Merah Murah Meriah

Leave a Comment
NB: Hari ke sekian dari #15HariNgeblogFFDadakan dari mas @momo_DM. Kali ini off dulu dari cinta-cintaan. Lagi patah hati, Perihhhh *curcol*

Merah Murah Meria
Oleh: Ifnur Hikmah





Aku suka ke pasar. Ikut Mak ke pasar setiap pagi selalu menjadi hal yang kutunggu-tunggu. Jejeran kain warna warni, anak ayam dan anak bebek yang cerewet, teriakan pedagang sayuran, ah semuanya aku suka. Terlebih, sebotol limun yang dibelikan Mak di toko Ci Mar sepulangnya Mak berbelanja.
Pagi ini aku sudah siap di depan rumah. Baju biru dan celana biru. Sandal jepit yang juga berwarna biru. Tinggal menunggu Mak datang dan aku siap berbelanja ke pasar.
“Mak… Mak…” teriakku tidak sabar.
Hari ini adalah hari pasar. Semua barang dikeluarkan. Aku suka melihat barang-barang yang dijajakan di pasar. Sesekali aku merengek pada Mak untuk dibelikan sesuatu. Ada kalanya Mak menolak, tapi tak jarang juga Mak mengabulkan permintaanku.
Pagi ini, Mak berjanji akan membelikanku baju baru. Untuk kupakai ke pesta ulang tahun Titi minggu depan. Ah, aku jadi tak sabar ingin segera ke toko baju Ko Asep dan memilih-ilih baju. Aku mau baju warna merah dan Mak setuju.
Jam sembilan, Mak muncul di pintu. Tak lupa dia membawa tas kain yang sudah lusuh, tempat Mak meletakkan semua belanjaannya. Mak menggandeng tanganku. Setelah berteriak menyuruh si Mbok mengunci pintu, Mak membawaku ke pasar.
Pasar ini terletak tak jauh dari rumah kami. Cukup berjalan kaki. Dua puluh menit saja. Aku dan Mak tinggal berjalan sampai ke ujung gang, melintasi jalan raya, berjalan ke arah kanan sampai ada rel kereta, melintasi rel, lalu ujung pasar sudah terlihat. Pasar letaknya tak terlalu jauh dari rel kereta.
Toko Pak Joko ada di ujung pasar. Beliau menjual anak ayam dan anak bebek. Biasanya aku akan berhenti sebentar, melihat binatang-binatang kecil itu saling berebut makan. Namun kali ini aku hanya melambaikan tangan. Aku sudah tidak sabar menuju toko Ko Asep. Siap memilih baju warna merah.
Tapi Mak mengajakku ke kios beras. Tak apalah. Aku masih menunggu. Mak membeli beras juga lauk pauk dan semua kebutuhan dapur. Setelah itu, Mak mengajakku ke toko Ci Mar, tempat Mak berbelanja untuk keperluan warung. Oh ya, Mak punya warung di rumah. Aku sering menemani Mak menjaga warung siang-siang.
Setelah tas belanjaan Mak penuh, barulah Mak mengajakku ke toko Ko Asep. Aku melompat-lompat saking senangnya. Aku bahkan berlari meninggalkan Mak. Mak tidak khawatir. Toh aku sudah mengenal Ko Asep dan semua isi pasar ini.
Aku sampai di toko Ko Asep lebih dulu dari Mak. Ko Asep yang tak pernah lepas dari rokok langsung menanyaiku macam-macam.
“Mana Mak-mu?”
“Di belakang.” Aku menunjuk ke arah mak yang tampak berjalan ke toko Ko Asep. “Ko, aku mau baju warna merah.”
“Untuk apa?”
“Untuk ulang tahun Titi,” sahutku.
Aku terpana. Mataku terpaku ke sebuah baju berwarna merah. Baju berupa gaun itu tampak cantik. Ada pita putih di pinggangnya. Roknya melebar. Di bagian bawah dan ujung lengannya ada renda.
“Aku mau itu, Ko,” ujarku sambil menunjuk baju merah itu.
Ko Asep tertawa, memperlihatkan giginya yang menguning karena rokok. Diambilkannya baju itu untukku. Ah, aku suka.
“Untukmu tak kasih murah. Lima puluh ribu saja.”
“Benar, Ko?” Aku melompat saking tak percayanya.
Ko Asep mengangguk dan kembali merokok.
Aku mengambil baju itu dan membawanya keluar toko. Kulihat Mak ada di seberang jalan. Aku melompat-lompat sambil menunjuk baju itu.
“Mak, aku mau baju ini. Kata Ko Asep murah. Lima puluh ribu,” jeritku.
Mak berhenti di ujung jalan. Celingak celinguk memeriksa jalanan sebelum menyeberang.
“Mak…” panggilku. Kali ini aku berlari ke ujung jalan. Mak lama sekali. Aku sudah tidak sabar ingin memperlihatkan baju ini kepada Mak.
“Jangan menyeberang, Ela…” ujar Mak, tepat di saat aku sudah berlari menyeberangi jalan.
Mak terlambat. Aku terlambat mendengar ucapan Mak. Aku terlanjur berlari menyeberang jalan sambil membawa baju merah yang kata Ko Asep murah itu. Tanpa sadar ada motor tengah melaju kencang ke arahku.
Aku memekik, sesaat sebelum motor itu menabrakku.
SHARE:
0 Comments

Sales Kosmetik

Leave a Comment
PS: Masih bagian dari #15HariNgeblogFFDadakan yang ditulis seadanya dan waktu mepet karena baru pulang setelah seharian keliling Jakarta abis minjem baju buat pemotretan fashion spread esoknya. Judulnya aneh. Mana ada coba sales kosmetik di taman kota? *ngakak*

Sales Kosmetik
Oleh: Ifnur Hikmah



“Permisi mbak. Bisa minta waktunya sebentar?”
Aku hanya mengangkat tangan. Sedikitpun tidak ada waktu untuk meladeni siapapun yang mengajakku mengobrol. Drama pertarungan antara vampir dan manusia srigala karangan Stephenie Meyer ini terlalu menegangkan. Dan tentu saja, Edward Cullen terlalu ganteng untuk dilewatkan.
“Saya Dina dari Eva Cosmetic…”
Kosmetik? Daun telingaku berdiri. Berbagai peralatan make up dan jejeran what to do untuk menghasilkan riasan wajah dramatis selalu berhasil menyita perhatianku. Tapi tidak kali ini. Kisah cinta vampir dan manusia ini jauh lebih memukau ketimbang blush on atau eye shadow warna warni.
Lagipula ini taman kota. Dimana-mana, yang namanya sales kosmetik itu menumpuk di mall-mall. Menghampiri setiap pengunjung mall. Bukan di tempat terbuka seperti ini. Sore ini aku sedang menghabiskan waktu di taman Menteng, menunggu abangku, Dani, menjemput. Bagaimana bisa sales kosmetik sampai menjajakan dagangannya ke taman kota seperti ini?
Dan juga, Eva Cosmetic? Aku belum pernah mendengarnya. Nama yang masih asing berbanding lurus dengan ketidakpercayaan terhadap produk tersebut. Bertambah satu lagi alasan mengapa aku harus mengabaikan sales tersebut.
“Kita punya produk maskara baru mbak. Bisa melentikkan bulu mata hingga dua kali lipat. Silakan mbak dilihat-lihat dulu.”
Sales termasuk golongan manusia berhati baja. Selalu punya alasan untuk menjerat calon pelanggan. Mereka seakan-akan tidak pernah kehabisan alasan untuk membujuk si calon potensial. Terutama orang sepertiku. Perempuan yang tidak pernah keluar rumah tanpa polesan make up.
“Juga ada blush on terbaru mbak. Lebih tahan lama dan warnanya lengkap.”
Aku mendecakkan lidah. Gara-gara ocehan si sales kosmetik ini aku jadi kehilangan konsentrasi. Aku lupa apa alasan pertarungan vampir dan manusia srigala ini.
Lagipula Bang Dani kemana sih? Dia janji akan menjemputku pukul empat dan sekarang sudah hampir jam lima. Dia memang suka lupa waktu. Keasyikan bekerja tak jarang membuatnya sering molor. Abangku satu-satunya itu bekerja sebagai salah satu staf marketing di perusahaan Cina. Aku tidak tahu pasti perusahaannya apa dan aku juga tidak mempermasalahkannya. Yang penting uang saku untukku mengalir lancar dan aku bisa terus kuliah serta melengkapi peralatan make up dan buku cerita.
“Mbak…”
Sales kosmetik itu mencolek pundakku. Aku geram dan segera menutup buku—toh konsentrasiku sudah buyar. Dengan wajah masam aku berpaling ke arah si sales.
Seorang perempuan jadi-jadian berwajah menor menyambutku. Rambutnya lurus sebahu dan kasar, seperti sapu ijuk. Jelas itu bukan rambut asli, melainkan wig. Bulu matanya super lentik—kuyakin dia mengenakan maskara di atas bulu mata palsu itu. Blush on dan lipstik merahnya seolah saling beradu, mana yang lebih terang.
Aku terbelalak. Bukan karena dandanan super menor itu. Melainkan karena aku merasa kenal dengan si pemilik wajah. Maksudku, jika make up itu dihapus dan pakaian perempuan yang dikenakannya dilepaskan, aku pasti bisa mengenalnya.
Si sales menatapku takut-takut. Wajahnya menyiratkan kekagetan luar biasa.
“Maaf…” ucapnya dan segera berlalu. Dia mempercepat langkahnya, bahkan berlari.
Larinya lucu. Kaki kirinya seperti diseret karena panjangnya lebih pendek daripada kaki kanan. Gaya lari yang mengingatkanku kepada…
Ya Tuhan. Ini tidak mungkin. Bagaimana bisa…
“Bang Dani?” panggilku.
Namun si sales kosmetik sudah menghilang di balik pohon.
SHARE:
0 Comments

