Lantai Tiga

Leave a Comment

Lantai Tiga


“Wow.”
Aku menatap Narendra yang berdiri terpaku beberapa meter di depanku, tepat di depan pintu masuk Hearst Tower. Dia tengah menengadah, menatap bangunan tinggi berwarna biru di hadapannya. Ekspresinya benar-benar terpukau—mungkin ekspresi itu akan muncul di wajahku ketika aku bertemu Jeanne-Marie Lanvin, designer idolaku.
“Hei, what’s wrong?” tanyaku tepat setelah aku keluar dari Hearst Tower. Kurapatkan coat dengan aksen fur yang kukenakan. Udara bulan Desember sudah sangat dingin. Sebentar lagi natal, dan salju sudah ada di mana-mana.
I love snow. Semata karena di musim ini aku bebas mengenakan koleksi coat dan boots yang kupunya.
“Kenapa nggak bilang kamu mau ke sini? Tahu gitu kan aku bisa nganterin kamu tadi pagi,” sahut Narendra tanpa mengalihkan tatapannya dari gedung di hadapannya.
Aku berdiri di sebelahnya, ikut menengadah dan menatap bangunan tinggi di hadapanku. Warna biru mendominasi dengan jejeran kaca berbentuk prisma yang disusun miring dan desain yang abstrak—ah, pengetahuanku tentang arsitektur sangat minim. Entah apa spesialnya bangunan ini sampai-sampai Narendra seperti sapi ompong begini. Bengong. Seolah-olah bangunan ini sama seksinya dengan Pamela Anderson saat mengenakan bikini di serial Baywatch.
“Memangnya kenapa?”
“Aku sudah ingin ke sini sejak hari pertama menginjakkan kaki di Manhattan.”
Dahiku berkerut. “Me too. Tapi agak aneh kalau kamu juga ingin. Hei, kamu nggak baca Cosmopolitan atau Bazaar kan?”
Narendra mengalihkan tatapannya ke arahku. “Enggaklah.”
“Terus?” cecarku. Agak aneh jika Narendra ingin menginjakkan kaki di sini. Jika aku, itu tidak mengherankan. I love Hearst Corporation. Bukan, aku bukannya ingin bekerja di salah satu majalah yang dinaunginya—hei, aku tidak bisa menulis berita by the way—tapi aku berambisi jika someday, salah satu majalah ini akan memajang busana rancanganku di halaman fashion mereka. Syukur-syukur, salah satu rancanganku dimuat di Harper’s Bazaar.
Aku tersenyum membayangkan jejeran nilai A di transkripku.
Dan itulah yang kulakukan di sini sekarang. Maksudku dua jam yang lalu. Dua jam yang terasa sangat panjang ketika aku dan tiga orang temanku, Max, Paula, dan Victoria, mempresentasikan winter outfit rancangan kami di hadapan Glenda Bailey dan jajaran tim fashion Bazaar lainnya. Dua jam yang membuatku kebat kebit nggak karuan. Aku sangat menginginkan kesempatan ini, demi hasil bagus di akhir studiku.
And I got it. Itulah mengapa aku tersenyum sumringah saat melangkah keluar dari gedung perkantoran ini.
“Gedung ini salah satu masterpiece-nya Foster + Partners, salah satu biro arsitek ternama di dunia. Sudah berdiri sejak tahun 1967 dan berbasis di London. You know what, aku mengidolakan Norman Foster. Yah, seperti kamu mengidolakan Marc Ja… Ja what?”
“Marc Jacobs.”
“Ya itulah. Awalnya aku pikir kamu mau ke sekitar sini, tahunya kamu mau ke Hearst Tower. Tahu gitu kan aku tadi ikut. Aku penasaran di dalamnya seperti apa.”
Aku menyikut tulang rusuknya. “Tadi aku bukannya udah ngajak? Siapa coba yang nolak dengan alasan ngantuk?”
Narendra memperlihatkan cengiran lebarnya. “Next time kamu bakal ke sini lagi nggak?”
Kind of,” jawabku sumringah. Tentu saja aku akan kembali ke sini, setelah Glenda Bailey memuji asymmetric coat rancanganku dan keinginan mereka untuk melihat rancanganku yang lain. Hei, aku memang masih berstatus sebagai mahasiswa di Pearson, tapi fashion people sekelas Mrs. Bailey sudah memuji desainku.
Tidak mengherankan jika nanti aku kembali ke Indonesia, aku akan menjadi desianer terkenal di sana.
“Rancanganmu diterima?”
Kali ini giliranku yang tertawa kebar. “You know who I am. Nggak sia-sia begadang setiap malam.”
Congratulation, Sa. I know, kamu pasti bisa.”
“Iyalah.”
“Ada perayaan?”
Aku memutar bola mata. “Teman-temanku—Max tepatnya—ingin merayakan keberhasilan ini di Zanzibar nanti malam. Wanna come in?”
“Yah, Zanzibar. Kamu kan tahu aku nggak suka tempat kayak gitu.”
Oh come on. Aku kangen kumpul sama teman-temanku.” Aku menampilkan ekspresi merajuk semaksimal yang aku bisa.
“Yaudah, kamu aja yang datang. Tapi dari siang sampai sore ini kamu rayainnya sama aku, oke?”
“Di mana?”
Narendra mengedipkan sebelah matanya. Tanpa memberitahukan tujuannya, dia menarikku pergi.
*

