Prolog: Mumpung hari ini lagi diadain SNMPTN, jadi ingat masa-masa menjelang SNMPTN lima tahun lalu. Ditambah, setting 15 hari ngeblog FF itu di Jam Gadang. Tiba-tiba keingat beberapa potongan cerita di masa 5-7 tahun lalu dan terjadi di sana (nama tokoh mengalami penyesuaian).
Sepercik Cerita Masa Lalu
Oleh: Ifnur Hikmah
“Aku mau kuliah di UI, Nggi.
Komunikasi. Keren kan? Aku mau jadi wartawan.”
Kulirik cowok yang ada di sisiku.
Wajah yang semula kuharap akan berbinar bahagia –seperti wajahku– nyatanya
malah menunjukkan raut tidak percaya. Malah, aku menangkap ekspresi meremehkan
di sana.
“Aku juga mau jadi penyiar radio,
Nggi. Tapi nggak di sini, di Jakarta. Keren kan?” Aku masih berucap penuh
semangat. Kuabaikan raut wajah meremehkan di sebelahku itu. Mungkin dia masih
belum percaya aku, si penyuka hura-hura yang sama sekali tidak pernah berbicara
masa depan, tiba-tiba saja membicarakan rencanaku tahun depan, selepas aku
menyelesaikan masa SMA-ku di kota ini.
“Aku akan terus menulis. Novel,
bukan cerpen. Lalu, buku-bukuku aka nada di toko buku. Sayang ya, Nggi, di sini
nggak ada toko buku. Kalau mama mau beli bukuku, harus ke Padang.”
“You wish.”
Hanya dua kata, namun mampu
membuatku terperangah. Perlahan, kuputar kepala demi menatap asal suara itu.
Anggi juga menatapku. Tajam dan bersungguh-sungguh.
“Kamu itu nyusun cita-cita
ketinggian, nggak lihat realitanya gimana. Belajar aja nggak pernah, mana bisa
masuk UI?”
“Aku belajar kok, Nggi. Kamu aja
yang nggak tahu. Tanya mama.”
Alih-alih menyetujuiku, Anggi
malah mendecakkan lidah dan menggelengkan kepalanya.
“Kamu mimpi yang realistis aja.
Nanti kalau jatuh, kamu sendiri yang bakal ngerasain sakitnya.”
Aku menunduk. Benarkah mimpiku
terlalu tinggi?
*
“Bay, pulang yuk.”
“Ntar. Nanggung.”
Dari balik rambutnya yang sudah
dibiarkan panjang sepundak, aku mencuri lihat apa yang sedang dibuatnya. Sebuah
sketsa jam gadang yang sudah setengah jadi.
“Aku pernah bikin gambar itu di
kelas kesenian waktu SD. Tapi hasilnya jelek.”
Bayu terkekeh. Berbanding terbalik
dengan dirinya yang dianugrahi kemampuan berlebih dalam mencoret-coret kertas
hingga menjadi sebuah gambar, aku sama sekali tidak bisa. Jam gadang yang
kumaksud tidak ada ubahnya seperti bangunan tinggi berbentuk kotak dengan
persegi-persegi di setiap sisi yang kusebut jendela.
Lama kuperhatikan Bayu yang asyik
dengan pensil dan kertas gambarnya. Derap langkah di sekitar kami tidak merusak
konsentrasinya. Satu dua pengamen yang datang menyanyikan lagu di depan kami
juga tidak mempengaruhinya. Bayu selalu tenggelam dalam dunianya. Menggambar.
“Setiap kali menggoreskan pensil,
rasanya aku lagi ngobrol sama papa,” ujar Bayu di suatu siang, bertahun lalu,
saat dia menarikku ke tempat ini dan menggambar di sini.
Gempa dan tsunami Aceh telah
membuat Bayu kehilangan ayahnya, tapi dia tetap percaya ayahnya masih ada di
sekitarnya. Dia semakin giat menggambar, satu-satunya sarana yang diyakini Bayu
untuk bisa berbicara dengan ayahnya. Aku memang baru mengenalnya dua tahun ini
tapi semua cerita hidupnya sudah hafal melekat di benakku. Ayahnya yang
meninggal karena tersapu tsunami merupakan guru menggambar Bayu yang pertama.
Bencana itu memisahkan dia dari sosok pujaannya, sekaligus mempertemukan kami
sebagai sahabat. Ibunya membawa Bayu pulang ke kampong halamannya dan
mengontrak rumah di sebelah rumahku setelah rumah warisan neneknya terbakar di
bulan ketiga dia tinggal di sini. Musibah yang membuat Bayu menetapkan
cita-cita menjadi arsitek, sekaligus agar bisa terus berbincang dengan ayahnya
lewat gambar.
“Aku marah sama Anggi, Bay,”
ujarku tiba-tiba.
“Kenapa?”
“Dia bilang aku bodoh, nggak mungkin
masuk UI.”
“Lalu, yang pintar itu siapa?
Dia?” Bayu mendecakkan lidah. “Bukannya di mata dia semua orang selalu di bawah
dia?”
“Iya sih.”
“Nggak usah di dengerin. Kita
lihat aja tahun depan. Kamu bisalah lolos SNMPTN, nggak kayak dia. Gagal.
Sombong sih.”
Aku tertawa. Ah, Bayu memang
selalu bisa membuatku tertawa.
“Pulang yuk, Bay. Udah sore. Ntar
angkotnya nggak ada lagi.”
“Baru jam lima.”
“Jam setengah enam angkotnya udah
nggak ada, Bayu. Lo baru setahun tinggal di Jakarta, masa udah lupa?”
Bayu tertawa dan membereskan
peralatan menggambarnya. Setelah memasukkan semuanya ke dalam ransel hitam yang
tadi dibawanya, dia menggandengku dan meninggalkan pelataran jam gadang.
*
“Bay, gue lulus. Komunikasi UI,
Bay. Eat that, Nggi.”
Aku tertawa lepas. Di seberang
sana, Bayu hanya menggumam.
Ah, dia pasti baru bangun
gara-gara teleponku. Biar saja. Yang penting, dia sudah tahu kabar baik yang
ingin kusampaikan. Aku hanya ingin berbagi berita gembira dengan sahabatku,
orang yang selalu percaya atas apapun yang ingin kucapai. Tidak seperti Anggi
yang selalu meremahkanku. Juga orang lain.
Kali ini, aku tertawa bahagia.
Sayangnya, aku sudah putus hubungan dengan Anggi sehingga tidak bisa tertawa di
depannya.
0 Comments:
Post a Comment