Keenan, Kekasih Keenam

1 comment
NB: Hari ke sekian dari #15HariNgeblogFFDadakan dari mas @momo_DM. Kenapa ini namanya mesti Keenan banget? hahahha. Dibikin ala kadarnya, saat rehat dari keasyikan ngedit cerita si tante.


Keenan, Kekasih Keenam
Oleh: Ifnur Hikmah


“When Keenan Goes Mainstream.”
Aku hanya tertawa menggapi ucapan Nadia. Kulambaikan tangan dari tempatku duduk, di atas sebuah meriam tua yang terletak di hadapan gedung balai kota di kawasan kota tua, Jakarta. Nadia berlalu di hadapanku, dengan sepeda ontel sewaannya.
Keenan. Nama itu sudah menjadi buah bibir sekarang.
Semuanya berawal dari kesuksesan film Perahu Kertas yang diadaptasi dari novel berjudul sama milik Dee. Salah satu tokohnya bernama Keenan. Pelukis tampan berdarah Belanda. Nadia-lah yang pertama kali memperkenalkanku pada nama itu. Aku yang tidak suka membaca dan tidak terlalu mengikuti perkembangan film Indonesia jelas masih asing dengan nama itu.
Namun aku tidak merasa asing dengan nama Keenan.
Keenan. Keenan Narawangsa. Laki-laki Jawa tulen yang pernah singgah ke kehidupanku, dulu. Aku yang tidak pernah bisa hidup sendiri selalu mencari kehadiran pacar baru setiap kali putus cinta. Inilah yang mempertemukanku dengan Keenan.
Setelah putus dari pacar kelimaku, Rully, aku kalang kabut mencari pacar baru. Hanya saja tidak ada yang menarik perhatianku di fakultas ekonomi, fakultas tempatku menuntut ilmu. Aku pun melebarkan sayap ke fakultas lain. Namun usahaku tidak berjalan mulus.
Ketika sedang menyaksikan pertunjukan musik jazz di pelataran parkir kampusku, aku bertemu Keenan. Dia ikut terdorong bersama massa yang memaksa maju ke depan panggung agar dapat menikmati penampilan band SORE tanpa halangan. Aksi dorong mendorong terjadi. Aku hampir terjatuh kalau saja  tidak ada yang mencekal lenganku. Aku berbalik dan langsung terpana begitu melihat seorang pria tampan menyangga tubuhku. Dia tersenyum. Hangat dan akrab. Dan aku pun tidak peduli jika saat itu aku sudah terpisah dengan teman-temanku.
Kami berkenalan. Lalu dekat. Begitu saja.
Namun Keenan berbeda dengan pacar-pacarku yang dulu. Jika mantan-mantan pacarku tidak pernah menolak ajakanku, Keenan selalu mengajakku adu argumen terlebih dahulu. Bahkan untuk sekedar memutuskan perkara sederhana seperti mau makan dimana atau nonton film apa. Tak jarang kelakuannya membuatku gondok. Tapi aku bertahan lama dengannya. Hampir tiga tahun. Rekor terlama yang pernah kujalani saat pacaran.
Kehangatan yang diberikannya, surprise kecil yang biasa diberikannya, kesediaannya mendengarkan celotehan tidak pentingku, kerelaannya menjadi tempatku berbagi imajinasi, bahkan imajinasi paling absurd sekalipun, membuatku benar-benar takluk di hadapannya. Kurasa, aku sudah jatuh cinta.
Namun seperti hal indah lainnya, kebersamaanku dengan Keenan juga terpaksa diakhiri. Dia lulus satu tahun lebih dulu dariku. Setelah itu, dia memberitahu bahwa dia melanjutkan kuliah di Belanda. Aku tertegun. Bagaimana dengan hubungan ini?
Hanya ada dua opsi: long distance atau putus.
Lalu kami mengambil jalan kedua. Putus.
Selepas dari Keenan, aku kembali ke tabiat awal. Suka berganti pasangan. Bedanya, kali ini aku selalu membanding-bandingkan setiap pacarku dengan Keenan. Sialnya, tak ada yang menandingi Keenan.
Sekarang, di usiaku yang sudah menginjak 25 tahun, aku berhenti membandingkan pria manapun dengan Keenan. Aku memutuskan untuk move on. Susah memang, tapi aku yakin aku bisa. Satu-satunya hal yang membuatku yakin adalah, aku tidak tahu dimana Keenan. Apakah dia masih di Belanda atau telah pulang ke Indonesia atau malah terdampar di negara lain, aku tidak tahu. Dan aku juga tidak mau mencari tahu.
“Hei, ngelamun.”
Tanpa kusadari, Nadia sudah duduk di sebelahku. Sepeda ontel sewaannya sudah tidak ada lagi.
“Mikirin Keenan?”
“Enak aja,” kilahku. Aku membuang muka. Tidak ingin Nadia tahu bahwa wajahku bersemu merah—kebiasaanku setiap kali berbohong. Aku sedang tidak mood meladeni ejekannya.
“Kalau emang bener mikirin Keenan juga nggak apa-apa kali, Ray.”
Aku mencibir, masih berusaha menghindar.
“Makan yuk.”
Aku menghela nafas lega. Untunglah Nadia segera melupakan ledekannya dan menggiringku ke topik lain. Dengan senang hati aku meladeninya sekarang. Aku langsung berdiri dan mengajak Nadia melihat-lihat café yang tersebar di kawasan ini.
“Ray… Rayna. Nadia…”
Baru beberapa langkah, aku mendengar seseorang memanggil namaku dan Nadia. Kami berbalik dan mencari-cari sumber suara di tengah gerombolan manusia yang menghabiskan waktu Minggu paginya di Kota Tua.
“Rayna…” Panggilan itu lagi. Kali ini disusul dengan seseorang yang melambaikan tangan.
Aku terpaku di tempat. Berjarak beberapa meter di hadapanku, ada seseorang yang sejak tadi mengganggu pikiranku. Seorang pria tampan berkulit sawo matang.
“Keenan?” panggilku.
Keenan berlari ke arahku, setelah sebelumnya berpamitan kepada seorang wanita cantik yang ada di sampingnya.
Aku dan Nadia bersitatap. Mata kami sama-sama menunjukkan satu pertanyaan; ‘how come?’
Di hadapanku, Keenan, kekasih keenamku, tengah berlari ke arahku.