Aku pertama bertemu dia di sini. Di suatu pagi di Central Park. Campuran beragam jenis alkohol yang kutenggak semalam suntuk membuat perutku bergejolak. Namun keinginan untuk pulang dan meminum segelas susu agar mual itu hilang tidak ada sama sekali. Akhirnya, aku ke sini, Central Park, icon new York yang selalu kukunjungi setiap hari.
Di bangku ini juga pertama kali aku mengenalnya. Kebaikan hatinyalah yang membuat kedekatan ini kian berlanjut. Bagaimana aku bisa lupa, dia yang mengabaikan sketch book miliknya demi mengusap punggungku saat aku muntah hebat di tempat sampah di sebelahnya. Juga, kesediannya mengantarku pulang hanya karena langkahku yang limbung. Termasuk, kerelaannya menggendongku ke lantai tiga kamar 32, kamarku, membuat dia kemudian mengisi pikiranku.
Sore berikutnya, kembali di Central Park, aku bertemu dengannya. Ransel hitam yang disandangnya tampak kebesaran di balik tubuh kurusnya. Namun senyum lebar itu tidak menunjukkan keberatan sedikitpun. Dia menghampiriku, menepuk pundakku, dan membuatku terkejut karena terlalu asyik menekuni Cosmopolitan.
Narendra. Aku berbicara tentang dia.
“Hati-hati. Panas.”
Aku hanya tersenyum tipis saat menerima hot chocolate yang ditawarkannya. Cuaca New York yang dingin sangat cocok dengan segelas hot chocolate. “Thanks,” sahutku.
“Jadi, ini tahun terakhirmu di sini?” Tanya Narendra seraya menghempaskan tubuhnya di sebelahku.
“Tahun terakhir kuliah. Kalau tinggal di sini, entahlah, aku belum tahu.”
Ini tahun kelima aku tinggal di Manhattan. Tahun kelima aku menjalani statusku sebagai mahasiswa Pearson demi mengejar ambisiku menjadi desainer handal. I’m not a straight A student, tapi jajaran nilai di transkripku juga tidak mengecewakan. Meski kuliahku tergolong lama, itu bukan karena aku malas. I love New York, the city that never sleeps. Yang ternyata juga membuatku jarang tidur. Tumpukan tugas dan club malam yang menjamur di sepanjang jalan membuatku senang. Tapi, bukan kehidupan penuh hura-hura itu yang membuatku melalaikan kuliah, melainkan kesempatan yang kuterima untuk bekerjalah yang membuatku sedikit mengabaikan kuliah. Di tahun ketiga, aku dipercaya menjadi anak magang—padahal tugasku adalah pesuruh dalam segala hal—di DVF. Tahun keempat, aku naik pangkat jadi asisten designer di DVF—ini kulakoni hingga sekarang. Sebuah kesempatan yang sangat berarti, mengingat aku seorang mahasiswa yang jauh-jauh datang dari Indonesia.
Kesempatan untuk terus bekerja di sana masih terbuka lebar untukku. Namun, aku masih mengincar hal lain.
“Rencanamu selanjutnya?” Aku menghela nafas berat. “Pulang?” tebak Narendra.
Refleks aku menggeleng. Pulang ke Jakarta belum ada di dalam agendaku saat ini. Belum saatnya aku pulang. Entahlah, hanya saja aku merasa bahwa masih banyak hal yang bisa kuraih di sini.
