Ganteng

2 comments
Ganteng
Oleh: Ifnur Hikmah
(Another Carissa + Mike Story)




“Ganteng…”
Pria di sebelahku itu hanya melirik sekilas sebelum kemudian kembali menekuni Macbook-nya, sibuk bercengkrama dengan AutoCAD. Sekilas terlihat tampilan gambar rumah yang sama sekali tidak kumengerti.
“Ganteng...” Panggilku lagi. Kali ini disusul dengan sebuah colekan di pinggangnya yang telanjang.
“Apa sayang?” tanyanya sambil lalu. Matanya tetap terarah ke layar Macbook.
“Ganteng…” Sekali lagi aku menggodanya. Kali ini sambil berusaha keras menahan tawa.
Mengganggu Mike yang sedang sibuk bekerja merupakan salah satu keisenganku. Lagipula, aku bosan dicuekin begini. Dia lebih memilih bercengkrama dengan pekerjaannya ketimbang aku, padahal jelas-jelas ada aku terbaring di sampingnya. Siap menyambut kehadirannya di dalam pelukanku.
Selain itu, aku tahu dia risih dengan panggilanku barusan, dan aku cukup iseng dengan terus-terusan memanggilnya dengan pangilan ‘ganteng’.
Semuanya gara-gara Jo, sepupu Mike yang masih remaja itu. Dia tidak henti-hentinya tertawa ketika di suatu pagi aku kelewat iseng memanggil Mike dengan sebutan itu saat hendak sarapan. Sejak itu, Jo tidak henti-hentinya meledek kami. Dia baru akan berhenti jika abangnya –panggilan sayang Jo untuk Mike- menggelitiknya habis-habisan.
“Abang ganteng…”
Berhasil. Panggilanku –atau mungkin sikapku yang annoying- berhasil membuat Mike menoleh ke arahku.
Bonus, tatapan kesal dan wajah siap menyemburkan kemarahan.
Aku mengulum senyum. Come on. Ada perempuan cantik sepertiku tidur-tiduran di sampingnya, mana mungkin dia mau memarahiku –meski jelas-jelas aku sudah mengganggunya.
“Ini sudah malam, kenapa kamu belum tidur?”
“Mau tidur sama abang ganteng,” jawabku semanja mungkin.
“Udah sana tidur, daripada ganggu aku.”
Selesai berkata seperti itu, Mike kembali menekuni layar Macbook.
“Ih ganteng nggak asyik ah,” godaku lagi, kali ini seraya merebahkan kepala ke pangkuannya, tepat di hadapan Macbook. Tindakanku ini jelas menganggunya, terlebih pergerakan tangannya di keyboard Mac.
Aku tertawa dalam hati. Siapa suruh berlaku cuek seperti itu?
“Sayang, bantalnya ada di sana.”
Aku menggeleng. “Lebih enakan perut kamu ketimbang bantal.”
“Tapi aku lagi kerja.”
“Salah kamu kerja di tempat tidur begini. Tempat tidur kan buat tidur, bukan kerja.”
“Tadi aku mau kerja di luar nggak boleh. Kamu kan yang nyuruh aku kerja di sini?”
Kembali keisenganku muncul. Kukecup perut rata minus lemak yang kujadikan bantal itu. Tak ayal, tindakan spontanku itu membuat Mike menggelinjang kegelian.
“Sayang, aku mau kerja.”
Pura-pura menolak, eh? Suara tawaku kian kencang –masih dalam hati tentunya.
“Sayang…”
Sekali lagi kucium perut itu –sedikit agak ke bawah.
“Icha…”
Wow. Jarang-jarang dia memanggilku dengan nama kecilku itu. Terakhir, dia memanggilku dengan sebutan itu di salah satu malam panas kami di Solo.
“Cha, aku lagi deadline. Tolong ngertiin aku dong.”
Aku tersenyum. Betapa ucapan dan perbuatannya saling tidak sinkron. Perkataannya memintaku untuk segera pergi tetapi tangannya malah terulur membelai rambutku.
Dan aku lebih percaya tindakan ketimbang ucapan.
“Sayang, aku lagi kerja. Kalau aku nggak bisa nepatin deadline, proyeknya bisa gagal. Kalau proyeknya gagal, kamu juga yang nanggung. Ayo, siapa tadi yang bilang mau dibeliin Birkin?”
Crap!
Niat menggoda Mike, malah dia yang menggodaku.
Refleks cubitanku melayang ke pahanya.
“Aww… sakit tahu.”
“Biarin. Abis kamu ngeselin.”
“Kok aku yang ngeselin? Yang dari tadi gangguin orang lagi kerja kan kamu.”
Kuputar tubuhku hingga bisa menatapnya. Tidak lupa kupasang wajah tersinggung semaksimal yang aku bisa.
“Omongan kamu itu ngeselin tahu. Kesannya aku istri kurang ajar yang kerjanya cuma morotin suami,” sungutku.
Mike tertawa lebar. “Ya nggak gitu juga sih.”
Aku masih cemberut.
“Iya.. iya.. aku udahan nih kerjanya.”
Yess... aku bersorak dalam hati. Sekali lagi, aku berhasil mengacaukan konsentrasinya.
“Aku udah nutup file-nya. Udahan ya ngambeknya.”
Still. Wajah cemberutku masih setia terpampang dihadapannya.
“Maafin ucapanku barusan deh. Aku nggak ada niat menyinggung perasaan kamu.”
Susah payah aku menahan bibir agar tidak tertarik ke samping membentuk senyuman.
Macbook-nya udah mati nih.”
Pertahananku gagal. Sebuah senyum simpul menghiasi bibirku. Dan itu cukup menjadi pertanda bagi Mike kalau selama ini aku hanya pura-pura ngambek.
“Kamu itu ya. Paling bisa bikin aku gemes.”
Mike meletakkan Macbook beserta kertas yang tadi bertaburan di kasur ke atas nakas di sisi kanannya. Tanpa berkata apa-apa, dia meraupku ke dalam pelukannya dan membaringkanku di sisinya. Sebuah ciuman dalam yang lembut mampir di bibirku.
“Ganteng…”
Senyuman di wajah itu mendadak hilang. Sedang aku semakin heboh menggodanya.
I love you, ganteng.”
“I love you too.” Mike mencium keningku lama. “And stop calling me ganteng.”
Sontak aku tertawa. Namun hanya sebentar karena Mike keburu membungkam tawaku dengan ciumannya.