SHARE:
1 Comments

Senin Yang Menggoda

1 comment
NB: Hari ke entahlah dari #15HariNgeblogFF dadakan dari mas @momo_DM dengan judul yang membangkitkan keinginan untuk nulis yang nakal-nakal, hehehhe. Hampir aja kelupaan bikin karena keenakan ngebenerin cerita si tante sama abang *lol*

Senin Yang Menggoda
Oleh: Ifnur Hikmah



“Armand…”
Jeritanku membahana di dalam rumah yang baru kumasuki.
Armand, si pemilik nama yang kuteriakkan terlonjak dari tidurnya. Dia menatapku yang terpaku di pintu kamar dengan wajah terkejut. Buru-buru dia menyambar selimut untuk menutupi tubuh telanjangnya. Tapi tindakannya malah menyentak sesosok tubuh yang tertidur di sebelahnya. Perempuan itu tersentak dan langsung menjerit begitu melihat siapa yang membangunkannya.
Dengan wajah merah penuh amarah, aku menatap sepasang manusia yang tertangkap basah bermain cinta di belakangku itu. Dengan sekali entakan kaki, aku berpaling.
“Kutunggu kamu di ruang makan.”
*
Aku sengaja memilih pesawat pagi untuk membawaku pulang ke Jakarta setelah dua minggu lebih menetap di Kuala Lumpur demi pekerjaan. Perusahaan multinasional yang kupimpin membuatku terpaksa sering melakukan travelling, bukan hanya di dalam negeri, tapi juga di luar negeri. Meeting demi meeting yang kualaniu di kota ini membuatku bosan dan tak sabar rasnaya untuk segera pulang ke Jakarta.
Namun apa yang kudapat sekembalinya aku ke rumah? Suamiku, Armand, tengah bermesraan bersama seorang perempuan murahan yang sialnya berstatus sebagai sahabatku, Aline.
Aku menunggu Armand di ruang makan. Sama sekali tidak menyangka jika Senin pagiku akan berwarna seperti ini. Kelelahan yang sejak tadi menguasai tubuhku mendadak lenyap, berganti emosi.
Kulihat Aline menuruni tangga dengan wajah merah. Dia tidak berani menatapku. Dari penampilannya yang acak-acakan, aku tahu dia tidak sempat mandi. Begitu sampai di hadapanku, Aline langsung berpamitan. Bahkan tanpa minta maaf sedikitpun, padahal dia telah tidur dengan suamiku.
Aku menatapnya geram.
“I had to go,” bisiknya dan berlalu begitu saja.
Ingin rasanya mengejar Aline. Menamparnya atau menjambak rambutnya atau melakukan apa saja untuk melampiaskan emosiku. Namun aku mengurungkan niat karena Armand sudah berdiri di ruangan yang sama denganku. Dia menatapku dalam diam. Pandangannya tertuju ke mataku, seakan dengan begitu, dia bisa meredam amarahku.
Aku menghela nafas panjang. Di luar sana aku boleh terlihat powerful dengan kesuksesanku. Namun di dalam rumah ini? Armand tahu caranya menaklukkanku. Hanya mengandalkan puppy eyes dan senyum manja di wajahnya yang tampan itu.
Tidak, aku tidak boleh kalah secepat ini. My husband slept with my friend. Aku pihak yang tersakiti di sini.
“Mar, aku tahu kamu marah, tapi aku bisa jelasin.”
Alis kiriku naik sekian derajat. Aku berpangku tangan di tempatku, menatap tajam ke arah suamiku.
I feel lonely. Kamu perginya lama banget sih.”
Aku terbelalak. Bisa-bisanya dia menyalahkan kepergianku atas kesalahan yang dilakukannya. Kalau saja dia mau bekerja keras dan bisa memenuhi semua kebutuhanku, tentu aku tidak usah bekerja sekeras ini dan sering-sering meninggalkannya. Sial.
“Sudah berapa lama?”
Armand menggeleng. Self defense yang teramat lemah. Aku tahu ketidakmampuannya dalam mengarang kebohongan. Gelengan kepala itu tidak sanggup membuatku percaya bahwa apa yang dilakukannya bersama Aline hanyalah kegiatan iseng belaka. Aku mencium pengkhianatan di sini. Aku yakin, Armand sudah lama menjalin hubungan dengan Aline di belakangku. Dasar pengkhianat.
“Kuharap kamu masih sadar dengan posisimu, Armand,” ujarku datar, “kalau nggak ada aku, kamu cuma bisa hidup menggembel dengan gajimu yang nggak seberapa itu.”
Armand terpaku di tempatnya. Meski aku mencintainya, jangan harap aku bisa diperlakukan semena-mena seperti ini.
“Aku tidak akan bertoleransi lagi jika melihatmu membawa perempuan murahan manapun ke rumah ini. Titik.”
*
“Mas, yakin rumahmu aman?”
Mas Bona hanya tersenyum, memperlihatkan lesung pipi yang membuatnya terlihat jauh lebih manis. Dia mengangguk untuk meyakinkanku.
“Aline baru pulang Rabu dan sekarang baru hari Senin. Jadi, kita aman.”
Aku menarik nafas lega dan mengikuti mas Bona melintasi halaman rumahnya yang sangat luas. Aku berdecak iri. Tentu saja iri itu kuajukan kepada Aline. Bagaimana mungkin perempuan seperti dia bisa mendapatkan suami setampan dan sekaya mas Bona sementara aku yang jauh di atas Aline hanya bersuamikan looser seperti Armand.
Mas Bona membukakan pintu berlapis kayu mahoni dan mempersilakanku masuk ke dalam rumah dengan sikap gentleman. Foto pernikahan dia dan Aline menyambutku. Aku tidak peduli, seperti yang selama ini kulakukan. Bercinta di hadapan foto pernikahan mereka bukan hal baru lagi bagiku.
Nafasku tercekat saat merasakan sapuan lembut bibir mas Bona di leherku. Mataku bergerak ke foto Aline sebelum memutuskan membalas cumbuan mas Bona.
Maaf Aline, maaf Armand. Kalian pikir mengapa aku bisa begitu saja melepaskan kalian minggu lalu? Itu hanya kamuflaseku saja karena nyatanya, aku takluk di tangan mas Bona, suamimu Aline, dan juga kakakmu, Armand.
SHARE:
1 Comments

Komang Artayudha

1 comment
NB: Hari keempat #15HariNgeblogFF dengan judul berupa nama pemberian mas @momo_DM. Seperti biasa, lagi pengin bikin cerita patah hati, hehehhe