Atau di kota lain. Seperti Milan, misalnya?
“Mungkin aku jadi pindah ke Milan. Lanjut kuliah, fashion business di Marangoni.”
“Yah…”
“Kenapa? Kok kamu kayak nggak rela gitu?”
Kulihat Narendra memainkan gelas kertas berisi kopi di tangannya. “Kamu tahu, Sa, kamu satu-satunya kenalanku di sini.”
Kuletakkan gelas berisi hot chocolate di sebelahku dan menatap Narendra. Ini bukan pertama kalinya dia bercerita tentang nasib yang membawanya ke sini. Meski baru dua bulan mengenalnya, dia sudah bercerita banyak hal. Tentang cita-citanya menjadi arsitek handal—itulah yang membawanya ke New York, tentang ibunya yang sudah meninggal dan ayahnya yang menikah lagi dengan perempuan asal New Jersey—alasan kedua keberadaannya di Manhattan, karena mengikuti ayahnya. Tentang ketidakbetahannya tinggal di apartemen ayahnya dan akhirnya memutuskan untuk menerima ajakanku pindah ke apartemenku.
Melihat Narendra bersamaku masih menyisakan tanda tanya besar di benakku. Bagaimana mungkin dua orang yang sangat berbeda karakter bisa menjalani kehidupan bersama? Aku dengan segala sosialisasi yang tak pernah berakhir, dan Narendra dengan kehidupan menyendiri dan sepi yang disukainya. Aku dengan segala tetek bengek kota besar yang begitu kupuja, Narendra dengan kesederhanaan yang sejak dulu melekat di dirinya. Aku masih tidak menyangka betapa polosnya dia—masih jelas di ingatanku tatapan shock-nya saat aku keluar dari kamar mandi hanya berbalut underwear dan dia yang melayangkan pandangan ke sembarang arah, ke mana saja, asal tidak menatapku. Masih jelas bagaimana aku tertawa terbahak-bahak saat Narendra menceritakan kehidupan percintaannya yang membosankan. Juga penolakan demi penolakan yang diberikannya ketika aku mengajaknya keluar malam. Juga bagaimana lugunya dia saat aku mengajarinya bercinta untuk pertama kalinya.
Dia seperti adik untukku, terlepas dari usianya yang jauh di bawahku. Namun aku nyaman bersamanya. Sisi dewasanya selalu muncul setiap kali aku mengeluh letih atau capek. Hanya ada dia yang siap mendengarkan curhatanku, tidak peduli saat itu tengah malam sekalipun. Hanya dia yang berbaik hati terbangun demi menungguku pulang dan kemudian membukakan pintu untukku—bahkan beberapa kali menggendongku ke lantai tiga saat aku benar-benar mabuk.
Dua bulan kebersamaan kami, aku sudah merasa banyak hal.
Jujur, dia juga menjadi satu alasan mengapa aku masih betah di sini.
“Kalau kamu pergi, aku sama siapa?”
“Bukannya kemaren kamu bilang kalau kamu juga nggak betah di sini dan pengin pulang aja?”
“Iya sih.”
“Terus, apa bedanya? Toh someday salah satu diantara kita akan pergi juga.”
“Kamu mau pergi ya, Sa? Nggak betah ya sama aku? Aku tahu, kita tuh beda banget.”
