Prolog: Hari ke-8 #15hariNgeblogFF dan nggak telat, yeaaiii. Tapi ceritanya kosong sih, hehehe. Iseng aja bikin cerita no meaning kayak gini, cuma seru-seruan aja dan hitung-hitung mengembalikan mood songong yang lagi dibutuhin sekarang, hahhaha.
Ramai
Oleh: Ifnur Hikmah
(Part of 15 Hari Ngeblog FF 2)
Batu sialan. Menghambat langkahku
saja. Oh, merusak sepatuku juga. Sialan.
Salahku juga sebenarnya. Selama pedestrian
di Indonesia tidak sebagus di New York or
at least Orchard Road, seharusnya aku mengistirahatkan Manolo-ku di
apartemen. Biar aman. Tidak terkena baret seperti ini.
“Cuma sepatu doang segitu betenya
sih.”
Aku menoleh. Mungkin ekspresiku
sekarang mirip dengan ekspresi suku Indian yang daerahnya diserang Inggris. Siap
diajak perang.
“Cuma kamu bilang? Tega,” semburku
seraya menunduk dan mengelap bagian depan pump
shoes yang kukenakan. Semoga saja tindakanku ini bisa sedikit menghilangkan
kerusakannya.
Percuma. Baret yang ditimbulkan
oleh batu sialan itu masih ada. Meski tidak kentara, bagiku, haram hukumnya
mengenakan sepatu yang sudah cacat. Dan Manolo ini bisa dibilang cacat.
“Lagian ya udah tahu rame bukannya
pake sandal jepit malah…”
“What?” teriakku kencang. Aku tidak peduli jika teriakanku
mengundang perhatian orang-orang di sekelilingku. Bahkan ibu-ibu yang sedang
menenteng gembolan jamu pun tak segan-segannya menoleh padaku.
Kayak dia ngerti aja soal sepatu.
“Malioboro itu lagi penuh-penunya
di weekend kayak gini. Dari awal aku
udah bilang kan? Ngeyel sih.”
Aku cemberut. Sungguh bukan pacar
yang baik. Dimana-mana yang namanya pacar pasti akan membela kekasihnya yang
sedang kesusahan, bukannya menyalah-nyalahkan seperti ini.
“Lagian hobi banget sih nyiksa
kaki kayak gitu. Lihat cewek di sana.”
Telunjuknya terarah ke seorang
perempuan yang berdiri tidak jauh dari kami. Perempuan itu tampak cuek duduk
berselonjor di trotoar sedangkan temannya—atau pacarnya? Entahlah—berdiri di
depannya. Kulirik kaki perempuan yang mengenakan hotpants itu. Sepasang sandal jepit tampak melindungi kakinya.
Aku mengernyit jijik. Sandal jepit?
Mau Swallow, Havaianas atau bahkan Ipanema sekalian, bagiku sandal jepit itu
tidak ada indah-indahnya. Apalagi jika baru saja selesai pedicure. Kasihan kuku-kuku cantikku.
“Nyaman kan? Dari pada kamu.”
Aku mencibir. Enak saja menghina
Manolo-ku. Itu penghinaan kedua terbesar—penghinaan pertama menyamakan tas branded asli yang kupunya dengan produk
ITC. Meski KW super sekalipun. Hiyuhh.
“Apa enaknya coba menyiksa kaki
begitu. Coba ya kamu pake sandal jepit, pasti dari tadi kita udah selesai
keliling Malioboro. Lha ini? Dari tadi baru berhasil masuk tiga toko karena
kamu malah sibuk mengurusi sepatumu.”
Aku manyun. Pacarku ini
benar-benar ‘baik’. Selalu menceramahiku dan menunjukkan ketidaksukaannya
terhadap kebiasaanku.
Kalau saja aku tidak cinta mati
padanya, sudah kuputusin sejak dulu dia.
“Next time, kalau kita liburan lagi, please ya sesuaikan sama sikon.”
“Bawel,” semburku dan langsung
melenggang meninggalkannya, menerobos keramaian Malioboro.
“Hei, tunggu. Kamu mau ke mana? Jangan
jauh-jauh dari aku, nanti kamu nyasar.”
Sayup, aku mendengar panggilan
itu. Meski tidak menyahut sedikitpun, aku tahu dia mengikutiku.
Sama sepertiku, meski seringkali
kesal dengan tingkahku, dia juga cinta mati padaku. Mana mungkin dia mau
kehilangan aku?
Aku menyeringai lebar dan
mempercepat langkahku.
Sebuah keputusan yang salah karena
tindakanku itu justru membuatku menabrak cewek yang mengenakan hotpants dan sandal jepit yang tiba-tiba
saja berdiri dari duduknya.
“Awww…” jeritku.
Bukan sakit di kakiku yang
membuatku menjerit sedemikian hebatnya, melainkan karena sandal swallow lusuh
itu mendarat dengan indahnya di atas Manolo seharga belasan juta punyaku.
Aku yakin, aku sudah pucat pasi
sekarang dan siap untuk pingsan.
0 Comments:
Post a Comment