Komang Artayudha
Oleh: Ifnur Hikmah



Anak kecil itu tersembunyi di bawah rindangnya pohon mahoni di halaman sekolah. Tampak asyik menekuri kertas gambar. Entah apa yang digambarnya. Sepertinya dia tidak ingin diganggu.
Aku hanya guru pengganti di TK ini. Setiap kali TK yang berjarak tidak jauh dari rumahku ini membutuhkan guru pengganti, mereka akan memanggilku. Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke sini, dan siap bercanda dengan anak-anak penuh keceriaan namun manja ini.
Perlahan, kakiku bergerak melintasi halaman depan TK. Panas matahari terasa menyengat. Beberapa tetes peluh bercucuran di keningku, membuat rambut panjangku terlihat lepek. Langkahku bergegas. Sesegera mungkin menuju tepian rindang pohon mahoni agar terhindar dari terik matahari.
“Hai,” sapaku ringan. Kumasukkan tangan ke dalam kantong rok dan duduk di sebelah anak kecil itu.
Komang Artayudha namanya. Dari namanya sepertinya ada darah Bali mengalir di tubuhnya. Hari ini kali ketiga aku mengajar Komang. Dia memang selalu menjadi murid yang pulang paling akhir—efek dari ibunya yang tidak pernah menjemput tepat waktu. Selama ini, aku tidak pernah menghampiri Komang. Aku selalu pulang begitu jadwal mengajarku selesai. Namun hari ini, tidak ada salahnya berlama-lama di sekolah. Lagipula, kasihan Komang. Dia kesepian. Dia tidak memiliki interaksi sosial yang bagus bersama teman-temanya. Lebih senang berbaur dengan kertas gambar, pensil, dan buku cerita.
Komang menatapku sebentar. Matanya bulat dengan bola mata berwarna coklat jernih. Dulu sekali, aku pernah mengenal orang bermata seperti itu, dan aku suka.
“Lagi gambar apa?”
“Pesawat.”
Kulirik kertas gambar Komang. Sebuah pesawat sedang terparkir di hanggarnya. Di pintu yang terbuka ada sesosok pria mengenakan seragam pilot. Pria itu melambaikan tangannya. Sementara itu, di anjungan pengantar, ada gambar seorang anak kecil melambai-lambaikan kertas gambar.
“Ini kamu?” telunjukku terpaku pada gambar anak kecil dan kertas gambarnya.
Komang mengangguk.
“Lalu ini?” Aku menunjuk pria berseragam pilot.
“Papa.”
“Ayahmu pilot?”
Komang mengangguk. Tangannya masih asyik mengarsir bagian badan pesawat.
Aku terpaku. Pilot. Profesi itu pernah bersinggungan denganku. Ketika usiaku baru menginjak awal dua puluhan dan masih suka bertualang. Karena keterbatasan dana, aku memutuskan menginap di bandara Ngurah Rai di hari terakhir kunjunganku ke pulau itu. Danaku terpangkas habis di Pasar Sukowati sampai-sampai tidak cukup untuk biaya hotel semalam lagi. Aku yang kedinginan dan hanya berbalut selembar kardigan, bertemu Hari untuk pertama kalinya. Hari menawariku segelas kopi hangat dan mengajakku bercerita sampai pagi tiba dan kami berpisah. Aku mengutuk kelalaianku yang tidak meminta kontak Hari padahal waktu tiga jam yang kami lewati begitu menyenangkan. Aku ingin mengulangi kebersamaan ini lagi.
Beruntung Dewi Fortuna masih berpihak kepadaku. Siapa sangka jika Hari adalah pilot yang akan membawaku kembali ke Jakarta? Kami bertemu kembali di Bandara Soekarno Hatta, beserta ajakan ngopi sore darinya. Ngopi sore berlanjut ke ajakan makan malam, makan siang, sarapan, jalan-jalan. Kami pun berbagi pelukan, kecupan, ciuman, hingga berbagi rasa. Aku jatuh cinta, begitu saja.
Namun perjalanan hati tak selamanya mulus. Kerikil kecil bermunculan. Semuanya berawal dari aku yang tidak bisa menerima seringnya Hari meninggalkanku akibat tuntutan profesinya. Sekali dua kali aku masih sabar. Lama-lama, aku tidak bisa lagi. Hari lebih sering menghabiskan waktu bersama pramugarinya ketimbang aku, kekasihnya.
Lalu kata putus menjadi jawaban. Aku patah hati. Hari-hari kulalui dengan suram, selalu terbayang kenangan manis bersama Hari. Meski sekian tahun berlalu, dan Hari yang sudah tidak terdengar lagi kabarnya, jauh di sudut hatiku masih ada nama Hari.
Begitu melihat gambar Komang, hatiku terpanggil. Nama Hari meronta-ronta di sana. Aku merindukannya. Rindu yang kupendam sendiri. Kukubur dalam-dalam. Padahal, dialah alasan mengapa aku masih melajang hingga usiaku sudah memasuki kepala tiga.
Pernah aku bertanya, mengapa aku menyerah secepat ini? Mengapa aku tidak mencoba menjalaninya dan mempertebal kesabaran yang kupunya? Tentu aku masih berbahagia bersama Hari. Atau mungkin, aku sudah memiliki anak seusia Komang.
Aku tergugu. Penyesalan memang selalu hadir di belakang.
Pernah aku mencoba menghadirkan pria lain. Namun tidak ada yang seperti Hari. Hingga akhirnya aku lelah selalu membanding-bandingkan setiap pria yang masuk ke kehidupanku dengan Hari. Lalu, aku memutuskan untuk menjalani hidup apa adanya. C’est la Vie. Gone with the wind. Let it flow. Apapun itu. I just live my life to the fullest, meski faktanya aku masih melajang.
“Hari ini papa janji menjemputku ke sekolah.”
Ucapan Komang menarik kembali memoriku yang melayang entah kemana.
“Komang kangen papa ya?”
Komang mengangguk. Ini yang kutakutkan dulu. Menanggung rindu seorang diri sementara orang yang kutitipkan rindu sedang melayang entah di mana.
“Itu papa datang,” jerit Komang.
Kertas gambarnya diletakkan begitu saja di atas kursi kayu. Dia berlari kencang. Aku tertawa dan mengumpulkan peralatan Komang sebelum membawanya ke hadapan ayahnya.
Langkahku tertegun di bawah pohon mahoni. Beberapa meter dihadapanku, kulihat Komang sedang diangkat tinggi-tinggi oleh pria yang dipanggilnya papa. Di belakang mereka, ada perempuan yang kuketahui bernama Sarasvati, ibu Komang. Perempuan asal Bali yang menjadi tandemku berlatih bahasa Bali setiap kali bertemu dengannya di TK ini.
Pria berseragam pilot itu berhenti mengangkat tubuh Komang dan berpaling menatapku. Kulihat riak kaget di wajahnya. Lama kami bersitatap. Aku serasa terlempar kembali ke waktu bertahun silam. Saat aku kedinginan dan bersitatap dengan sepasang mata yang menawarkan secangkir kopi di bandara Ngurah Rai.
Hari… desisku.
“Papa…” panggil Komang.
Hari berjalan menghampiriku. Senyum manisnya masih sama seperti dulu.
“Raisa? Apa kabar? Aku nggak nyangka ketemu kamu di sini. Kamu ngajar di sini?” Hari memberondongku dengan sejuta pertanyaan yang tak satupun bisa kujawab.
“Raisa substitute teacher di TK ini.” Sarasvati menjelaskan.
“Berarti kamu kenal Komang? Anakku?”
Aku tertunduk. Kutatap kertas gambar Komang. Ada pria berseragam pilot di sana. Tak kusangka itu Hari.
“Senang ketemu kamu lagi, Raisa.”
Kupaksakan diri untuk tersenyum. Kuserahkan semua peralatan Komang kepada Sarasvati. “Aku juga, Hari. Tapi maaf, aku harus pergi. Ada janji jam dua.” Terpaksa aku berbohong.
“Mungkin lain kali kita bisa ngobrol-ngobrol. Sambil ngopi sore. How?
Aku mengangguk. “Why not?” Lidahku tercekat. “Bye…”
Aku segera berlalu sambil tersenyum miris. Teringat dulu aku melepaskan hari untuk terbang kemana saja dan dia memang terbang kemanapun yang diinginkannya, termasuk menerbangkan hatinya ke perempuan lain. Salahku berbuat seperti itu. Dan sekarang, aku hanya bisa tersenyum kecut saat menyadari ajakan ngopi sore itu hanya basa basi, tidak akan berlanjut ke percintaan seperti yang dulu pernah kami jalani.
SHARE:
1 Comments

Pelukan November

5 comments
NB: Hari ketiga dari #15HariMenulisFF oleh @momo_DM. Why oh why meski kebagian November? Jadi ingat si arsitek atau si lawyer yang ulang tahun November. Akhirnya pilihan jatuh ke mas arsitek dan sedikit nakal hahahah.