Jawaban polos itu membuatku terbahak. Kukecup pipi tirus itu sekilas. Inilah yang membuatku menyukai Narendra. Kepolosan dan keluguannya, hiburan di sela-sela kesibukan dan kerumitan kuliah serta pekerjaan. Tidak jarang aku membatalkan janji keluar dengan teman-temanku dan memilih untuk menonton DVD berdua di apartemen.
“Eh, kalau aku tuh udah bosen sama kamu, aku cuma ngijinin kamu tiga hari doang di apartemenku.”
Narendra ikut tertawa bersamaku.
“Yakin, ntar malam nggak mau ke Zanzibar?”
“Nggak deh. Kamu aja. Have fun ya.”
“Tapi ingat ya itu handphone kamu harus aktif.”
Narendra mencibir dan mengacak rambutku.
*
“Aku di bawah. Kamu jemput aku ya.”
“Oke. Aku turun sekarang.”
Kututup telepon dan kembali duduk di atas trotoar. Kepalaku pusing. Niat hanya berkunjung satu jam malah molor menjadi lima jam dan tidak terasa jarum jam sudah menunjukkan angka tiga ketika aku melangkah keluar dari Zanzibar bersama Max. Untung, pria itu masih mau mengantarku pulang—setidaknya sampai di depan apartemen.
“Can I go right now?”
Aku mengangguk.
“Are you sure?”
“It’s okay,” sahutku, “Narendra will come.”
“Okay.”
“Take care, Max.”
Max baru berjalan beberapa langkah ketika pintu apartemenku terbuka dan kulihat Narendra muncul dari balik pintu. Sepertinya dia terburu-buru, hanya sempat menyambar jaket yang biasa digantungkannya di balik pintu. Dia hanya mengenakan celana piyama dan sandal yang biasa digunakan di dalam apartemen, padahal cuaca malam ini sangat dingin. Aku saja masih merasa dingin meskipun sudah mengenakan coat super tebal.
“Hai,” sapaku. Tanganku terjulur hendak meraihnya.
Kepalaku sangat pusing. Aku sudah membayangkan betapa nikmatnya kasur di kamarku. Namun, untuk mencapainya aku harus menaiki tangga sebanyak tiga lantai. Ah, membayangkannya saja sudah tidak sanggup.
“Kamu minum berapa banyak sih?”
Aku hanya tersenyum menanggapi gerutuan Narendra. Kusambut uluran tangannya dan kulingkarkan tangan kananku di pundaknya. Dia membantuku berdiri dengan susah payah.
“Untung akhir-akhir ini kamu jarang keluar malam. Aku bisa makin kurus kalau kamu tiap malam begini,” candanya.
Aku hanya menyeringai menanggapi candaan itu. Meski sepertinya ucapan itu ada benarnya juga. Walaupun tidak pernah meminta, Narendra selalu menungguku sampai aku pulang, selarut apapun itu.
“Kamu bisa jalan?”
I don’t think so. Apa kamu…”
Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, Narendra sudah menggendongku. Dia tidak terlihat keberatan sama sekali. Dan tanpa berkata apa-apa, Narendra menggendongku ke lantai tiga, kamar 32, tempat tinggal kami.
Jika suatu hari nanti, entah aku atau dia yang memutuskan untuk pergi terlebih dahulu, siapa yang akan rela menungguku pulang sampai selarut ini dan menggendongku ke lantai tiga hanya karena aku tidak sanggup berjalan sendiri setelah menenggak berbotol-botol alkohol?
Entahlah. Dan aku terlalu mabuk untuk memikirkan hal itu sekarang.
SHARE:
0 Comments