SHARE:
2 Comments

Hancur

Leave a Comment
Hancur
Oleh: Ifnur Hikmah
(FF Berantai #Trattoria)




“Pergi kau. Jangan pernah lagi menampakkan diri di hadapanku.”
Pengusiran itu jelas ditujukan untukku. Namun aku hanya membisu. Duduk mematung di sofa merah ini. Menatap lurus ke kedalaman matanya, mencoba meredakan emosinya dan kembali bersikap manis padaku.
Namun, alih-alih melunak, dia kian menegang. Disambarnya Hermes yang selalu ditentengnya kemana-mana dan berlalu.
“Dan jangan ganggu putriku lagi.”
Sempat-sempatnya dia menudingkan telunjuknya di hadapanku sebelum akhirnya benar-benar menghilang di pintu trattoria.
Aku menghela nafas panjang. Kusesap red wine yang tersaji di hadapanku dengan wajah pias. Kupandang berkeliling. Sial, mengapa ada Lanang Banyu di sini? Mulut embernya pasti akan mengumbar cerita ini ke setiap orang, dan akibatnya? Job pemotretan untukku kian berkurang. Ah sial. Hari ini benar-benar hari sialku.
Hancur. Hancur semuanya…
Cassandra pergi. Dian juga menghilang.
Karirku dipertanyakan. Pemasukanku melayang.
Seharusnya aku lebih berhati-hati lagi. Setelah mengetahui bahwa Sandy adalah putri Dian, seharusnya aku lebih awas dalam bertindak. Namun nyatanya, kali ini aku tergelincir.
Seharusnya aku mencari tempat lain. Bandung mungkin? Bukannya Kemang yang hanya berjarak beberapa meter dari kantor Sandy.
Sial…
Aku tidak pernah mencintai Sandy. Pun Dian. Mereka, perempuan-perempuan itu, hanya jalan pintas yang diberikan untukku demi masa depanku.
Siapa yang tidak mengenal Dian Ayu Baskoro? Creative Director Sass yang telah menelurkan banyak iklan. Dan aku juga tahu dia perempuan paruh baya kesepian yang membutuhkan belaian pria muda sepertiku.
Lalu, hidupku bersinggungan dengan Sandy. Di suatu pemotretan. Dia yang membawaku ke majalahnya and look at me now. Banyak majalah dan brand yang memperebutkanku.
Sandy berperan besar dalam karirku, dan mamanya adalah sumber utama keuanganku.
Namun hatiku? Well, selama aku masih bisa mereguk keuntungan dari mereka, mengapa harus mempermasalahkan hati?
Iphone-ku bordering, membuyarkanku dari lamunan singkat.
“Dimana?” Suara diseberang sana jelas terdengar terburu-buru.
“Soriano Trattoria. Kemang.”
“Oke. Aku ke sana sekarang. Ini udah di Bangka. Jangan kemana-mana. Sandy baru aja meneleponku dan meracau hebat. Sudah kubilang, jangan macam-macam dengannya kalau masih ingin karirmu berjalan mulus.”
Kuusap tengkuk sembari mendengar repetan di telepon. Bukan itu yang kuinginkan. Setidaknya, bukan tudingan itu yang kuinginkan dari kekasih hatiku ini.
“Sejak awal sudah kubilang, ngapain main sama tante-tante lagi. Karirmu bagus dan pertahankan itu. Nanti keuanganmu akan membaik dengan sendirinya.”
Aku mendecak sebal. Tahu alasan utamaku mempertahankan tante-tante kesepian itu? Untuk membayar sewa apartemen, untuk mobil mewah yang sekarang kupakai, untuk semua pakaian mewah dan member card di gym agar fisikku tetap menarik dan karirku sebagai model kian melonjak. Simple, right?
“Bam? Masih di situ?”
“Masih,” sahutku pelan.
“Aku sebentar lagi sampai. Nanti, kita selesaikan masalahmu dan Sandy. Jangan sampai kontrak untuk cover LaModa bulan depan batal gara-gara kebodohanmu ini.”
Aku mengangguk dan mematikan telepon. Inilah akibatnya punya pacar otoriter, mengatur semua keinginanku. Tapi, aku juga tidak akan menjadi seperti sekarang kalau tidak karena dia? Dia yang menemukanku pertama kali dan meyakinkanku kalau aku akan sukses sebagai model. Ketampanan yang sejak dulu kuagung-agungkan ternyata mendatangkan manfaat.
Sembari menunggu si cerewet itu datang, aku memesan sebotol red wine lagi. Cuma wine, aku tidak akan mabuk.
Sesekali kulihat Lanang mencuri pandang ke  arahku. Ah sial. Target tampil di cover Men’s Journal belum kesampaian. Jangan sampai Lanang bermulut besar dan melapor kepada Tria, editor in chief majalah itu dan membuat Tria mem-blacklist namaku. Lebih sial lagi jika dia ikut dikompori Sandy. Bagaimanapun juga, majalah itu berada di grup yang sama dengan majalah Sandy.
Ah, Sandy. Perempuan itu membuatku pusing. Aku tidak peduli dengan Dian. Masih banyak tante kesepian lain yang haus akan belaianku dan siap mengucurkan uang berapapun yang kuminta. Tapi Sandy? Dia juru kunci karirku.
“Bamma…”
Sebuah suara mengagetkanku. Aku menoleh dan mendapati sosok yang kurindukan sedang berjalan ke arahku. Aku menarik nafas lega. Setidaknya, aku tidak sendirian dalam menghadapi Sandy.
Ada Bryan, kekasih hatiku, yang akan membantuku mengatasi perempuan manja itu.
Aku menyambut Bryan dengan sebuah senyuman dan kelegaan di hati.


PS: Kelanjutan dari #FFBerantai #Trattoria More info please check this.
SHARE:
0 Comments

Mama...