Pelukan November
Oleh: Ifnur Hikmah



Angin malam bulan November terasa kering. Seharusnya, angin terasa sejuk, mengingat sekarang sudah memasuki musim penghujan. Namun yang ada hanya gerah, membuat beberapa tetes keringat bertumpahan dan membuat terusan latex yang kukenakan terasa lengket di kulit. Sungguh tidak nyaman.
Dudukku pun tidak nyaman meski menempati pojok favoritku di Madeleine Bistro. Mataku terasa tertarik untuk terus menoleh ke arah belakang, padahal seharusnya aku tidak boleh menoleh. Jangan sampai pasangan yang tengah makan malam di belakang sana menyadari kehadiranku. Bisa pecah perang dunia ketiga yang terpusat di Kemang kalau pasangan itu melihatku.
Namun mataku gatal untuk melihat apa yang terjadi di belakang sana. Kukeluarkan cermin kecil dari dalam clutch putih milikku. Sambil berpura-pura membenarkan tatanan rambut, aku mengamati apa yang terjadi di belakang.
Berjarak dua meja di belakangku, pasangan itu tengah menikmati makan malam mereka. Mereka duduk bersisian, sesekali saling menatap saat berbicara. Entah apa yang mereka bicarakan. Yang jelas, perempuan berambut panjang sepunggung itu terlihat antusias. Tangannya bergerak ke sembarang arah, meningkahi setiap kata yang terlontar dari bibir berlapis lipstick merah itu. Sementara laki-laki di sebelahnya hanya mendengarkan. Matanya terbagi antara makanan di hadapannya dengan perempuan di sebelahnya. Sementara itu, di atas meja ada black forest dengan lelehan coklat yang menggugah selera. Serta lilin berbentuk angka 30.
Tentu saja, hari ini ulang tahun pria itu. Hari istimewa yang memaksa si perempuan rela menempuh jarak separuh lingkar bumi dari Berlin ke Jakarta hanya untuk merayakan ulang tahun si pria. Romantis ya? Memang, tapi tindakannya hanya membuatku mencibir.
Perempuan berbaju merah itu terlihat sangat mencintai pria yang ada di sampingnya. Jika tidak, bagaimana mungkin dia rela mengeluarkan uang sekian ratus ribu euro demi sebuah kursi di Singapore Airlines? Namun itu belum cukup. Apalah artinya merayakan satu hari ulang tahun jika hari-hari lainnya dia tidak ada? Meninggalkan prianya seorang diri sementara dia dengan egoisnya kembali ke negaranya.
Pria itu juga—katanya—mencintai perempuan itu. Namun melihat gelagatnya yang tidak bersemangat membuatku sangsi. Mungkin dulu dia mencintai perempuan itu, namun sekian lama terpisah, dia merasa jengah. Lelah dengan hubungan tanpa kejelasan. Dan dia bukanlah seorang saint yang tahan terhadap godaan. Dia membuktikan dirinya hanyalah manusia biasa yang bisa takluk terhadap godaan bernama perempuan.
Dan perempuan itu aku. Aku bukan perempuan penggoda. Aku hanya perempuan yang takluk akan pesonanya, kehebatannya, dan segala yang dia punya. Sampai-sampai aku hanya mencibir setiap kali terigat fakta dia sudah memiliki tunangan. Toh tunangannya tidak di sini, jauh di Jerman sana. Tunangannya hanya hadir melalui perantara teknologi, sementara aku bisa menghadirkan sosok nyataku di hadapannya, kapanpun dia menginginkan dan membutuhkanku.
Namun sialnya, perempuan itu malah datang hari ini. Mengacaukan semua rencanak perayaan ulang tahunnya. Tidak ada pesta besar-besaran dalam agendaku. Cukup makan malam berdua di rumahnya dilanjutkan dengan bercinta sepanjang malam. Aku menghadiahkan diriku untuknya. Ini jauh lebih romantis ketimbang kedatangan tunangannya selama beberapa hari lalu kembali meninggalkannya dalam ketidakjelasan hubungan mereka.
Kugerakkan cermin itu ke sebelah kanan. Ruang pandangku jadi lebih leluasa. Kulihat lelakiku meniup lilin di atas kue ulang tahunnya dan perempuan itu bertepuk tangan. Dengan lancangnya dia mencium pipi lelakiku. Sial, aku jadi cembruu. Ingin rasanya berbalik dan menarik lengannya lalu membswanya ke tempatku agar tidak ada yang mengganggu kami. Namun jelas aku tidak bisa. Dia melarangku, dan seperti yang sudah-sudah, aku selalu mengiyakan apapun perkataannya.
Aku terlalu mencintainya sampai-sampai menjadi bodoh seperti ini. But I don’t care as long as he loves me.
Kuturunkan cermin kecil itu dan mencoba mengisi jeda dengan melakukan apa saja. Menyantap makanan. Membolak balik majalah. Mengrcek twitter. Apa saja, yang setiap beberapa menit kuselingi dengan mengangkat cermin dan mengawasi situasi di belakangku.
Entah sudah berapa lama aku menunggu, aku tidak tahu. Yang pasti, aku terlonjak kaget saat merasakan sebuah sentuhan di pundakku. Majalah yang kubaca melorot ke lantai. Perlahan aku berbalik sambil mereka-reka siapa yang berada di belakangku. Jangan perempuan itu. Aku sedang tidak mood berantem dengan siapapun. Lagipula dia perempuan yang cukup tangguh berdebat. Aku pernah dibuat mati kutu saat dia menyemprotku lewat Skype karena kecerobohanku mengupload foto aku dan pria itu sedang berciuman di sebuah club. Sejak saat itu, aku semakin berhati-hati. Raganya memang jauh namun matanya ada di sini. Mengawasi gerak langkahku.
Jantungku nyaris copot saat sebaris senyum menyambutku. “Sigit…” desisku.
Senyum Sigit terus mengembang. Syukurlah dia tidak marah. Sejak awal dia tidak setuju dengan kenekatanku mengunjungi café ini di saat yang sama dengan kedatangannya dan tunangannya itu. Dia bilang akan datang ke apartemenku setelah selesai makan malam. Hanya saja, aku tidak sabar menunggunya sampai-sampai aku nekat datang ke sini.
“Mana dia?” Tanyaku. Sampai kapanpun aku tidak sudi menyebut nama perempuan itu dan lebih memilih kata ganti dia.
“Sudah pulang.”
“Kamu nggak nganterin dia.”
Sigit mendudukkan tubuhnya di kursi di hadapanku. Lihat, betapa menariknya dia. Kemeja putih pas badan dipadu jas hitam semi formal dan jins biru tua. Jambangnya yang beberapa hari belum dicukur membuatnya semakin seksi. Aku jadi tidak sabar ingin menciumnya.
“Aku beralasan ada kerjaan di kantor jadi nggak bisa nganter dia.”
“Kerjaan?”
Sigit mengedip. “Kamu. Kamu pikir aku nggak tahu sejak tadi kamu di sini. Untuk apa? Memata-mataiku?”
“Aku kangen,” akuku.
“Kan aku udah bilang akan ke tempatmu nanti.”
“Nanti itu lama. Aku mau sekarang.”
So, nunggu apa lagi? Habisin makananmu dan kita rayain ulang tahunku di apartemenmu.”
“Lalu dia?” Ah bodoh. Untuk apa mempertanyakan dia.
Untunglah Sigit hanya angkat bahu tanda tidak peduli. “Bbesok dia balik ke Berlin. Untuk apa berlama-lama dengan dia? Toh sebentar lagi aku juga nggak bareng dia lagi. Aku capek terus-terusan kayak gini. Ada kamu, nyata di hadapanku. Untuk apa terus-terusan terjebak bersama hubungan tanpa kejelasan ini?”
Aku tertawa. Lepas. Ini yang kesekian kalinya dalam setahun kebersamaan kami Sigit mengeluhkan hal yang sama. Meski aku tidak tahu kapan mereka akan putus, yang penting dia sudah ada niat untuk lepas dari perempuan itu dan seutuhnya bersamaku.
Aku menggamit lengan Sigit dan melangkahkan kaki keluar dari Madeleine Bistro. Angin kering November memeluk tubuh kami saat melangkah menuju mobilku. Kami berciuman di sepanjang jalan, sedikitpun tidak peduli dengan lingkungan sekitar.
Ah, Sigit. Kapan kamu benar-benar lepas dari perempuan itu?
SHARE:
5 Comments

Sepotong Kue Keju

Leave a Comment
NB: Cerita kedua dari #15HariNgeblogFF dengan judul pemberian Mas @momo_DM dan ketentuan setting danau. Mengambil tempat danau di belakang kampus FIB UI :)