Architecture 101

2 comments
First, iif nonton film Korea? Oh well, gue bukannya anti banget sama Korea. Toh gue masih nonton Winter Sonata sekarang, hohoho.


Begitu tahu film ini dari twitnya Blitz yang diRT Adit, langsung kepengen nonton. Ya karena judulnya lah, arsitektur. Architecture is not my thing sih sebenernya, cuma gue cukup paham sih mana arsitek ganteng yang pacar-able ;p. Jadi, berangkat dari judul itulah akhirnya mau nonton film ini. Apalagi setelah nonton traillernya. Ditambah dengan tokoh cowok yang nggak-cantik-dengan-poni-lempar-dan-warna-rambut-ngejreng, akhirnya nonton jugalah film ini Jumat, 21 September di Blitz Megaplex Grand Indonesia bareng Adit dan Dwi.

Comment setelah nonton? BAGUSSSS *ambil tisu*. Kisah nonton film Korea untuk pertama kalinya sama kayak nonton film Thailand pertama kali (Bangkok Traffic Love Story). Nggak berekspektasi apa-apa eh ternyata bagus.

Jadi film ini bercerita tentang arsitek cowok, Seung Min, yang tiba-tiba didatengin cewek yang minta dibikinin rumah di Jeju Island, Seo Yeon. Awalnya si Seung Min ini lupa siapa Seo Yeon. Setelah diingetin, dia ingat kalau Seo Yeon itu teman kuliahnya yang ketemu di tahun pertama kuliah karena sama-sama ambil mata kuliah Architecture 101. Karena mereka tinggalnya deketan, jadinya suka ngerjain PR bareng. Si Seung Min ini tipikal cowok-cowok cupu nerd bego gitu dan Seo Yeon ya cewek kebanyakan. Mereka nggak jadian sih pas kuliah karena *beeepppp. No Spoiler*.

Ceritanya bagus. Yang patut diacungi jempol yaitu penempatan flashbacknya. Pas banget, jadi nggak bikin pusing dan bikin gregetan juga.

Cuma komentarnya ya dari segi tokohnya. I hate Seung Min. Come on, lo cowok kan? Cemen banget sih. Cowok normal tuh ya, secupu apapun, bakalan keluarlah naluri cowoknya kalau ngelihat cewek yang dicintainya dalam bahaya. Meski nggak bisa berantem, at least, cobalah ya dikiiiiit aja buat fight for her. Ini nggak. Pas Seo Yeon diapa-apain sama Jae Wook, dia malah ngumpet di balik dinding sambil sedih-sedihan. Come on. Lihat sendiri kan kalau Seo Yeon nolak si Jae Wook. It's your turn, Seung Min. Bantulah Seo Yeon-nya, bukannya ngumpet trus sakit hati dan buang maket yang udah capek-capek lo bikin. Udah gitu ya, bukannya minta penjelasan malah nyuruh Seo Yeon pergi gitu aja dari hidupnya dan nggak mau ketemu lagi. Sakit hati sampai ngatain Seo Yeon bitch. Seo Yeon is the real bitch, but you, Seung Min, you're a chicken. Looser. Cemen. Bikin ilfil. Untung aja itu ya si Seo Yeon nggak tahu kalau malam itu lo ada di TKP dan cukup terharu aja pas nemuin maket rumah di tempat sampah esoknya jadi dia nggak marah. Coba kalau dia tahu. Mampus tuh si Seung Min dihajar, hehehhe.

Ngomong-ngomong soal maket rumah, it's the most unyuest part, hehhehe. Gue sama si Adit senyum-senyum gaje gitu lihat si Seung Min bawa-bawa maket yang dibikin dari sketsa asal yang dibuat Seo Yeon saat mau nembak Seo Yeon. Unyu.....

Moment unyu lagi? First kiss mereka dong. Jadi ngingetin ke part ciuman-rasa-lima-dollar antar Simon dan Mahoni di Memory. Awww.... *nenggak Godiva*

Momen unyu slash romantis lainnya pas Seung Min dewasa lagi ketiduran siang-siang di atas rumput yang ada di atap rumah Seo Yeon dengan pemandangan pantai di Jeju Island. Trus Seo Yeon dateng dan tidur di sampingnya. Sinematografinya bagus. Pemandangannya bagus. Jadi pengen pacaran juga *brb ngebayangin pacaran di pinggir danau di Serenade Lake sama arsitek yang tinggal di jalan Lotus*

Selain unyu, filmnya sedih juga. Beneran, sampai nangis meski yang bikin nangis justru bukan hubungan mereka. Sedihnya itu pas Seung Min dewasa pulang ke rumahnya sebelum pergi ke US dan ketemu nyokapnya yang udah tua. Nyokapnya bersikeras tetap tinggal di rumah yang udah 30 tahun ditinggalinya. Nangis pas Seung Min lihat nyokapnya pake kaos Geuss *Geuss ya, bukan Guess* punya dia yang dulu dia buang waktu kuliah karena something gitu deh. Trus pas Seung Min nangis sambil benerin pagar yang dia rusak dulu. Artinya, masa lalu itu nggak akan pernah bisa diperbaiki, termasuk apa yang terjadi antara dia dan Seo Yeon dulu.

Endingnya juga sedih tapi realistis banget. Mungkin banyak yang gregetan kenapa endingnya begitu cuma ya kalau dibawa ke kehidupan nyata, justru ending kayak gitu yang realistis banget.