Leave a Comment
Mama...
Oleh: Ifnur Hikmah




Aku menyeringai di depan cermin besar yang disediakan Roberto di dalam rest room, memastikan tidak ada something stupid menyelip di gigiku. Ah, betapa orang Italia sangat pesolek sampai-sampai membuat rest room senyaman ini, aku menggumam dalam hati. Setelah memastikan gigiku dalam keadaan aman, aku beralih memeriksa rambut. Pixie cut yang membingkai wajahku semakin menonjolkan tulang pipiku yang tinggi –tulang pipi yang membuatku terlihat ‘keras’. Kuoleskan hair mousse ke setiap helai rambutku agar tidak kelihatan lepek.
Pintu toilet terbuka dan tiba-tiba saja aku tidak lagi sendirian di rest room ini. DIsebelahku berdiri seorang perempuan berusia sekitar 30-an dengan wangi Lola yang menusuk hidung. Gila, memangnya dia memakai setengah isi botol Lola dalam setiap kali pemakaian? Dengusku.
Kulirik perempuan itu dan seketika hatiku miris. Perempuan bertubuh sekal yang tampak bangga dengan dada dan pinggul membusung. Tatanan rambut serta polesan make up yang diharapkan mampu membuat dia terlihat beberapa tahun lebih muda. Jelas, tipikal perempuan yang dengan bangganya wara wiri di pesta-pesta sosialita dan sering muncul di LifeStyle, sister company majalah tempatku bekerja. Perempuan yang bangga dengan label MILF yang disematkan di dadanya. Perempuan yang sejak tadi tidak henti-hentinya melempar flirting kepada Roberto dan membuat temanku itu mendecak sebal berkali-kali di dekatku.
Perempuan yang tidak akan pernah bisa hidup tanpa lelaki di sisinya.
Just like my mom.
Hatiku kembali meringis. Mama… Sosok yang harusnya mengajarkanku untuk menjaga kesakralan cinta tetapi nyatanya malah menunjukkan betapa mudahnya cinta dihancurkan.
Aku menarik nafas panjang dan melangkah keluar dari rest room.
Keheningan rest room yang tadi kurasakan mendadak berganti denagn keriuhan pemotretan di dalam trattoria. Aku melempar senyum kepada Lanang Banyu, fotografer Men’s Journal, sister company LaModa, majalah tempatku bekerja. Banyu hanya membalas senyumanku dengan lambaian tangan dan kuperhatikan dia sedang asyik berbincang dengan perempuan super kurus yang sejak tadi menunggu di trattoria ini. Hmmm… itu model baru Banyu? Dia memang tidak pernah salah memilih model.
Siang sudah semakin meninggi tetapi langit Jakarta malah menggelap. Badai yang akhir-akhir ini sering mengunjungi ibukota selalu berhasil menyulut kekesalanku. Aku harus cepat-cepat menyingkir dari tempat ini jika tidak ingin terjebak macet. Kemang dan hujan bukanlah padanan yang menarik, bukan? Kusambar tas dan segera kuhampiri Roberto yang tengah melanjutkan aksi flirting-nya kepada model kurus itu.
“Gue pulang dulu.”
“Cepet banget.”
Aku menunjuk keluar jendela dengan daguku. “Males nyetir kalau hujan.”
“Oke.”
Roberto mencium pipiku, sesuatu yang selalu dilakukannya sebagai ucapan selamat tinggal.
Denting lonceng yang dipasang di pintu masuk terdengar saat aku baru saja berbalik.
Dan nafasku tercekat begitu melihat siapa yang baru saja datang.
“Mama…”
Perempuan itu, yang tampak sangat begitu mirip denganku, juga menatapku dengan tatapan kaget.
Namun, yang membuatku seakan terkena serangan jantung adalah ketika melihat sosok yang datang bersama mama.