Sepotong Kue Keju
Oleh: Ifnur Hikmah



If I got down on my knees and I pleaded with you. If I crossed a million oceans just to be with you. Would you ever let me down?*
“Cicipi dulu.”
Petikan gitar beserta senandung ringan itu berhenti seiring dengan ucapanku. Mataku tertuju ke sepotong kue keju yang kubuat sepanjang pagi, sebelum menyeret langkahku ke danau ini. Hanya sebuah danau buatan, dibentuk untuk mempercantik keberadaan kampus tempatku mengajar di daerah Depok.
Thanks. Pasti enak seperti biasa.” Dion, yang sejak tadi sibuk memetik gitar dan bernyanyi, mengalihkan perhatiannya dari gitar ke kue buatanku. Dalam hitungan detik, kue itu sudah berpindah dari tangan ke mulut.
Dion tersenyum lebar, sedikitpun tidak peduli dengan butiran keju yang terselip di sela-sela giginya. Dia pun mencomot kue kedua dari dalam kotak kecil yang kubawa.
“Enak?”
Pria itu mengangguk antusias. Rambut ikalnya bergerak-gerak seiring anggukannya.
“Kue buatanmu selalu enak. Apapun itu,” ucapnya sedikit tidak jelas karena dia berbicara sambil mengunyah.
Tak pelak, tindakannya itu membuatku tertawa. Kelakuannya persis anak kecil, sama sekali tidak menunjukkan tingkah pria berusia awal 30an.
“Jadi, apa tujuanmu mengajakku ke sini? Mencicipi kue buatanmu? Kamu kan bisa memberikannya di kelas. Lumayan, untuk mengganjal perut saat kuliah,” seru Dion yang telah beralih ke potongan ketiga.
Dion benar. Jika hanya untuk memberikan kue ini, tidak perlu mengajaknya ke pinggir danau. Toh malam ini kita akan bertemu. Di kelas Statistik. Aku sebagai dosen, dan Dion sebagai mahasiswa. Di kelas itulah aku pertama kali bertemu Dion. Ketika aku ditunjuk untuk pertama kalinya mengajar di program master dan mendapati ada mahasiswa yang menarik perhatianku. Bukan hanya di kelas, tapi juga di luar kelas.
Berawal dari kebaikan hatinya mengawalku melintasi pedestrian di tengah hutan agar sampai ke stasiun kereta, kami pun mulai sering melewati waktu bersama. Terlebih di sore hari. Menatap pantulan matahari terbenam di air danau di belakang Fakultas Sastra sambil tidur-tiduran di atas hamparan rumput lalu kemudian saling bergandeng tangan menuju kelas statistik.
Memori yang indah. Dan seperti halnya kebahagiaan, tentu tidak akan bertahan lama. Akan datang masanya, entah aku atau dia, yang akan mengakhiri. Nyatanya, waktu menunjukku untuk segera mengakhiri romansa ini.
Itulah yang mendorongku mengajaknya bertemu. Berbekal kue keju bikinanku dan keteguhan hati yang tidak seberapa.
Tanganku bergerak refleks membentuk sulur-sulur abstrak di sepanjang lengannya. Sekedar mengulur waktu sebelum menjatuhkan bom yang kupendam sejak tadi.
“La, are you okay?”
Aku mengangguk.
“Serious?”
Sekali lagi aku mengangguk. Nyatanya, aku tidaklah baik-baik saja. Aku tidak sanggup, Dion.
“Wajahmu berkata sebaliknya.”
Perkataan Dion menyentakku. Kuangkat wajah dan memberanikan diri untuk menatap matanya. Mata coklat itu menyiratkan kekhawatiran, juga tanda tanya besar.
“What’s wrong?”
“I have to go.”
Dahi Dion berkerut. “Masih sore. Baru jam lima. Kelas kita kan jam tujuh? Masih ada waktu untuk melihat sunset. Lihat, sore ini cerah. Pasti pantulan matahari di air danau ini akan terlihat indah,” beber Dion.
Aku tersenyum kecut. Bukan pergi itu yang kumaksud.
“Maksudku, aku harus pergi dari hidupmu. Kita nggak bisa nerusin ini.”
Sepotong kue keju terlepas dari tangan Dion. Terjatuh pasrah ke atas hamparan rumput. Mata Dion memerangkapku. Membuatku tergagap dan lidahku kelu. Hilang semua alasan yang sudah kupersiapkan sejak lama.
“You must be kidding me,” desisnya.
Sekuat tenaga aku menggelengkan kepala.
“Why?”
“Kita tidak mungkin selamanya bersembunyi seperti ini, Dion. Aku ini perempuan, ingin merasakan dicintai dan mencintai sepenuh hati, tanpa halangan apapun. Namun denganmu, apa yang kudapatkan? Selalu jadi yang nomor dua. Keberadaanku di hidupmu selalu disembunyikan. Aku nggak mau terus-terusan kayak gini.” Sekuat tenaga aku menyembunyikan air mata, tapi akhirnya pertahananku goyah ketika isi hati yang kupendam selama ini tercurahkan.
Dion mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Tampak pias sekaligus pasrah. “Ini yang kutakutkan.”
“Apa?”
“Kamu menyerah dan memutuskan untuk pergi.”
“Kamu sudah menduga ini akan terjadi?” Sejumput emosi mulai menguasaiku.
Dion kembali memakuku dengan tatapannya sebelum akhirnya mengangguk. “Karena itulah aku selalu berusaha keras membuatmu bahagia, membuatmu untuk tidak pernah berpikir bahwa kamu selalu nomor dua karena di hatiku hanya ada kamu.”
“Di hidupmu sudah lebih dulu hadir istrimu, sebelum aku.”
I don’t love her. Aku menikahinya karena perjodohan yang diatur orang tuaku, jauh sebelum aku dan Mia lahir.”
Mia. Hatiku masih menggoreskan rasa sakit setiap kali mendengar nama itu. Karena Mia bisa menunjukkan ke mata dunia bahwa dia memiliki Dion, sementara aku tidak. Padahal, aku juga mencintai Dion dan Dion juga mencintaiku.
Cinta yang tidak berpihak kepada kami.
“Dijodohkan atau tidak, yang kutahu hanyalah kamu suami Mia dan aku hanya akan menjadi simpananmu, selamanya. Tidak, Dion, I need to move on. Looking for a new love. Seseorang yang mencintaiku dan menjadikanku nomor satu tanpa harus bersembunyi dari apapun.”
“Jangan egois…”
“Kamu yang egois jika memaksa kita untuk bertahan,” potongku, “perpisahan ini memang menyakitkan tapi akan lebih banyak yang tersakiti jika kita terus bersama.”
Aku bangkit berdiri. Lebih baik aku cepat-cepat pergi dari sini, agar aku bisa menangisi patah hati ini sepuas-puasnya. Kutatap kue keju yang tinggal sepotong. Kue terakhir yang kubuat untuk Dion atas nama cinta. Mungkin juga, kue terakhir yang kubuat karena kue ini hanya mengingatkanku kepada Dion. Juga, kuedarkan pandangan ke sepanjang danau. Merekam setiap detik yang kulalui bersama Dion untuk nanti kukenang setiap kali aku dilanda rindu.
“Maafkan aku, Dion. Goodbye.
Aku berbalik, seiring dengan air mata yang menetes turun.
Sayup, telingaku menangkap denting gitar beserta senandung pelan. Aku berbalik. Tidak jauh di belakangku, kulihat punggung Dion yang terkulai layu. Dia kembali memainkan gitarnya, dan bernyanyi.
If I climbed the highest mountain just to hold you tight. If I said that I would love you every single night. Would you ever let me down?*
Maaf Dion. Aku terpaksa melepaskanmu. Demi kita.


*) Shakin' Steven - Because I Love You
SHARE:
0 Comments

(Bukan) Perempuan Pilihan

2 comments
NB: Dapat judul FF dari masmo tadi pagi dan langsung dibikin cerita ini :)