Nilai plus film ini? Rumahnya Seo Yeon bagus banget. Apalagi jendela lebar yang bisa dibuka geser dan ditutup jendela kayu yang bisa digeser juga dengan pemandangan ke laut. Sumpah, itu bagus. Jadi inget jendela lebar di rumah putih yang ada di Serenade Lake *keselek*. Trus ya, kantornya Seung Min bagus banget. Penasaran jadinya sama kantor arsitek di sini kayak gimana *ajak aku ke mantan kantormu, mas. Ke AMA aja cukup ;p*

Trus satu lagi. Si Seo Yeon kan gaje ya. Wajar sih, Scorpio soalnya *dihajar para Scorpio*.

Intinya filmnya bagus. Manis. Unyu. Sedih. Menurut gue, novel Memory kalau difilmin akan kayak gini meski Memory endingnya nggak serealistis film ini.

4 dari 5 bintang.

Ada satu lagu yang memegang peranan penting di film ini. Judulnya Etude of Memory. Setelah dicari tahu artinya, ternyata lagu ini mencerminkan isi hati Seung Min banget.

Love,
iif
SHARE:
2 Comments

Pulang (All The Way From new York)

Leave a Comment
Pulang
(Untuk Proyek #30HariLagukuBercerita oleh @PosCinta.
Diambil dari lagu Wilson Phillips, All The Way From new York)

(Pict: Logo Welcome to 57th Street, Manhattan, NYC)



I'm gonna ask you for something, and it may sound like a lot
I've never really asked you for anything, no
We've always lived so far apart
Would you fly all the way from New York to see me?
Could you fly all the way to stand here next to me?
I didn't think so
(All the way from New York by Wilson Phillips)

Mataku terpejam. Sejenak deretan gedung pencakar langit yang menghampar di balik jendela lebar yang menggantikan satu sisi dinding apartemenku lenyap dari pandangan. Berganti gelap.
Aku masih terpaku di balik meja hitam ini. Berusaha meredakan debar yang mendadak menghampiri sedetik setelah layar Macbook di hadapanku menampakkan sebuah surat elektronik. Hanya pesan singkat. Sebuah petikan lagu, tanpa tambahan apa-apa.
Namun itu sudah mampu membuat pagiku menjadi kelabu. Tidak peduli sinar matahari musim panas bersinar cerah di langit Manhattan.
Bunyi dering mesin penjawab telepon mengagetkanku. Membuatku tersadar akan waktu yang terbuang percuma pagi ini—meski tak lama kemudian kusadari aku hanya membuang waktu lima menit saja.
“Hello, this is Reina. Please leave a message.”
“Reina, I need your report, now.”
Aku terlonjak. Detik itu juga aku dipaksa kembali ke dunia nyata. Dunia nyata yang bahkan bergerak sekian kali lebih cepat dibanding langkah kakiku.
Sekali lagi, kuberanikan diri untuk membaca pesan singkat itu. Isinya masih sama, hanya sebuah petikan lagu. Namun apa yang tidak tertulis di sana berdentang dengan lantangnya di benakku.
Sebuah pertanyaan yang memintaku untuk pulang.
*

Tumit sepatuku melangkah mantap di sepanjang 57th street. Di sepanjang mata memandang, hanya ada gedung-gedung pencakar langit yang sudah menjadi trademark kota Manhattan. Langkahku melangkah mantap menuju Frederick Douglass Boulevard sampai nantinya berlabuh di Central Park. Itulah tujuanku sore ini. Menghabiskan sedikit waktu yang kupunya sebelum pulang ke apartemen sepiku.
Aku menyesap kopi yang kubawa. Angin sore ini terasa cukup bersahabat meski matahari musim panas terasa menyengat. Aku rindu angin musim dingin. Ketika pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Big Apple dan berselancar sepanjang hari di Wollman Rink.
Jauh di belakang tertinggal Hearst Tower yang memerangkapku sepuluh jam sehari. Sebuah perangkap yang menyenangkan meski untuk itu, aku sering diberi cap sebagai “budak pekerjaan”. Bagiku, itu bukan masalah. Bukankah ini yang kuinginkan? Menapak karir di kota yang menjadi pusat pergerakan roda perkenomian dunia? Sudah banyak yang kukorbankan, hingga akhirnya aku bisa berdiri mantap di atas kakiku sendiri. Seorang diri di kota yang sangat asing.
Namun penggalan lirik lagu yang mampir ke inbox emailku membuatku goyah. Sepanjang hari aku berusaha mengabaikannya, namun aku terlanjur kalah bahkan semenjak pertama kali mataku menyusuri baris demi baris di email itu.
Dia memang tidak pernah meminta apapun padaku, namun sekalinya dia meminta, dia tahu, sulit bagiku untuk mengabulkannya.
Langkahku terasa limbung. Bukan karena sepatu setnggi 12 cm ini sudah tidak sanggup lagi menopang bobot tubuhku, tapi karena detak jantungku yang tiba-tiba bereaksi lebih cepat dibanding biasanya. Buru-buru aku mencapai bangku beton yang tersedia di pedestrian dan mendudukkan tubuhku di atasnya.
Pemandangan Hudson River sama sekali tidak berhasil membuatku tenang. Berbagai gejolak yang berasal dari masa laluku tercurah begitu saja. Satu per satu saling berebut ingin keluar.
Aku benci jika harus memikirkan ini. Namun sekarang aku bahkan tidak punya kuasa memikirkan hal lain selain terpaksa menikmati kembali kehadiran masa laluku.
*