Bamma…
Pria yang akhir-akhir ini dekat denganku. Pria pertama yang berhasil membuatku nyaman saat bersamanya. Pria pertama yang membuatku rela membuka semua topeng kepura-puraanku dan berkata jujur di hadapannya tentang semua kesedihanku. Pria pertama yang kubiarkan memasuki benteng hatiku tanpa perlu bersusah payah mendakinya.
Juga, pria pertama yang mengetahui cerita keluargaku, termasuk saat aku menangisi keadaan orang tuaku, terlebih mama.
Bamma… Pria yang kupikir mencintaiku tapi nyatanya tidak ada ubahnya dengan pria-pria lain. Munafik.
Sebelum air mataku turun, aku berlari menuju pintu. Dengan paksa kulepaskan pegangan Roberto. Ah, dia pasti tahu isi hatiku saat ini, sama seperti dia mengetahui tingkah mama selama ini. Kuabaikan tatapan protes Banyu saat aku menerobos set yang sedang disusunnya. Aku hanya ingin pergi dari hadapan dua orang pengkhianat ini.
“Sandy…”
Kudorong tubuh tegap yang berusaha menghalangiku itu.
“Sandy… wait…”
Menunggumu, Bam? Untuk apa? Untuk membuatku menangis lebih banyak lagi?
“Sandy…”
Kali ini Bamma berhasil meraih tanganku dan dengan terpaksa kuhentikan langkahku, tepat di pintu masuk trattoria.
“Dy, aku bisa jelasin…”
Aku menggeleng. “I know my mom for 27 years. Dan hari ini dia membuka mataku untuk melihat siapa kamu sebenarnya.”
“Dy…”
“Udahlah, Bam, nggak usah melihatku dengan tatapan seperti itu. Aku cuma kasihan sama kamu, sama jalan yang kamu pilih. Kamu masih muda, masa depanmu masih cerah. Mengapa kamu mau jadi mainan mamaku?”
Bamma terdiam tapi matanya masih menatap lurus ke dalam mataku. Betapa tatapan itu dulu mampu membuatku jatuh cinta tapi sekarang malah membuatku muak.
“Lupain apa yang pernah terjadi diantara kita, Bam.”
Kuuraikan pegangan Bamma di lenganku. Pria itu tampak pasrah saat satu persatu jemarinya terlepas dari lenganku. Matanya masih menusukku, berharap agar permohonan maaf yang disampaikannya melalui tatapan itu dapat kuterima.
Sayangnya, Bam, kamu terlanjur menyakitiku.
“Cassandra…”
Aku mendongak saat mendengar seseorang memanggilku. Mama. Beliau berdiri dengan pundak terkulai lemah dengan satu tangan menahan pintu trattoria.
“Cassandra… nak…”
Stay away,” seruku ketika melihat mama mulai melangkah, “let me go, mom.”
“Sandy…”
Kuhapus sisa air mata yang mengaliri pipiku. You can do this, Cassandra. Bukankah ini untuk yang ke sekian kalinya kamu menangis karena tindakan mamamu? Aku membathin.
“Sandy, kamu dengerin mama…”
“You know what, Mom?” Aku memotong omongan mama sebelum beliau sempat melakukan pembelaan diri. “Sejak kecil aku selalu menangis karena mama. Mama yang tidak pernah ada untukku. Mama yang harusnya mengajarkan aku tentang cinta dan kasih sayang tetapi malah sibuk mengumbar diri dari pria muda ke pria muda lainnya.” Aku menghela nafas, sadar sepenuhnya betapa jahatnya ucapanku barusan. “Tapi kali ini, ma, ini luka paling dalam yang pernah mama kasih ke aku.”
Kulihat mata mama berkaca-kaca, tapi aku yakin, dia tidak menangisiku. Dia tidak pernah menangisiku, seumur hidupku.
Thank for everything, mom,” ujarku sinis dan segera berlari menuju Vios yang kuparkir di pinggir jalan.
Seiring aku berlari, hujan mulai turun, menemani air mataku yang telah lebih dulu mengalir.