(Bukan) Perempuan Pilihan
Oleh: Ifnur Hikmah
From: weheartit.com


Cincin berlapis berlian murni itu terlihat berkilau di bawah temaram cahaya matahari sore. Tergeletak pasrah namun penuh keanggunan. Berkilauan dan memaksa siapa saja untuk mengalihkan mata melihatnya.
Cantik. Cincin itu cantik.
“This is Cartier.”
Aku mendongak dan tersenyum. I know Cartier and I don’t care. Yang kupedulikan hanyalah, mengapa cincin itu ada di sini. Di atas hamparan pasir putih di Karimun Jawa. Matahari sore yang bersinar cerah di langit sana kian memantulkan kilau cincin cantik itu.
Dadaku berdebar hebat. Kencang. Dan aku pun gugup dibuatnya.
“This is super special. Very exclusive,” sambungnya.
Kualihkan tatapanku dari cincin mahal itu ke sepasang bola mata dihadapanku. Ada kilau bahagia di sana. Membuatnya tak kalah menyilaukan dibanding cincin ini. Namun lidahku masih kelu. Masih belum sanggup mengeluarkan suara sepatah katapun.
“What do you think? Do you like this ring?
Aku terpana. Butuh waktu sekian detik untuk mengembalikan otakku agar berpikir rasional.
Tell me, salahku jika aku serasa dilambung angan berlebih bernama pengharapan ketika seorang pria yang sangat dekat denganku, menguasai seluruh hatiku, tiba-tiba saja menyusulku yang tengah melewatkan akhir pekan di Karimun Jawa beserta sebuah cincin yang sangat cantik, lalu bertanya pendapatku tentang cincin itu? I don’t think so.
“Oh Mario…” Refleks tanganku terangkat menutup bibir. Takjub.
“Sepertinya kamu suka.”
Aku mengangguk. Cincin ini sukses menarik atensiku sejak pertama kali Mario meletakkannya di atas hamparan pasir putih ini satu jam yang lalu. Dan selama satu jam terakhri ini pula anganku melayang melewati batas rasional. Meski tak pernah terucap kata cinta diantara aku dan Mario, bagiku itu bukan penghalang. Kami sudah bersama-sama selama lima tahun. Melewati banyak cerita bersama. Together from Jakarta to Paris to Milan. Kemana saja. Berbagi apa saja.
Termasuk berbagi hati.
Meski Mario tidak pernah mengucap, keberadaannya yang selalu di sisiku membuatku yakin hatinya pun telah tertuju untukku. Dan sekarang ada cincin di antara kami.
I am very happy.
“I hope she likes too.”
What?
Mendadak senyum yang sejak tadi membayang di wajahku lenyap sudah. She? Dia? Kutatap Mario dengan beribu pertanyaan berkelebat di mataku. Menuntut penjelasan.
“Kamu kaget?”
Aku menelan ludah. Pahit. “Cincin ini? Maksudmu?”
“Untuk Dinda.”
Dinda. Nama itu sontak menguasai seluruh otakku. Nama yang melekat di diri seorang perempuan mungil tapi anggun yang kuperkenalkan kepada Mario di hari ulang tahunku, enam bulan lalu. Dinda, sahabatku.
Mario tertawa, membuatku kian bertanya-tanya.
“Maaf, Na, aku menyembunyikan ini darimu. Hanya saja, sejak pertama kali mengenal Dinda, you know, I just…” Mario mengangkat kedua tangannya. Kehilangan kata-kata. Dari raut wajanya aku tahu kebahagiaan yang dirasakannya begitu besar sampai-sampai dia tidak tahu harus berkata apa. “I just fall in love.”
“Are you sure?” Entahlah, aku masih belum memercayai pendengaranku. Dinda dan Mario? Ah, it’s impossible.
“Sejak hari ulang tahunmu, aku sering menghabiskan waktu bersama Dinda. Sampai akhirnya kami sama-sama yakin dengan perasaan ini. Namun Dinda tidak ingin pacaran. Katanya, dia sudah memasuki masa deadline.” Mario terkekeh. “Dan setelah kupikir-pikir, apa lagi yang kutunggu? I love her and she loves me. Nggak ada halangan lagi, kan?”
Aku masih terpana. Namun yang pasti, hatiku mulai terasa perih. Angan yang tadi melambung tinggi sekarang terhempas ke dasar bumi. Perih. Sakit.
“Dia yang kupilih. I don’t need another woman. Just her, till the end of my time.”
Aku memalingkan wajah. Menatap ke kejauhan, menghindari raut wajah Mario yang begitu gembira. Sementara di sampingku, cincin camtik itu maish berkilauan. Semakin menambah perih sakit hatiku.

SHARE:
2 Comments

Once Is Enough

Leave a Comment
Once Is Enough
Aku yang menyakiti, Aku yang kembali...
Oleh: Ifnur Hikmah

-->
Aku gelisah dalam dudukku. Kursi tinggi—seperti kursi bar—ini membuatku tidak nyaman. Kakiku yang tidak menjejak lantai berayun-ayun, seiring dengan desah nafasku yang kian menggebu. Mataku menatap lurus ke depan, menembus pilar-pilar kaca dengan lukisan bunga yang berjajar membatasi area kantin dengan taman dan pedestrian di hadapannya—berharap semoga salah satu diantara sekian banyak orang yang lalu lalang di pedestrian sana adalah kamu.
Pesan terakhirmu mengatakan kamu masih kesusahan mencari lahan parkir. Aku tergelak. Bukan hal baru, mengingat populasi mobil di kampus ini berbanding lurus dengan jumlah mahasiswanya.
Sekali lagi kudesahkan nafas berat.
“I’ll be waiting for you. Here inside my heart. I’m the one who wants to love you more…”
Suara bening Celine Dion mengalun indah dari speaker di area kantin. Lagu penuh makna, juga penuh sindiran terhadapku.
Sekali lagi aku mendesah, bersamaan dengan bayangmu yang terpantul di pilar kaca di hadapanku.
Aku berbalik. Terpaku pada kedua bola matamu yang menyiratkan banyak tanda tanya ketika beradu pandang denganku.
“You look terrible,” ujarku. Bukan kalimat sapaan yang baik, mengingat ini pertemuan pertama kita setelah sekian lama tidak bertemu. Hanya saja, lidahku terlanjur kelu dan semua kata sapaan yang telah kupersiapkan semenjak tadi lenyap begitu saja.
Namun aku tidak bohong. Kamu memang terlihat menyedihkan. Cambang yang tidak terurus menutupi garis rahang dan dagumu, juga sebaris kumis di atas bibir.
Teringat dulu aku selalu menyeretmu ke kamar mandi setelah berhari-hari kamu tenggelam dalam pekerjaanmu merancang bangunan dan tidak lagi memerhatikan keadaanmu.
Kamu menarik kursi di sebelahku.
“Kamu apa kabar?”
“Beginilah.” Sebuah jawaban singkat. Bahkan kamu tidak menatap ke arahku.
“Kamu sibuk?”
“Setengah jam lagi aku ada jadwal ngajar,” sahutmu, masih dengan nada datar.
Teringat dulu kamu selalu menanggapi setiap pertanyaanku dengan antusias, tidak peduli pertanyaan paling bodoh sekalipun. Juga, crunchy smile milikmu yang selalu membuatku gemas.
“Setengah jam kurasa cukup.”
“Untuk apa?” potongmu, “untuk menyakiti hatiku lagi?”
Aku tercekat. Hampir saja gelas yang kupegang melorot ke lantai. Sedikitpun aku tidak menyangka kamu akan menyerbuku dengan tuduhan itu. Setidaknya, tidak dalam waktu sedini ini, di saat bertukar kabar pun belum kita lakukan.
“Aku tidak bermaksud begitu. Maksudku…”
“Sudahlah. Aku mau ngajar.”
Lalu, kamu bangkit berdiri. Begitu saja.
Semula, aku masih berharap kamu mau mendengarkan penjelasanku. Setidaknya, kesediaanmu bertemu denganku kuanggap sebagai setitik harapan kecil. Masih jelas betapa bahagianya aku setelah berjam-jam menimbang cara yang tepat untuk menghubungimu lagi, akhirnya kuberanikan diri untuk mengirimimu pesan singkat. Nyatanya, kamu membalas pesan itu. Dan kamu mengiyakan ajakanku untuk bertemu. Meski aku harus menempuh jarak Jakarta-Karawaci, itu bukan masalah.
Karena yang kubutuhkan hanyalah melihatmu lagi.
Punggungmu yang kian menjauh membuatku tersadar. Buru-buru aku melompat turun dan mengejarmu. Sedikitpun tidak peduli meski bebatuan yang membelah halaman berumput ini mengganggu langkahku. Aku masih mengejar langkahmu, meski harus berlari di pedestrian yang dipenuhi mahasiswa ini.
“Git… Sigit…” panggilku, namun tak ada jawaban.
“Sigit, wait. Please…
Kali ini, kamu berhenti. Kamu berbalik dan menatapku dengan tatapan yang—entahlah, aku tidak bisa mengartikannya.
“Please, give me a time,” bujukku begitu sampai di hadapanmu.
Kuberanikan diri untuk menggenggam tangan yang dulu tak pernah lepas dari genggamanku itu. Dengan sorot mata penuh pengharapan kuajak Sigit ke sebuah bangku kayu yang ada di sisi pedestrian. Pohon-pohon yang menghiasi sisi pedestrian ini membuat anganku melayang ke satu masa.
Teringat dulu ketika kita melewatkan dua kali musim semi di New York. Kita yang setiap sore sering menghabiskan waktu bersama segelas kopi di bangku kayu yang ada di Central Park.
“Aku nggak punya banyak waktu. Jadi, maumu apa?”
“Aku… aku…” Aku tergagap. Sudah sejauh ini dan aku tidak tahu apa yang harus kukatakan? Bodoh. Aku hanya bisa mengutuk diriku sendiri.
Tiba-tiba, kamu tergelak. Entah apa yang kamu tertawakan. Mungkin kebodohanku, atau kenekatanku. Atau juga menertawakan betapa tidak tahu dirinya aku, berani-beraninya menghubungimu setelah dua tahun menghilang dan memutuskan hubungan cinta denganmu begitu saja.
“Sari… Sari…” Kulihat kamu menggelengkan kepala, masih setia dengan tawa sinismu, “kamu sebenarnya nggak tahu kan apa tujuanmu mengajakku bertemu?”
Kutelan ludah yang terasa pahit mengaliri tenggorokanku. “Aku mau minta maaf.”
“Minta maaf?” Pria yang duduk di sampingku ini menatapku sinis. “After two years dan kamu baru minta maaf sekarang? Setelah kamu membuatku gila dengan menghilangnya kamu dan kamu yang memutuskanku begitu saja sesaat setelah aku melamarmu? I don’t understand.
“Sigit, itu yang mau aku jelasin sekarang.”
“Okay. Elaborate.”
Sekali lagi, aku menelan ludah. Pahit masih terasa mengaliri tenggorokanku, sama seperti kepahitan yang mencengkeram hatiku menghadapi dinginnya sikap yang diberikan Sigit kepadaku. Kualihkan pandangan ke lapangan basket di seberang taman. Kosong. Seperti masa depan yang terbentang di antara aku dan Sigit.
Kucoba untuk bersuara. “Waktu itu, aku belum siap. Masih banyak to do list yang belum tercapai. Kamu tau kan? Agenda berisi to do list itu? Semua mimpi-mimpiku?”
Lagi, kamu tergelak. Kali ini diiringi dengan tatapan sinis ke arahku. “Sekarang, kamu sudah mencontreng semua to do list itu?”
“Git… Aku…”
“Tidak pernah ada aku kan di dalam to do list itu?”
“Bukan itu. Maaf aku terlambat menyadari bahwa kamu sangat berarti. Aku mencintaimu.”
But it’s too late.” Kalimat singkat itu diucapkan dengan nada datar dan sinis. Kulihat sosok itu bangkit berdiri dan menatapku tajam. “I have to go.
“Git… Sigit…”
Percuma saja aku memanggilmu. Sosok itu sudah berlalu di hadapanku, berbaur dengan mahasiswa yang juga memenuhi pedestrian di hadapanku.
*