Jakarta, tiga tahun sebelumnya.
“Enam bulan?”
Aku mengangguk. “Hanya enam bulan,” tegasku.
Wajah tampan dihadapanku merengut. Sedikitpun tidak terlihat senyum sumringah seperti yang selama ini sering diberikannya padaku. “Kenapa harus New York?”
“Kamu lupa? Pusat majalahku kan di sana.”
“Tapi New York itu jauh.”
“I know.” Lalu aku pun menenggelamkan sosok itu ke dalam pelukanku. Aku tahu New York itu jauh. Perbedaan waktu yang cukup mencolok juga menjadi penghalang yang nanti akan timbul ketika aku mendaratan tubuhku di kota itu. Belum lagi godaan demi godaan, baik di Jakarta ataupun new York, yang sanggup memunculkan ketakutan untuk berpaling di hatiku.
Aku mencintai pria ini. Sepenuh hatiku.
But I love my job too. Mendapat kesempatan bekerja langsung di kantor pusat Cosmopolitan, meski hanya enam bulan, itu pun demi memajukan edisi Indonesia yang kutangani, menjadi berkah yang tak ternilai harganya. Tentu aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
Meski untuk itu aku harus meninggalkannya.
Dan aku memang meninggalkannya dengan satu janji kepulanganku begitu semuanya selesai.
Lalu enam bulan berubah menjadi satu tahun. Bukan inginku untuk berlama-lama di sini meski tidak bisa dipungkiri, New York selalu membuatku jatuh cinta. Semenjak pertama kali melihatnya di layar bioskop ketika menonton Home Alone saat aku masih kecil. Musim dingin New York dan Wollman Rink telah tertanam erat di benakku, membuatku membulatkan tekad untuk mengunjunginya suatu hari nanti. Aku berhasil, bahkan lebih dari itu, aku tinggal dan bekerja di sini.
“Katamu hanya enam bulan?”
“Aku juga nggak tahu kenapa diperpanjang. Barusan kantor di Jakarta memberitahuku perihal perpanjangan ini,” sahutku. Aku tahu, di seberang sana, dia tengah memberengut kesal. Aku pun begitu. Bukan hanya dia yang merindukanku, aku pun juga merindukannya.
“Berapa lama?”
“Enam bulan lagi.”
Begitu saja. Telepon ditutup tanpa ada penjelasan lebih lanjut. Dan aku pun melanjutkan kehidupanku di New York.
Lalu satu tahun berganti menjadi dua tahun. Kali ini karena keputusanku sendiri.
Cosmopolitan US menawariku suatu penawaran yang tidak mungkin kutolak. Menjadi karyawan mereka. Sepenuhnya. Dan begitu kukonfirmasikan kepada Cosmopolitan Indonesia, mereka menyerahkan semuanya di tanganku.
Aku bimbang.
“Kamu bercanda kan?”
Teriakan itu kuterima sedetik setelah aku menyampaikan penawaran ini via telepon. Aku sudah menduga akan menerma nada keberatan ini. Uuntuk waktu enam bulan saja, dia sudah keberatan, apalagi sekarang? Untuk waktu yang tidak ditentukan kapan batas akhirnya.
“Terserah kamu.”
Telepon diutup begitu saja, bahkan sebelum aku melontarkan sepatah kata berisi pembelaan.
Dan aku pun melanjutkan hidupku. Di sini, di New York. Terhitung sudah menginjak tahun ketiga semenjak kali pertama aku menginjakkan kaki di sini.
*