PS: Lanjutan dari samber menyamber #trattoria di twitter
SHARE:
0 Comments

Daging Pelampiasan Emosi

Leave a Comment
Daging Pelampiasan Emosi
Oleh: Ifnur Hikmah



Soriano Trattoria. Somewhere in Kemang, pelarianku jika Martini sudah membuatku pusing. Juga, pelarianku jika pekerjaan membuatku migrain.
Seperti siang ini. Berdebat dengan Renata, atasanku –maaf, maksudku mantan- yang posisinya telah berhasil kurebut bulan lalu selalu berhasil membuat saraf di kepalaku menegang. Ada-ada saja hal yang dilakukannya untuk memancing emosiku. Dan setelah wajahku memerah seperti kepiting rebus, dia akan melenggang dengan cantiknya di atas Manolo sepuluh senti itu.
Cih… Memikirkannya membuatku mual.
Hari ini, pun hari-hari sebelumnya, aku terdampar di Soriano Trattoria, tidak jauh dari kantorku di Kemang Timur. Siang ini suasana resto itu tampak sepi. Hanya ada satu perempuan berambut panjang dengan tubuh super kurus duduk sendirian di salah satu meja. Wajahnya tampak suntuk dan dia menyantap makanannya dengan tampang siap diajak perang. Matanya bergerak silih berganti antara layar Macbook dan meja bar.
Aku tergelak. Setidaknya, ada yang menyaingi kekusutanku siang ini. Jika aku dan perempuan asing itu disejajarkan, aku yakin, wajah siap perang kami akan membuat demonstran terkencing-kencing ketakutan.
Kuhempaskan tubuhku ke atas sofa berwarna merah di pojok kiri. Posisi favoritku. Meski pemandangan yang terhampar di balik jendela lebar ini hanyalah kemacetan yang semakin tidak manusiawi, aku tetap menyukainya. Pemandangan luar, sejelek apapun, jauh lebih mengasyikkan ketimbang apapun yang ada di dalam ruangan.
But, there’s only one exception. Seseorang di meja bar. Seseorang yang mampu menarik perhatian siapa saja. Seseorang yang sejak tadi juga diam-diam dilihat oleh perempuan kurus itu.
“Roberto,” seruku.
Roberto, pria blasteran Jawa-Italia itu terkejut. Dia tengah melancarkan tatapan maut yang biasa diberikannya untuk perempuan manapun yang ditemuinya ketika panggilanku mampir ke telinganya. Dia menoleh kepadaku, melotot sebentar dan dengan enggan menyeret langkahnya menghampiriku.
“What do you want?”
Kulemparkan tatapan marah kepadanya. “Sopan sedikit, bisa?” sinisku.
Roberto tertawa. “Don’t take it seriously. Kenapa itu muka? Suntuk banget.”
“Mantanmu.”
Mata Roberto terbelalak, dan kali ini giliranku yang tertawa.
Lima tahun lebih aku mengenal Roberto. Di suatu coffee shop di Roma, kami bertatap mata pertama kali. Dia tengah mengunjungi daerah kelahiran ayahnya dan aku sedang melewati tahun terakhir kuliah masterku di sana. Pertemuan demi pertemuan pun terus terjadi, bahkan ketika kita sudah kembali ke Jakarta. Hubungan ini sempat merenggang ketika akhirnya kuketahui dia menjalin hubungan cinta dengan Renata, mantan atasanku.
“Kenapa Renata? Berantem lagi? Kalian kan sudah beda majalah.”
“Renata will always be Renata. Menyebalkan.”
Sekali lagi Roberto tertawa. Aku yakin dia menyetujuiku. Bukankah sifat Renata yang menyebalkan itulah penyebab kandasnya hubungan mereka? Dan Renata kian membenciku. Selain menganggap posisiku mengancam jabatannya, dia juga menganggap akulah penyebab mereka putus. Poor Renata. Dia kehilangan semuanya. Ya jabatannya, ya Roberto.
“Mau makan apa?” tanya Roberto setelah puas tertawa.
“Daging.”
“Your diet?”
“Who cares?”
“Oh I see. Wait a minute.”
Pria itu pun berlalu dari hadapanku. Aku tidak peduli menu makanan apa yang akan disajikannya di hadapanku. Dia sangat mengenalku dan mengerti fluktuasi emosiku. Bisa saja aku datang ke hadapannya dengan kemanjaan tingkat akut dan dia siap meladeninya. Lain waktu, aku datang ke trattoria ini dengan kesedihan setiap kali teringat keluargaku yang berantakan dan dia siap menghiburku dengan secangkir kopi. Sepertinya, Roberto selalu punya cara untuk mengatasiku.
No, we’re not boyfriend and girlfriend. We’re just friend. Teman yang hanya terlalu saling mengerti satu sama lain.
Hanya selang beberapa menit, Roberto datang ke hadapanku dengan beef lasagna dan cocktail.
“Daging, buat pelampiasan emosi,” guraunya.
Aku menepuk sofa di hadapanku. “Temenin gue,” ajakku, “jangan beralasan lagi sibuk. Cuma ada gue dan cewek itu di sini,” potongku seraya menunjuk si perempuan kurus di ujung sana, “kecuali kalau lo mau melanjutkan flirting yang tadi keputus gara-gara gue.”
Roberto tersenyum dan menolehkan kepalanya ke arah perempuan itu. Kulihat si kurus itu langsung salah tingkah karena juga tengah menatap Roberto. Dia langsung menunduk dan menyuap makanannya dengan gerak cepat.
Beef lasagna? Well, perempuan itu juga menyantap makanan yang sama.
And I realize one thing.
Bukan hanya Roberto yang terlalu mengenalku. Aku juga terlalu mengenalnya.
Well, sepertinya lo lagi mencari cara untuk mengajak dia ke apartemen lo,” ujarku seraya menunjuk perempuan kurus itu dengan dagu.
Roberto hanya tersenyum tipis.
“I don’t need you tonight, Roberto. You’re free,” candaku.
Roberto menjitak kepalaku. “Ketemu boytoy baru lagi? Jadi sekarang gue didepak?”
Aku tersenyum lebar. Teringat Bamma, model yang akhir-akhir ini sering menghiasi majalah tempatku bekerja. Model yang akhir-akhir ini sering menemaniku melewati malam hari.
“Menurut lo?”
“Sandy… Sandy…” Roberto hanya bisa geleng-geleng kepala.
Sekali lagi kulihat perempuan kurus itu. Kali ini dia sudah menghadap Macbook-nya dan menekan keyboard keras-keras.
She’s jealous dan satu lagi perempuan masuk ke perangkap pesona Roberto.

PS: Sambaran buat ceritanya Wangi.
SHARE:
0 Comments
Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home
BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig