Genggaman Tangan
Oleh: Ifnur Hikmah
(Part of #15HariNgeblogFF2)
“Don’t leave me, okay.”
Dia mengangguk. Sebuah anggukan
kecil yang sanggup meredakan debar di dadaku. Anggukan yang membuatku tenang
dan melenyapkan berbagai pikiran jelek yang menguasaiku beberapa hari
belakangan ini.
What if….
“What if dia meninggalkanku karena ada banyak pria menawan di tempat
kerjanya yang baru?” Sebuah alasan yang masuk akal mengingat sebagai seorang engineer dia dikelilingi banyak rekan kerja
berjenis kelamin pria.
“What if dia meninggalkanku karena perbandingan pemasukan yang
semakin kentara?” Dia dengan jabatan barunya sebagai field manager di sebuah perusahaan tambang memungkinkan pundi-pundi
uangnya semakin tebal sementara aku masih terseok-seok dengan usaha advertising agency yang baru kurintis.
Bukan perbandingan yang adil, mengingat sebagai pria seharusnya akulah yang
menanggung tanggung jawab lebih besar demi keberlangsungan rumah tangga ini,
bukan dia.
“What if dia meninggalkanku karena jarak yang semakin jauh?” Jakarta-Cepu
masih sanggup kami hadapi. Jakarta-Lampung tidak menjadi masalah.
Jakarta-Balikpapan sempat menimbulkan kertegangan tetapi masih bisa diredakan.
Lalu, Jakarta-Papua? Only God knows
apakah kami masih bisa bertahan.
“Sebagai laki-laki, harusnya kamu
optimis dan mendukung karir istrimu. Toh, kamu juga kan yang bangga?” Nasihat
ibuku ketika aku menceritakan perihal kepindahan istriku ke provinsi di ujung
timur Indonesia sana.
Harusnya aku optimis bahwa
hubungan ini akan berhasil. Tapi, sebagai laki-laki aku juga punya perasaan.
Termasuk perasaan takut kehilangan.
I love her so much. A lot. Kehilangan dia adalah mimpi buruk
untukku. Teramat buruk.
“Kamu juga ya, jangan lepasin aku.”
Suara lirih bernada manja itu
mengaburkan berbagai pengandaian yang menyesakkan kepalaku. Aku tersenyum. Keyakinanku
bertambah. Aku optimis bahwa kali ini pun hubungan ini akan berhasil.
Genggaman tangannya di tanganku
kian erat, seakan-akan dia merasa enggan untuk melepasku. Pun denganku. Jika bisa,
aku tidak akan melepaskannya.
Never.
Aku menghela nafas panjang. Udara segar
serta cipratan air terjun Tawangmangu yang menjadi saksi perjanjian ini membuat
keoptimisan di hatiku kian mengembang. Di sini kami dulu mengikat janji. Bergenggam
tangan seperti ini. Masih jelas bagaimana dia mengangguk antusias ketika aku
menyelipkan sebuah cincin di jari manisnya.
Ke sinilah aku membawanya sekarang.
Untuk meredakan keraguan di hatiku sekaligus memperbaharui janji pernikahan
kami, karena minggu depan, tujuh hari berselang dari sekarang, dia akan terbang
ke Papua. Entah kapan kami bisa bertemu dan saling menggenggam tangan seperti
ini lagi.
Namun kapanpun itu, kurasa kami
akan berhasil. Ini bukan pertama kali kami berpisah dan selama ini kami selalu
berhasil.
Aku semakin mempererat genggaman
tanganku. “I love you,” bisikku
lirih, meningkahi bunyi debur air terjun Tawangmangu yang menghantam bebatuan
di bawahnya.
Kali ini pun, kami akan berhasil
melewatinya.
*
Nyatanya, kami tidak pernah
berhasil.
Berbagai macam what if memang menghantuiku tapi ada
satu pengandaian yang terlupa.
“What if pesawat itu tidak pernah membawanya sampai ke tanah Papua,
malah terjun bebas ke Samudra Pasifik?”
Kali ini aku kembali ke
Tawangmangu, sendiri, dengan luka hati yang belum mengering. Teringat bagaimana
dulu kami saling menggenggam di bebatuan ini. Memandang air terjun yang berdiri
angkuh di depan seoptimis memandang masa depan.
“Jarak memang tercipta untuk kita
tapi cinta kita jauh lebih kuat daripada jarak. Sejauh apapun.” Itu katanya
bertahun lalu, saat dia dimutasi ke Lampung dan aku masih harus berkutat dengan
pekerjaanku di Jakarta.
Dulu, kami memang berhasil. Jakarta-Cepu
masih sanggup kami hadapi. Jakarta-Lampung tidak menjadi masalah.
Jakarta-Balikpapan sempat menimbulkan kertegangan tetapi masih bisa diredakan. Lalu,
Jakarta-Papua? Jakarta-Papua tidak pernah kami hadapi karena raganya tidak
pernah mendarat di tanah Papua.
Raganya hilang bersama debur
ombak.
Dan aku?
Di depan keangkuhan Tawangmangu,
aku berdiri tanpa ada keoptimisan sedikitpun. Tanganku terentang lesu di kedua
sisi tubuh, tanpa ada sepasang tangan yang menggenggamnya—seperti yang
sudah-sudah.
Kali ini, aku terisak.
0 Comments:
Post a Comment