Aku memandang berkeliling. Merekam setiap detik yang kulalui di New York dan membekukannya di ingatan. Aku pasti akan membutuhkannya nanti. Ketika aku tidak lagi di sini.
Would you fly all the way from New York to see me?
Tentu saja aku mau. Bukan hanya dia yang dilanda kerinduan, aku pun begitu. Meski selama ini aku berusaha menyembunyikannya dengan menyibukkan diri, perlahan tapi pasti, kerinduan itu selalu muncul. Entah ketika aku hendak menutup mata atau ketika membuka mata di pagi hari. Keinginan untuk berada di dekatnya selalu ada, bahkan ketika aku melangkah di jalanan kota New York yang begitu kucintai ini.
I love New York, but I love him more.
Dan pulang ke pelukannya, it’s all what I want.
Aku bangkit berdiri. Matahari perlahan-lahan mulai meninggalkan langit New York, berganti dengan bintang-bintang yang perlahan mulai muncul.
I didn't think so
Pelan, kuhela nafas panjang, sebelum melanjutkan langkahku di 57th street.
Aku akan pulang.
Someday.


SHARE:
0 Comments

It Doesn't Even Matter

Leave a Comment
It Doesn't Even Matter
(Oleh: Ifnur Hikmah)
Bagian dari #FF2in! by Nulisbuku yang dikasih waktu kurang dari setengah jam.



Aku berjalan di sepanjang pedestrian yang menghiasi jalanan Thamrin. Jakarta malam ini, masih pengap seperti biasa. Dan aku juga masih seperti biasa.
Terbayang selalu dan selalu akan apa yang pernah kita jalani.
Dua tahun bukan waktu yang singkat. Entah berapa tarikan nafas yang kita lakoni bersama sepanjang dua kali pergantian kalender. Nyatanya, saat ini aku pun masih sama.
“Kamu janji ya, jika someday kamu jatuh cinta lagi, kamu akan bercerita padaku.”
Aku tahu, ada luka di balik bisikanmu itu. Luka yang kamu simpan sendiri karena kamu tahu, ada luka juga yang tergores di hatiku. Menyerahkanku untuk dimiliki orang lain dan menyerahkanmu untuk dimiliki orang lain tentulah meninggalkan luka yang teramat besar di hati kita.
Aku jatuh cinta padamu, begitu saja. Meski aku tidak tahu apa yang membuatmu jatuh cinta padaku, yang kupikirkan hanyalah, aku begitu menikmati setiap detik yang kita lewati bersama.
It doesn’t even matter how hard you try
Keep that in mind, I designed this rhyme
To explain in due time
Tidak peduli sekuat apapun kita menjaga cinta yang tercipta dalam rentang dua tahun ini, tidak peduli seberapa kuat cinta yang kita rasakan, akhirnya, takdirlah yang menang.
In the end, semuanya tidak lagi bermakna apa-apa.
I kept everything inside and even though I tried, it all fell apart
What it meant to me will eventually be a memory of a time when I tried so hard
Aku boleh menangis di hadapanmu. Kamu boleh memelukku erat, seakan tidak rela melepasku—karena nyatanya kamu memang tidak rela berpisah dariku. Namun takdir begitu kuat.
Aku, kamu, cinta kita tidak bisa melawannya.
Kepercayaanku dan kepercayaanmu memaksa kita untuk terpisah, tidak peduli seberapa kuat kita saling menggenggam.
Boleh saja aku berteriak cinta, seperti yang kulakukan malam ini. Berteriak seperti orang gila di atas jembatan di hadapan bunderan HI.
I love you…
Namun hingga suaraku habis, cinta ini tetap tidak akan pernah bisa mengalahkan takdir.
And in the end, tidak peduli seberaoa kuat cinta kita, it doesn’t even matter.
Karena berpisah adalah satu-satunya jalan yang tercipta untuk kita.

 
SHARE:
0 Comments
Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home
BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig