk
di sebelahku. Sepeda ontel sewaannya sudah tidak ada lagi.
“Mikirin Keenan?”
“Enak aja,” kilahku. Aku membuang
muka. Tidak ingin Nadia tahu bahwa wajahku bersemu merah—kebiasaanku setiap
kali berbohong. Aku sedang tidak mood
meladeni ejekannya.
“Kalau emang bener mikirin Keenan
juga nggak apa-apa kali, Ray.”
Aku mencibir, masih berusaha
menghindar.
“Makan yuk.”
Aku menghela nafas lega. Untunglah
Nadia segera melupakan ledekannya dan menggiringku ke topik lain. Dengan senang
hati aku meladeninya sekarang. Aku langsung berdiri dan mengajak Nadia
melihat-lihat café yang tersebar di kawasan ini.
“Ray… Rayna. Nadia…”
Baru beberapa langkah, aku
mendengar seseorang memanggil namaku dan Nadia. Kami berbalik dan mencari-cari
sumber suara di tengah gerombolan manusia yang menghabiskan waktu Minggu
paginya di Kota Tua.
“Rayna…” Panggilan itu lagi. Kali ini
disusul dengan seseorang yang melambaikan tangan.
Aku terpaku di tempat. Berjarak beberapa
meter di hadapanku, ada seseorang yang sejak tadi mengganggu pikiranku. Seorang
pria tampan berkulit sawo matang.
“Keenan?” panggilku.
Keenan berlari ke arahku, setelah
sebelumnya berpamitan kepada seorang wanita cantik yang ada di sampingnya.
Aku dan Nadia bersitatap. Mata kami
sama-sama menunjukkan satu pertanyaan; ‘how
come?’
Di hadapanku, Keenan, kekasih keenamku,
tengah berlari ke arahku.
bagus banget ip, yg ini, haha
ReplyDeletejadi keinget jaman2 kuliah.
tapi endingnya langsung dicut gitu ya, disebut wanita cantik sekilas saja (istrinya, pacarnya?)