Daging Pelampiasan Emosi
Oleh: Ifnur Hikmah
Soriano Trattoria. Somewhere in Kemang, pelarianku jika Martini
sudah membuatku pusing. Juga, pelarianku jika pekerjaan membuatku migrain.
Seperti siang ini. Berdebat dengan
Renata, atasanku –maaf, maksudku mantan- yang posisinya telah berhasil kurebut
bulan lalu selalu berhasil membuat saraf di kepalaku menegang. Ada-ada saja hal
yang dilakukannya untuk memancing emosiku. Dan setelah wajahku memerah seperti
kepiting rebus, dia akan melenggang dengan cantiknya di atas Manolo sepuluh
senti itu.
Cih… Memikirkannya membuatku mual.
Hari ini, pun hari-hari
sebelumnya, aku terdampar di Soriano Trattoria, tidak jauh dari kantorku di Kemang
Timur. Siang ini suasana resto itu tampak sepi. Hanya ada satu perempuan
berambut panjang dengan tubuh super kurus duduk sendirian di salah satu meja. Wajahnya
tampak suntuk dan dia menyantap makanannya dengan tampang siap diajak perang. Matanya
bergerak silih berganti antara layar Macbook dan meja bar.
Aku tergelak. Setidaknya, ada yang
menyaingi kekusutanku siang ini. Jika aku dan perempuan asing itu disejajarkan,
aku yakin, wajah siap perang kami akan membuat demonstran terkencing-kencing
ketakutan.
Kuhempaskan tubuhku ke atas sofa
berwarna merah di pojok kiri. Posisi favoritku. Meski pemandangan yang
terhampar di balik jendela lebar ini hanyalah kemacetan yang semakin tidak
manusiawi, aku tetap menyukainya. Pemandangan luar, sejelek apapun, jauh lebih
mengasyikkan ketimbang apapun yang ada di dalam ruangan.
But, there’s only one exception. Seseorang di meja bar. Seseorang yang
mampu menarik perhatian siapa saja. Seseorang yang sejak tadi juga diam-diam
dilihat oleh perempuan kurus itu.
“Roberto,” seruku.
Roberto, pria blasteran
Jawa-Italia itu terkejut. Dia tengah melancarkan tatapan maut yang biasa diberikannya
untuk perempuan manapun yang ditemuinya ketika panggilanku mampir ke
telinganya. Dia menoleh kepadaku, melotot sebentar dan dengan enggan menyeret
langkahnya menghampiriku.
“What do you want?”
Kulemparkan tatapan marah
kepadanya. “Sopan sedikit, bisa?” sinisku.
Roberto tertawa. “Don’t take it seriously. Kenapa itu
muka? Suntuk banget.”
“Mantanmu.”
Mata Roberto terbelalak, dan kali
ini giliranku yang tertawa.
Lima tahun lebih aku mengenal
Roberto. Di suatu coffee shop di
Roma, kami bertatap mata pertama kali. Dia tengah mengunjungi daerah kelahiran ayahnya dan aku sedang melewati tahun terakhir kuliah masterku di sana. Pertemuan
demi pertemuan pun terus terjadi, bahkan ketika kita sudah kembali ke Jakarta. Hubungan
ini sempat merenggang ketika akhirnya kuketahui dia menjalin hubungan cinta
dengan Renata, mantan atasanku.
“Kenapa Renata? Berantem lagi? Kalian
kan sudah beda majalah.”
“Renata will always be Renata. Menyebalkan.”
Sekali lagi Roberto tertawa. Aku yakin
dia menyetujuiku. Bukankah sifat Renata yang menyebalkan itulah penyebab
kandasnya hubungan mereka? Dan Renata kian membenciku. Selain menganggap
posisiku mengancam jabatannya, dia juga menganggap akulah penyebab mereka
putus. Poor Renata. Dia kehilangan
semuanya. Ya jabatannya, ya Roberto.
“Mau makan apa?” tanya Roberto
setelah puas tertawa.
“Daging.”
“Your diet?”
“Who cares?”
“Oh I see. Wait a minute.”
Pria itu pun berlalu dari
hadapanku. Aku tidak peduli menu makanan apa yang akan disajikannya di
hadapanku. Dia sangat mengenalku dan mengerti fluktuasi emosiku. Bisa saja aku datang
ke hadapannya dengan kemanjaan tingkat akut dan dia siap meladeninya. Lain waktu,
aku datang ke trattoria ini dengan kesedihan setiap kali teringat keluargaku
yang berantakan dan dia siap menghiburku dengan secangkir kopi. Sepertinya,
Roberto selalu punya cara untuk mengatasiku.
No, we’re not boyfriend and girlfriend. We’re just friend. Teman yang
hanya terlalu saling mengerti satu sama lain.
Hanya selang beberapa menit,
Roberto datang ke hadapanku dengan beef
lasagna dan cocktail.
“Daging, buat pelampiasan emosi,”
guraunya.
Aku menepuk sofa di hadapanku. “Temenin
gue,” ajakku, “jangan beralasan lagi sibuk. Cuma ada gue dan cewek itu di sini,”
potongku seraya menunjuk si perempuan kurus di ujung sana, “kecuali kalau lo
mau melanjutkan flirting yang tadi
keputus gara-gara gue.”
Roberto tersenyum dan menolehkan
kepalanya ke arah perempuan itu. Kulihat si kurus itu langsung salah tingkah
karena juga tengah menatap Roberto. Dia langsung menunduk dan menyuap
makanannya dengan gerak cepat.
Beef lasagna? Well, perempuan itu juga menyantap makanan yang sama.
And I realize one thing.
Bukan hanya Roberto yang terlalu
mengenalku. Aku juga terlalu mengenalnya.
“Well, sepertinya lo lagi mencari cara untuk mengajak dia ke
apartemen lo,” ujarku seraya menunjuk perempuan kurus itu dengan dagu.
Roberto hanya tersenyum tipis.
“I don’t need you tonight, Roberto. You’re free,” candaku.
Roberto menjitak kepalaku. “Ketemu
boytoy baru lagi? Jadi sekarang gue
didepak?”
Aku tersenyum lebar. Teringat Bamma,
model yang akhir-akhir ini sering menghiasi majalah tempatku bekerja. Model yang
akhir-akhir ini sering menemaniku melewati malam hari.
“Menurut lo?”
“Sandy… Sandy…” Roberto hanya bisa
geleng-geleng kepala.
Sekali lagi kulihat perempuan
kurus itu. Kali ini dia sudah menghadap Macbook-nya dan menekan keyboard keras-keras.
She’s jealous dan satu lagi perempuan masuk ke perangkap pesona
Roberto.
PS: Sambaran buat ceritanya Wangi.
0 Comments:
Post a Comment