Kepalaku tertunduk. Kakiku menyusuri pedestrian di Benton Junction yang dialihfungsikan menjadi café outdoor. Banyak orang lalu lalang di sana, namun aku merasa sepi.
Kesepian yang selalu menggerogoti hatiku semenjak dua tahun terakhir ini, tepatnya setelah aku memalingkan langkah dari Sigit.
I love him. I really do. Hanya saja saat dia melamarku dua tahun lalu, aku belum siap. Ketika cincin pemberiannya kuletakkan berdampingan dengan agenda berisi daftar impian yang kucoba untuk wujudkan, entah mengapa, hatiku lebih condong ke agenda tersebut. Seakan cinta yang kujalani selama lima tahun ini tak ada artinya apa-apa.
Dengan berat hati, kukembalikan cincin itu, bersamaan dengan tetes air mata miliknya. Aku berbalik, tanpa menyadari bahwa saat itu aku juga terluka. Sekarang baru kusadari betapa bodohnya aku. Sigit sangat sempurna untukku, hanya saja aku terlalu buta untuk menyadarinya.
Kuhempaskan tubuhku di sofa orange yang terletak di depan Grasshopper Thai. Suasana Benton Junction sore ini cukup ramai. Cuaca mendung membuat sore ini cocok dengan melankoli yang memenuhi relung hatiku. Mataku bergerak berkeliling, menjelajahi setiap sudut pedestrian.
Teringat dulu aku dan kamu menikmati suatu sore di Orchard Road. Kamu yang selalu memberikan crunchy smile milikmu dan tidak pernah complain dengan banyaknya belanjaanku yang kamu bawa.
Barisan fairy lights di pepeohonan sepanjang Benton Junction mulai menyala. Entah berapa lama aku terduduk di sini, bersama segelas Basil Lemon Tea yang sudah tak jelas lagi rasanya. Sesekali kutolehkan kepala ke arah belakang, ke kampus tempat kamu mengajar. Berharap ada kamu di antara banyaknya orang yang menanti lampu hijau menyala di zebra cross di depan kampusmu.
Do you know what? Aku bergulat dengan peperangan bathin yang melandaku. Mungkin sekarang kamu sedang menertawakan kekurangajaranku. Aku pun sadar, mengajakmu bertemu kembali bukanlah hal yang bijak. Aku yang menyakitimu. Aku yang meninggalkanmu. Aku yang menolak lamaranmu dan memutuskan hubungan kita. Lalu sekarang, aku yang kembali padamu. Berharap sedikit saja kamu mau menerimaku kembali.
How pathetic I am, right?
Cahaya fairy lights ini memakuku. Teringat langit-langit kamar tidurku di apartemen yang kamu hias degan fairy lights membentuk tanda hati. Juga inisial nama kita. S & S. Do you know what? Fairy lights itu masih ada. Masih setia kupandangi setiap kali aku merindukanmu.
“Sari.”
Aku tersentak. Kuarahkan pandang ke sumber suara.
Lalu, di sanalah kamu. Di ujung jalan. Kemeja putih dengan aksen garis yang kamu kenakan tampak mencolok di antara kerumunan orang di pedestrian ini. Meski kamu terlihat kuyu—terrible—percayalah, aku masih melihatmu sebagai pria paling sempurna yang pernah diberikan Tuhan untukku.
Aku bangkit berdiri. Menunggumu dengan senyuman.
Thanks for coming. Aku tahu ini berat untukmu tapi aku janji, aku tidak akan meninggalkanmu lagi,” ucapku dengan penuh suka cita ketika pria yang begitu kucintai itu sampai ke hadapanku.
Namun sosok itu malah menggeleng. “I’m here to say goodbye. Dulu, kita belum sempat mengucapkan selamat tinggal.”
“Git…” Aku terpana.
“Aku menunggumu sampai akhirnya aku tidak tahu lagi untuk apa aku menunggu? Akhirnya aku menyerah.”
“Git…”
“Kamu ingat? Sejak dulu aku tidak pernah setuju dengan to do list di agendamu itu”
Aku mengangguk.
“Sampai kapanpun, itu akan menjadi penghalang kita. Selama tidak ada aku di sana.”
“Tapi, Git…”
“Makasih ya kamu sudah mengajakku bertemu sekarang sehingga kita berpisah baik-baik. Sudah nggak ada lagi yang mengganjal di antara kita.”
“Git…” Hanya itu yang bisa kuucapkan karena otakku yang tidak bisa diajak bekerja memikirkan ucapan lain. Perkataan Sigit memakuku.
I have my own life, hidup yang kuatur setelah kamu pergi. Aku sudah terlanjur nyaman berada di dalamnya dan aku tidak tahu apakah aku akan sanggup jika mengizinkanmu memasukinya lagi.”
“Tapi kita bisa mencoba…”
“Once is enough. Once is enough.”
Tanpa bisa dicegah, air mataku menets turun. Aku menangis. Menangisi kebodohanku. Menangisi penyesalan yang baru kurasakan sekarang. Menangisi harapan yang tidak pernah terwujud nyata. Menangisi kesempatan yang telah berada di genggamanku namun karena kebodohanku, kesempatan itu menguap.
Andai kamu tahu, Git, kamu berada dalam daftar teratas to do list itu. Hanya saja, aku baru menyadarinya sekarang, setelah aku terlanjur menyakitimu.
Aku berbalik, memandangi punggungmu yang kian berjalan menjauh.
Dan sampai kapanpun, aku yakin, cinta ini akan masih ada. Even you never realize.


PS: Menandai kunjungan pertama ke UPH dan Benton Junction di Karawaci. Kesamaan nama dan profesi hanyalah ketidaksengajaan belaka, hanya ingin menegaskan pertemuan dengan bapak dosen dengan 5 o'clock shadow super lebat setelah berhari-hari nggak cukuran + kemeja putih garis-garis + crunchy smile + tingkah salting malu-malu. Selamat mengajar Perencanaan Rancangan bapak dosen sekaligus arsitek kece :) 
SHARE:
0 Comments
Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home
BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig